Pada November 1976 kelompok Timzar Zubil meledakkan Masjid Nurul Iman Padang setelah di bulan sebelumnya menjadikan Rumah Sakit Immanuel Bukittinggi sebagai sasaran (Majalah Tempo, 27 November 1976). Masjid terbesar dan termegah di Sumatra Barat itu rusak. Loteng di lantai satu berantakan. Jendela kaca di beberapa bagian pecah. Lubang angin lantai dua bolong. Sudomo, Pangkopkamtib dalam siaran pers yang kemudian tersebar luas, mengatakan "soal itu masih sedang diselidiki".
Lalu pada Desember tahun itu juga, Timzar mengubah sasaran ke provinsi yang lebih di utara. Ia yang disebut pemberitaan ketika itu menjabat Asisten I Komando Wilayah Pertempuran Komando Jihad Sumatra Bagian Utara, meledakkan berturut-turut Hotel Apollo, sebuah klub malam di Jalan Bawean Gereja Metodis, dan Bioskop Riang. Semuanya berlokasi di Medan. Tapi petualangan terornya berakhir ketika ditangkap pada Januari 1977, diadili pada 1978, dan dijatuhi hukuman mati (Majalah Tempo, 13 Oktober 1984). Menjelang Sidang Umum MPR tahun itu juga, bom meledak di gedung dewan rakyat itu. Menurut Pangkopkamtib Sudomo, aksi teror itu direncanakan dan dilakukan kelompok Abdul Qadir DJaelami yang menyatakan dirinya penganut "Pola Perjuangan Revolusioner Islam".
Sepanjang 1978 itu hingga 1981 berturut-turut juga meledak bom di Candi Borobudur, gereja di Makassar, dan serangkaian teror-teror lain di Jakarta, termasuk pemboman Masjid Istiqlal (Solahuddin, 2011).
Majalah Tempo edisi Oktober di atas itu juga menyebut kalau gerakan teror yang paling lama bertahan dilakukan kelompok Warman, yang bergerak dari 1978 sampai 1981. Menamakan diri Komando Jihad, mereka antara lain melakukan: pembunuhan Parmanto, Pembantu Rektor Universitas Negeri 11 Maret, Solo; pembunuhan Hasan Bauq, mahasiswa IAIN di Yogyakarta; perampokan uang gaji dan penggarongan toko emas di Jawa Barat; dan kasus Rajapolah dalam bentuk penyerangan pos polisi Cicendo, yang menewaskan dua anggota polisi. Warman kemudian tewas pada 23 Juli 1981 dalam suatu penggerebekan di Soreang, sekitar 17 km di selatan Bandung.
Sementara yang mendapat pemberitaan luas dunia internasional adalah pembajakan pesawat terbang Garuda Woyla. Lima pembajaknya kemudian tewas dalam operasi pembebasan di lapangan terbang Don Muang, Bangkok.
***
Siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam serangkaian aksi teror di atas dan apakah motif-motif mereka? Setelah jauh berlalu dari dunia kita ini, berbagai pandangan yang berkembang dapat dikemukakan:
Pertama, kelompok sayap kanan Muslim tertentu bisa jadi memang mendalangi beberapa teror seperti dalam laporan-laporan resmi. Beberapa pengeboman, misalnya, didalangi eks-DI/TII maupun simpatisannya yang bercita-cita menghidupkan kembali cita-cita mendirikan negara Islam. Sementara teror-teror lain didalangi kelompok-kelompok Muslim garis keras semacam Komando Jihad maupun Perjuangan Revolusioner Islam, dengan motif pembalasan dan respons atas sikap represif pemerintah terhadap kalangan Muslim semisal atas Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Lampung, dan peristiwa-peristiwa sejenis.
