Apalagi pelembagaan rektor merangkap sebagai komisaris tersebut secara terang-terangan dilakukan dengan sengaja lewat penyelundupan hukum. Seperti yang baru saja terjadi dalam kasus Rektor UI. Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI larangan rangkap jabatan oleh rektor/wakil rektor di BUMN/BUMD hanya pada level direksi. Sementara sebelumnya, pada Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 larangan tersebut bersifat umum yakni pejabat pada BUMN/BUMD. Padahal saat Perarturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 masih berlaku, Rektor UI merangkap sebagai wakil komisaris BRI.
Pratik seperti ini jelas menjerumuskan institusi akademik dalam lembah kepentingan politik, menghina keluhuran cita-cita atau semangat penyelengaraan perguruan tinggi termasuk integritas dan tanggung jawab moral akademik civitas akademik dan institusi, serta mencemari praktik bernegara hukum.
Apalagi universitas ditempatkan sebagai representasi keluhuran peradaban, sehingga universitas musti dilihat dan dinilai pada level yang sangat tinggi. Dengan begitu perdebatan tentang rektor merangkap komisaris tersebut adalah perdebatan akan masa depan peradaban. Melampaui perdebatan hukum. Apalagi sebatas suka atau tidak suka, menyangkut esprit d’ corps, mengkritik karena berbeda warna jaket dan membela karena menggunakan jaket dengan warna yang sama.
Baca juga: Kukuhkan 4 Guru Besar, Rektor Yuliandri Ungkap Jumlah Guru Besar di Unand Masih Sedikit
Terlalu hipokrit apabila memproteksi diri dari perdebatan dengan argumentasi “esprit d’ corps”. Apalagi terlontar dari orang-orang yang katanya lahir, hidup atau berasal dari komunitas epistemik, terutama dari mereka yang berasal dari kampus yang rektornya merangkap sebagai komisaris. Kecuali ingin menjadi bagian kegagalan pembangunan peradaban, silakan. [*]
Penulis: M Nurul Fajri (Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus+ Scholarship Program pada Radboud University)