Pilkada DKI dan Post-Truth

Opini Padangkita - Kolom: Mohammad Isa Gautama.

Mohammad Isa Gautama. [Dok. Padangkita.com]

Lampiran Gambar

Mohammad Isa Gautama. (Dok. Padangkita.com)

MENARIK menyimak apa yang disampaikan pengamat politik Muhammad Qodari di program Apa Kabar Indonesia Pagi (AKI-Pagi), di penghujung Maret lalu yang menyimpulkan bahwa mutu Pilkada DKI kali ini masuk kategori buruk. Qodari melandaskan opininya berdasarkan pemilihan isu-isu primordial dan sektarian yang dijadikan titik pusar ‘merayu’ pilihan politik para (calon) konstituen.

Lebih jauh, semestinya Pilkada berkualitas itu menekankan kontestasi program dan nilai-nilai visioner, jauh dari isu-isu sektarian dan primordial, ini penting dalam rangka menguji tingkat kecerdasan pemilih dan memberi garansi tampilnya kontestan Pilkada yang mengedepankan hal-hal substantif. Qodari juga menyorot betapa rata-rata para calon pemilih Pilkada DKI seringkali terjebak pada berondongan informasi yang belum tentu sepenuhnya benar di lini masa. Intinya, kebanyakan konstituen masih gampang dibelit oleh ‘tsunami’ hoax yang menyebar terutama di media sosial.

Fenomena yang ditangkap oleh Qodari sebenarnya mencerminkan juga kekuatiran sebagian besar pengamat politik sepanjang setahunan terakhir, tidak saja di skala Indonesia, namun juga dunia. Realitas yang disorot Qodari dan pengamat politik lainnya merupakan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kamus Oxford memadatkannya menjadi satu istilah; post-truth, dan menjadikannya sebagai ‘word of the year’ tahun 2016.

Sebagian besar penggunaan frasa post-truth merujuk pada dua momen paling berpengaruh di tahun 2016; keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Kondisi post-truth memuncak dalam dua momen politik tersebut yang digerakkan oleh sentimen emosi, informasi-informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta sebenarnya, real-truth.

Terjebaknya publik pada berita bohong atau rekayasa isu yang palsu, ternyata bukan barang baru di Indonesia, termasuk di sebuah kontes pemilihan umum/pilkada. Fenomena paling anyar sekaligus ‘menggemparkan’ tentunya pada pilpres Amerika Serikat 2016 baru lalu, di mana Donald Trump, sedari awal pencalonannya kerap melempar berita bohong dan klaim sepihak yang tidak didukung bukti. Sayangnya, media di sana kerap mengutip pernyataan Trump dan dalam frekuensi berulang-ulang. Hasilnya, media dan jurnalisme mengalami kebimbangan menghadapi pernyataan-pernyataan bohong para politisi.

Di kita, fenomena serupa semakin menyeruak, membuat cemas siapa saja, termasuk pengamat politik. Berita hoax justru bersumber dari ‘kebenaran’ pernyataan dari para politisi. Politisi gemar menginformasikan berita palsu dalam berbagai cara, kondisi, dan kemasan yang sangat halus, sehingga betul-betul menjadi ‘pseudo-informasi’,  informasi seolah-olah yang justru diserap oleh media dan kemudian menjadi ‘santapan’ publik umum.

Memang, kita masih saja berharap pada media arus utama, yaitu media yang masih bisa dikategorikan sebagai ‘penjaga gawang’ kebenaran. Media jenis ini mengutamakan verifikasi ketat terhadap sumber berita sehingga apa yang ditampilkan sangat kecil kemungkinan menjurus ke diseminasi hoax dan ‘post-truth’.