Bahwa kestabilan politik dan kemajuan pembangun Orde Baru tampaknya harus dicapai dengan menekan kelompok oposan (terutama dari kalangan sayap kanan Muslim) itu. Orde Baru meniadakan ‘suara yang berbeda’ di antaranya dengan menerapkan asas tunggal Pancasila; penolakan apa pun atas otoritas negara itu dilawan lagi pemerintah Orde Baru dengan tindakan-tindakan represif melalui penangkapan-penangkapan dan pemberangusan hak-hak bersuara; persyarikatan-persyarikatan di kalangan jemaah dicurigai; tetapi yang lebih menyita perasaan Muslim adalah penculikan-penculikan malam oleh militer terhadap tokoh-tokoh mereka. Pada kurun ini juga Jenderal-jenderal Angkatan Darat disiapkan sebagai Menteri Agama.
Hal-hal di atas itu menimbulkan resistensi dari kalangan sayap kanan Muslim yang tertekan dan frustasi, serta merasa mendapat ketidakadilan. Kelompok-kelompok sayap kanan ekstrem tertentu itu memulai pemisahan diri, membangun kanal-kanal perlawanan diam-diam, tetapi juga di antaranya menciptakan teror demi teror sebagai balasan atas ketidakadilan terhadap mereka (dalam kata lain, bagi mereka, terhadap umat Islam yang teraniaya).
Kedua, negara Orde Baru sendirilah yang dianggap paling mungkin 'menciptakan' teror-teror di atas. Dalang dalam mencipta skenario teror lebih mungkin dijalankan negara dengan segala kekuatan dan otoritas yang dimilikinya. Teror-teror ini dicipktakan negara Orde Baru untuk mendiskreditkan kelompok Muslim sayap kanan guna mencari legitimasi dan justifikasi demi menyingkirkan oposan itu (di mana penolakan yang paling keras memang datang dari kelompok tersebut). Orde Baru telah terkenal sebagai pencipta musuh imajiner--'yang mungkin saja tak pernah benar-benar ada': di masa-masa awal negara ini menciptakan ketakutan akan kebangkitan Komunis; lalu hantu lain bernama eks-DI/TII; bahkan sempat juga ketakutan atas 'iblis bertato' bernama kaum Kriminal dan Bromocorah; ketakutan atas 'kaum mahasiswa yang ditunggangi'; dan ketakutan atas kebangkitan sayap kanan Muslim yang dapat merongrong kekuasaan Soeharto termasuk yang paling laku sebagai dasar dan landasan membungkam dan menyingkirkan para penentang rezim ini.
Tidak hanya itu, pada tataran ini, pihak berwenang juga berhasil a) membuyarkan dan memecah-belah energi protes yang bisa saja muncul dan terkonsentrasi menjadi suatu gerakan yang lebih luas; lalu mereka juga berhasil dalam b) menggeser tanggung jawab atas krisis masyarakat ke setan-setan imajiner berwujud manusia dengan segala pengidentifikasiannya di atas; c) masyarakat yang resah lagi frustrasi, teralienasi dan termiskinkan oleh derap pembangunan yang diskriminatif, lantas menjadi terhisap perhatiannya untuk mempermasalahkan teror yang merajalela alih-alih kegagalan pemegang otoritas negara yang korup; d) kedudukan negara dibuat menjadi vital di mana mereka muncul sebagai pelindung rakyat dalam mencipta rasa aman melawan musuh yang seolah-olah hadir di mana-mana tetapi sukar dilacak itu.
Ketiga, spirit untuk bertindak ekstrem telah ada dalam kelompok tertentu dari kalangan sayap kanan Muslim yang tidak puas. Mereka telah membuat kanal-kanal perlawanan di bawah tanah lewat pengajian dan dakwah. Negara kemudian 'bertenggek' di atas mereka: 'mendorong' dengan cara membangkitkan sentimen anti-pemerintah yang lebih besar untuk mendorong kelompok-kelompok ini bertindak kalap dan nekat. Tujuannya sama dengan yang di atas, melegitimasi dan menjustifikasi tindakan kekuasaan untuk menyingkirkan yang bisa dianggap bakal merongrong.
Deddy Arsya
pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi