Pengungkapan fakta bahwa, “rektor merangkap komisaris tidak hanya terjadi pada satu universitas saja” memang membantu mengungkap tabir lain kehancuran peradaban perguruan tinggi setelah beberapa bulan lalu hangat dengan musim obral honoris causa. Di sisi lain, hal tersebut mengandung sisi bahayanya. Sebab, hal tersebut bisa dijadikan alasan untuk memaklumi agar kemudian dilegalisasi dengan alasan kebutuhan hukum.
Sesuatu yang sudah terlalu umum dilakukan apabila sebelumnya dilarang oleh hukum namun sulit ditegakkan, maka salah satu solusi menyelesaikan masalahnya adalah dengan melegalkan. Dengan tujuan tidak lagi membatasi atau melarang, tetapi mengkanalisasi keadaan agar lebih terkontrol dan terawasi.
Perihal fenomena rektor rangkap jabatan sebagai komisaris tidaklah tepat hanya dilihat semata-mata dari kacamata hukum. Apalagi sebatas persoalan di Universitas A diperkenankan oleh statutanya, sementara di Universitas B tidak dipekenankan oleh statutanya. Persoalan ini adalah persoalah etik, masalah integritas personal dan keluhuran moral akademik pribadi atau pun institusi. Bukan persoalah legalitas.
Dengan demikian tidak memandang ke mana kritik dialamatkan. Akan tetapi, tepat tidak tepatnya substansi kritik yang diajukan. Sebab, hukum tertulis hanyalah muara dari nilai etika yang dibawa. Dalam dimensi etik, pertanyaan yang harus diajukan adalah “pantaskah seorang rektor merangkap menjadi komisaris BUMN/D?” Bukan, “kenapa hanya universitas saya yang dikritik, sementara di universitas lain rektor merangkap komisaris juga terjadi.”
Politik Patronase
Sekalipun hukum (statuta universitas) membenarkan rangkap jabatan, secara prinsip dan semangat, universitas dan BUMN/D sangat jauh berbeda. Universitas berorientasi kepada pengabdian terhadap ilmu pengetahuan lewat tri dharma perguruan tinggi, sementara BUMN/D berorientasi kepada bisnis.