Padang, Padangkita.com - Wali Kota Payakumbun Riza Falepi awal pekan ini mengklarifikasi jumlah harta kekayaannya yang tercatat dalam Lароrаn Hаrtа Kekayaan Pеjаbаt Nеgаrа (LHKPN). Menurut dia, kekayaannya yang sebenarnya tidak sampai Rp500 juta.
Angka atau jumlah yang dilaporkannya sebagaimana tercatat dalam LHKPN, adalah akumulasi dari saham perusahaan yang pernah dikelolanya, dan perusahaan itu sudah dilepaskan jauh sebelum dia jadi Walikota (lengkapnya baca Padangkita.com, Laporan Kekayaannya Rp14 Miliar, Ini Penjelasan Wako Payakumbuh).
Namun, berdasarkan penelusuran media ini pada laman e-lhkpn KPK , jumlah harta kekayaan yang dilaporkan Riza bukan hanya Rp14 miliar. Tahun 2015, ada Rp13,4 miliar dan USD 1 juta, harta kekayaan Riza yang tercatat. Setahun kemudian dia melaporkan lagi, namun jumlahnya tak ditemukan karena data pada e-lhkpn KPK tidak bisa diakses.
Sebenarnya bukan saja Riza kepala daerah kabupaten/kota di Sumatera Barat (Sumbar) yang tercatat melaporkan harta kekayaan lebih dari Rp10 miliar. Tahun 2016, Sutan Riska yang baru jadi Bupati Dharmasraya, melaporkan harta kekayaannya sebesar Rp15 miliar. Bahkan, di tahun yang sama Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias melaporkan harta kekayaan dengan total mencapai Rp19 miliar. Pada tahun sebelumnya, Ramlan melaporkan harta kekayaan jauh lebih besar, yakni Rp66 miliar dan USD 50 ribu. Sebelum menjadi kepala daerah, Sutan Riska dan Ramlan memang dikenal sebagai pengusaha.
Lalu bagaimana kekayaan bupati/walikota di Sumbar yang lain?
Kecuali Fadly Amran yang baru dilantik menjadi Walikota Padangpanjang, semua bupati/walikota di Sumbar pernah melaporkan harta kekayaan. Ini bisa dengan mudah dilacak dan ditemukan pada laman e-lhkpn KPK.
Bupati Agam Indra Chatri, melaporkan kekayaan sebanyak Rp1,7 miliar. Tapi itu tahun 2015, selanjutnya ia tak pernah lagi melaporkan harta kekayaan. Bupati Solok Gusmal terakhir melaporkan harta kekayaan tahun 2015, dengan total Rp8,5 miliar.
Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet yang sekarang menjabat untuk dua periode melaporkan kekayaan sebesar Rp1 miliar juga di tahun 2015. Yudas kemudian melaporkan lagi tahun 2016, namun datanya tidak bisa diakses.
Ali Mukhni yang masuk dua periode masa jabatan, terakhir melaporkan harta kekayaan tahun 2016, dengan jumlah Rp5,6 miliar. Bupati Pasaman Yusuf Lubis melaporkan kekayaan sebesar Rp1 miliar pada tahun 2015.
Sementara itu, Bupati Pasaman Barat Syahiran melaporkan harta kekayaan terakhir di tahun yang sama, dengan total Rp4 miliar. Genius Umar yang baru menjabat Walikota Pariaman, melaporkan harta kekayaan terakhir tahun 2013, dengan jumlah total Rp1,8 miliar.
Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni melaporkan harta kekayaan sebesar Rp3,26 miliar tahun 2015. Bupati Sijunjung Yuswir Arifin melaprokan harta kekayaan Rp2 miliar di tahun yang sama. Masih tahun 2015, Bupati Tanahdatar Irdinansyah Tarmizi melaporkan harta kekayaan sebanyak Rp1,4 miliar.
Begitu pula Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi, melaporkan harta kekayaan sebesar Rp1 miliar. Berbeda halnya dengan Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria yang melaporkan harta kekayaan sebesar Rp5,5 miliar, namun itu tahun 2013. Setelahnya, Muzni tak melaporkan lagi.
Walikota Solok Zul Efian melaporkan harta kekayaan terakhir tahun 2015, dengan total Rp657 juta. Tak jauh berbeda, Walikota Padang Mahyeldi Ansharullah melaporkan harta kekayaannya sebesar Rp563 juta, tahun 2014. Desri Asta yang baru menjabat sebagai Walikota Sawahlunto, melaporkan harta kekayaan terakhir tahun 2013, dengan jumlah Rp495 juta.
Belum Patuh Laporkan Kekayaan
Melihat pada LHKPN para bupati/walikota di Sumbar, tergambar para kepala daerah tersebut belum patuh melaporkan harta kekayaannya. Tak satupun bupati/walikota di Sumbar yang rutin melaporkan harta kekayaan tiap tahun.
Padahal setidaknya ada tiga peraturan perundang-undangan yang memerintahkan agar kepala daerah (pejabat negara) rutin melaporkan harta kekayaannya secara periodik masa jabatan maupun setiap tahun selama menjabat.
Peraturan perundang-undangan itu, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara, Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Sebetulnya, keengganan para pejabat negara melaporkan harta kekayaannya juga terjadi di seluruh Indonesia. Mulai dari pejabat negara tingkat pusat sampai ke daerah, belum benar-benar rutin melaporkan harta kekayaannya. Padahal, laporan harta kekayaan pejabat negara ini amat penting.
Di negara-negara di dunia, termasuk tentunya di Indonesia, LHKPN menjadi isu etik dan antikorupsi. Pelaporan harta kekayaan pejabat negara adalah media untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan lembaga publik, serta untuk mendukung tercapainya tujuan pemberantasan korupsi yang efektif. Mekanisme pelaporan kekayaan adalah media yang memungkinkan pengawasan kejujuran, integritas, dan deteksi kemungkinan adanya tindakan memperkaya diri secara ilegal oleh pejabat publik.
Lalu, kenapa pejabat negara tetap tak patuh melaporkan harta kekayaannya?
Dari banyak diskusi terungkap bahwa salah satu penyebabnya, karena tak ada alat pemaksa atau sanksi yang keras bagi pejabat negara yang tidak patuh melaporkan harta kekayaan. Satu-satunya hukuman bagi pejabat negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, hanyalah Pasal 21 Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara, Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Dalam pasal itu, KPK hanya bisa memberikan rekomendasi agar pejabat negara yang tak patuh itu diberi sanksi oleh atasannya. Jika tak dilaksanakan, juga tak ada aturan tertulis untuk memaksa. (pkt-03/pkt-01)