Apalagi kaitan erat BUMN/D dengan politik sangatlah kuat. Sebagai badan usaha negara, posisi direksi atau komisaris BUMN/D sangatlah politis, ditambah dengan bagaimana mekanisme pemilihannya yang terhubung langsung dengan menteri BUMN sebagai perwakilan presiden. Sekalipun yang dipilih adalah seorang yang ahli (right man in the right place), berhubung BUMN/D berkaitan langsung dengan pertunjukan kemampuan negara dalam berbisnis lewat kepemimpinan politik yang berkuasa pada saat itu. Dengan begitu, siapapun yang menduduki jabatan direksi atau komisaris BUMN/D sadar atau tidak sadar akan menjadi “sumberdaya pendukung” kepemimpinan politik yang memilihnya apabila berhasil memimpin BUMN/D.
Dari penyaduran yang tertangkap dari berbagai media sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, bahwa untuk dapat menjabat sebagai komisaris BUMN terdapat empat jalur: 1) jalur profesional internal, yang artinya adalah mereka yang diangkat karena pengalamannya di BUMN tersebut; 2) jalur partai politik, adalah mereka yang berasal dari partai politik pendukung pemerintahan; 3) jalur relawan dan timses, adalah mereka yang berasal dari kelompok relawan dan timses semasa masa pemilihan; dan 4) jalur akademisi, adalah orang-orang dari kalangan kampus.
Level kerentanan akan terkontaminasi politik praktis justru sangat berbahaya bagi universitas. Apalagi kalau pimpinan tertingginya nyata merangkap sebagai pimpinan salah satu perusahaan plat merah. Kenyataan bahwa “hubungan langsung” dengan menteri BUMN yang mewakili presiden dalam pemilihan direksi atau komisaris telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan dengan wujud kepemilikan suara dalam rapat umum pemegang saham BUMN. Mekanisme tersebut tanpa sadar – “hubungan langsung” dalam sistem merit yang samar – sulit untuk terhindar dari patronase politik.
Sangat disayangkan apabila universitas harus ternodai dengan kepemimpinan yang babaju akademik, tetapi berjiwa politik. Sebuah keadaan yang akan membawa universitas pada level yang rentan akan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Terutama aspek konflik kepentingan, karena pimpinannya yang rangkap jabatan.
Kegagalan Peradaban
Pelembagaan praktik rangkap jabatan rektor dan komisaris justru berbahaya bagi universitas sendiri. Sebab, akan memunculkan preseden jabatan rektor merupakan batu loncatan karir dan kesejahteraan pribadi. Sehingga tujuan utama memajukan peradaban akademik institusi yang dipimpin berada di posisi kesekian. Karena rektor akan disibukan dengan aspek-aspek akses politik kekuasaan.