Namun, bisa jadi ‘kelegaan’ itu hanya bersifat nisbi atau sementara belaka. Ini cukup beralasan, mengingat tidak saja di Indonesia, di level dunia, terutama kawasan Asia Pasifik, jumlah orang yang semakin beralih untuk membaca berita dari gawai pribadi semakin meningkat. Risikonya, akses ke informasi dan berita kepada media arus utama ‘terancam’ juga menurun, beralih kepada berbagai media ‘baru’, media yang disebut Dewan Pers sebagai media abal-abal. Belum lagi sumber informasi yang berasal dari kiriman informasi secara berantai melalui copy paste atau retweet di ajang komunikasi media sosial, mulai dari Whats Apps, BBM, Facebook dan twitter.

Data terbaru Berdasarkan riset yang dirilis Reuters Institute, kecenderungan orang membaca berita melalui media sosial semakin tinggi. Di Singapura dan Malaysia, lebih dari 25% responden yang diwawancarai menjadikan media sosial sebagai sumber utama dalam mengakses berita. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan di Inggris yang hanya 8% dan di Amerika Serikat 15%. Angka ini berbanding lurus dengan popularitas penggunaan telepon genggam yang jauh lebih tinggi dibandingkan penggunaan komputer dan tablet untuk mengakses berita.

Sementara di negara Asia-Pasifik lainnya, yaitu Hong Kong dan Singapura, publik masih sangat percaya kepada berita-berita media. Namun angkanya turun drastis di Taiwan, dan sebagian Malaysia, yang mulai tidak percaya kepada berita-berita yang dianggap penuh kepentingan.

Untuk Indonesia, meski belum ada data yang spesifik sejauh apa media sosial digunakan sebagai medium untuk memperoleh berita. Namun riset terbaru dari Asosiasi Penyelenggaran Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis di awal 2017 setidaknya bisa menjadi petunjuk.

Dari data APJII, lebih dari 50% atau 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Dari angka tersebut 63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses dari telepon pintar. Hal ini menarik untuk disi mak lebih jauh, jika melihat perilaku netizen yang selain berbagi berita-berita dari media arus utama, juga rentan terhadap berita-berita palsu. Eksesnya menguat manakala pada momen beberapa Pilkada, fenomena itu mau tidak mau menyumbang pada ujian demokrasi sekaligus barometer berbagai ajang Pilkada lainnya. Bisa disimak dari hasil analisis berbagai pihak atas preferensi pemilih Pilkada putaran kedua DKI lalu, di mana publiknya mayoritas terjebak dengan gelombang berita palsu, seolah-olah ikut menyumbang pada fenomena post-truth.

Tag:

Baca Juga

Kepala BKD Bantah Informasi Pemprov Sumbar Bayar Gaji ASN Tak Masuk Kerja 8 Bulan
Kepala BKD Bantah Informasi Pemprov Sumbar Bayar Gaji ASN Tak Masuk Kerja 8 Bulan
Kukuhkan Pengurus Hipermi, Mahyeldi Yakin Randang Sumbar makin Berdaya Saing
Kukuhkan Pengurus Hipermi, Mahyeldi Yakin Randang Sumbar makin Berdaya Saing
25 Penerima Beasiswa Anak Nagari Semen Padang PNP Terpilih, Siap Menjalani Pendidikan Vokasi Bermutu
25 Penerima Beasiswa Anak Nagari Semen Padang PNP Terpilih, Siap Menjalani Pendidikan Vokasi Bermutu
Gubernur Mahyeldi Sebut Kontribusi Alumni FPUA Terbukti Tingkatkan Produksi Pertanian Sumbar
Gubernur Mahyeldi Sebut Kontribusi Alumni FPUA Terbukti Tingkatkan Produksi Pertanian Sumbar
Sejumlah Pejabat Eselon II Sumbar Ikut Sesi Pendampingan Rencana Aksi DLA
Sejumlah Pejabat Eselon II Sumbar Ikut Sesi Pendampingan Rencana Aksi DLA
Visi Maju, Berbudaya, dan Berkelanjutan: Musrenbang RPJPD Kota Padang 2025-2045 Dimulai
Visi Maju, Berbudaya, dan Berkelanjutan: Musrenbang RPJPD Kota Padang 2025-2045 Dimulai