Padangkita.com – Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas mengadakan lokakarya mengenai rancangan peraturan daerah Sumatera Barat tentang penanaman modal di Hotel Pantai Pangeran Padang, Kamis (16/11/2017). Lokakarya yang diikuti oleh enam LKAAM kabupaten/kota, perwakilan OPD, LSM, akademisi, dan lainnya ini diadakan untuk membahas naskah akademik dan ranperda yang dirancang oleh PUSaKO dalam upaya mengatasi permasalahan penanaman modal di Sumatera Barat.
Direktur PUSaKO Feri Amsari mengatakan salah satu penyebab tidak berkembangnya angka penanaman modal di Sumatera Barat adalah sulitnya mempertemukan kepentingan investor dengan masyarakat adat dalam dunia investasi. Konsep kepemilikan tanah masyarakat adat bersifat komunal sehingga tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dan mesti dijaga untuk generasi masa depan. Meski demikian, tanah ulayat sebenarnya tetap bisa diberdayagunakan melalui investasi sehingga tidak hanya bernilai sosial, tetapi juga bernilai ekonomis dan berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat adat.
Di sisi lain, investor butuh hak guna usaha agar bisa menanamkan ivestasinya. Kondisi ini kemudian menjadi polemik bagi masyarakat adat di Sumatera Barat karena dengan terbitnya hak guna usaha terjadi peralihan kepemilikan lahan dari kepemilikan komunal adat menjadi milik negara. Inilah masalah yang selalu menghantui masyarakat hukum adat, sehingga banyak dari masyarakat tidak bersedia lahannya menjadi wilayah/target investasi.
“Selain itu, terhadap lahan-lahan yang telah dikelola oleh investor juga tidak jarang terjadi konflik yang berujung pada kriminalisasi masyarakat adat dan terhambatnya pelaksanaan pekerjaan dari investor,” ujar Feri.
Di samping itu, para pembentuk peraturan perundang-undangan juga dinilai tidak mampu menemukan solusi agar dua kepentingan tersebut dapat dipertemukan. Pemerintah daerah cenderung terpaku dengan ketentuan yang ada di pusat, sehingga belum mampu memikirkan langkah yang inovatif agar kedua kepentingan yang berseberang dapat berjalan beriringan.
Terkait persoalan tersebut, kata Feri, hukum tentunya harus mampu berperan menyelesaikan persoalan-persoalan antara masyarakat adat dan investor. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Roscoe Pond, hukum harus mampu menjadi alat rekayasa sosial dalam upaya menghentikan konflik antara masyarakat hukum adat dan para pelaku dunia bisnis.
Untuk mengatasi persoalan ini, PUSaKO sejak awal 2017 telah melakukan penelitian di enam kabupaten di Sumbar, yaitu Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Solok Selatan, Dharmasraya, Agam, dan Sijunjung. Berdasarlan penelitian tersebut, ditemukan pola yang hampir sama terkait dengan masalah penanaman modal, yaitu hubungan antara investor, masyarakat adat, dan masalah objek dari penanaman modal, yaitu tanah ulayat.
“Untuk menjawab persoalan-persoalan dalam penanaman modal tersebut, PUSaKO menjawab dengan perlunya melahirkan peraturan daerah terkait dengan penanaman modal di Sumatera Barat yang berpihak pada masyarakat adat dan kepentingan investor,” kata Feri melanjutkan.
Di Sumatera Barat sendiri, sebenarnya sudah ada perda terkait penanaman modal, yaitu Perda No. 2 Tahun 2014, namun dinilai tidak memberikan ruang kepada masyarakat adat dalam proses penanaman modal. Peraturan daerah yang demikian itu, kata Feri, tidak akan mampu menjawab persoalan terkait dengan persoalan investasi di Sumatera Barat.
“Hasil penelitian PUSaKO ini dapat dimanfaatkan oleh Pemda Sumbar untuk mengganti Perda No. 2 Tahun 2014, dengan salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menyiapkan peta investasi dan peta penguasaan ulayat di sumatera barat. Selain itu, juga harus dipastikan masyarakat adat juga dilibatkan sejak awal perencanaan penanaman modal,” ujar Feri.