Perjuangan Pers Sumatra Barat: Berita Disensor, Wartawan Ditahan, Kantor Diteror, Mesin Cetak Dihancurkan

Berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini: Perjuangan pers Sumatra Barat (Sumbar) di zaman Jepang hingga Agresi II Belanda, sungguh berat. Sepenggal kisah dari begitu panjangnya bait-bait sejarah pers Sumbar.

Surat kabar Merdeka. [Foto: Kompasiana]

Berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini: Perjuangan pers Sumatra Barat (Sumbar) di zaman Jepang hingga Agresi II Belanda, sungguh berat. Sepenggal kisah dari begitu panjangnya bait-bait sejarah pers Sumbar.

Padang, Padangkita.com- Perjuangan pers Sumatra Barat (Sumbar) di zaman Jepang hingga Agresi II Belanda, sungguh berat. Berita-berita disensor. Wartawan dan pemimpin redaksi diperiksa dan ditangkap. Kantor media massa dan percetakan koran diteror dan dihancurkan. Inilah sepenggal kisah dari begitu panjangnya bait-bait sejarah pers Sumbar.

Surat kabar itu bernama "Persamaan". Terbit di Padang, Sumatra Barat. Direkturnya adalah Marah Nurdin. Sedangkan Pemimpin Redaksinya ialah Mulkan. Dalam buku "Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 Jilid I" yang diterbitkan oleh Badan Pemurnian Sejarah Minangkabau (BPSIM) pada 1978 diketahui "Persamaan" merupakan koran harian.

Saat pendudukan Jepang dimulai di Padang, pada 17 Maret 1942, "Persamaan" masih terbit menemui pembacanya. "Persamaan" hadir bersama "Dagblad Radio", koran berbahasa Melayu dan Tionghoa yang juga terbit di Padang. Sedangkan dua koran lainnya yang sempat terbit pada akhir kependukan Belanda, yakni "Sinar Sumatera" dan "Sumatera Bode", sudah tutup saat Jepang masuk ke Padang.

"Persamaan" dan "Dagblad Radio" kemudian dilebur Jepang menjadi satu koran baru bernama "Padang Nippo". Sebelum peleburan terjadi, "Persamaan" dan "Dagblad Radio" sama-sama mengalami "mimpi buruk". Sebelum diedarkan, kedua koran ini mesti disensor atau diperiksa dulu oleh pihak Jepang.

Penyensoran terjadi karena berita. Dalam buku "Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 Jilid I" terungkap, "Persamaan" pernah menurunkan berita tentang tindakan semena-mena orang-orang yang bekerja pada dinas rahasia Jepang.

Dalam berita "Persamaan" itu dikabarkan, bahwa kaki tangan Jepang yang merupakan warga berkebangsaan Indonesia, tampil terbuka di tengah-tengah kota, dengan memakai huruf "F" pada lengan bajunya. Mereka masuk kampung keluar kampung dengan melakukan tindakan di luar hukum. Seperti, mengambil harta penduduk dengan kekerasan. Bahkan, pernah membongkar kas dari seorang wali nagari (kepala negeri).

Berita yang diturunkan "Persamaan" ini membuat panas kuping tentara Jepang di Padang. Alhasil, Mulkan sebagai pemimpin redaksi "Persamaan" sempat diperiksa atas tuduhan menjelekkan nama baik tentara Jepang. Kemudian, "Persamaan" dan "Dagblad Radio" juga disensor. Kedua koran ini dilarang diedarkan, sebelum diperiksa pihak berwenang dari Jepang.

Tidak puas hanya dengan pemberlakukan sensor, pemerintah Jepang di Padang juga melebur "Persamaan" dan "Dagblad Radio" menjadi satu koran baru bernama "Padang Nippo". Direksi dan para wartawan dari penerbitan baru ini, terdiri dari personel kedua harian, ditambah dengan tenaga baru.

Adapun Direksi "Padang Nippo" kala itu adalah Marah Nurdin dan Lien On Sam. Sedangkan Pemimpin Redaksinya adalah Suska. Kemudian, wakilnya Mulkan dan Oei Tin Djin.

Namun, formasi ini tidak bertahan lama. Sebab, Marah Nurdin, Suska, dan Oei Tin Djin, kemudian dikeluarkan dari "Padang Nippo". Mereka digantikan oleh Chatib Salim, Nasrun AS, dan Madjid Usman.

Setelah "Padang Nippo" diterbitkan, penguasa Jepang di Sumatra Barat pada waktu itu juga menerbitkan harian baru bernama "Sumatora Shinbun". Belum diketahui, bagaimana riwayat koran ini. Yang jelas, pendudukan Jepang di Sumatra Barat berakhir pada 17 Agustus 1945, seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Dwitunggal: Soekarno-Hatta.

Buruk Muka, Pers Diteror

Hengkangnya Jepang dari Padang setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, membuat pers di Sumatra Barat agak bergairah. Siaran berita kembali dapat didengar oleh penduduk karena pemancar radio di Padang sudah aktif. Kemudian, koran-koran baru dengan semangat republiken juga terbit di Padang dan Bukittinggi.

Di Padang, koran baru yang terbit setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu adalah "Harian Utusan Sumatera". Pemimpin Redaksinya adalah Bariun AS, dengan Staf Redaksinya Ridwan dan Mulkan. Sedangkan administrasinya atau divisi usaha, diurus Marah Abdoellah dan Marah Ilyas, dengan St Johan sebagai kepala percetakannya.

"Harian Utusan Sumatera" yang terbit di Padang setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ibarat 'wajah baru stok lama'. Sebab, pengelola dan wartawannya adalah mereka yang sebelumnya bekerja di "Padang Nippo", koran bentukan pemerintah Jepang.

Bedanya dengan "Padang Nippo", "Harian Utusan Sumatera" ini, awal diterbitkan, tidak punya modal uang. Hanya modal tenaga atau sumber daya manusia saja. Bahkan, kertas pertamakali yang digunakan  untuk mencetak koran ini adalah sumbangan dari Hasan St Maradjo, seorang pedagang di Pasar Kampung Jawa, Padang.

Begitu dapat kertas untuk cetak koran, pengelola "Harian Utusan Sumatera" kelabakan pula mencari percetakan. Setelah berembuk dengan pengelola percetakan "Vorwaarts" (percetakan ini kemudian berganti nama menjadi Percetakan Radio di Jalan Sungai Bong Padang), barulah "Harian Utusan Sumatera" dapat dicetak terlebih dahulu, tanpa membayar uang muka.

Ajaibnya, edisi pertama "Harian Utusan Sumatera" laris manis di pasaran. Sebab, waktu itu, seperti tertulis dalam buku "Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 Jilid I", rakyat memang haus akan berita, pengumuman-pengumuman, dan bimbingan-bimbingan yang dapat disalurkan oleh surat-surat kabar.

Karena itu pula, "Harian Utusan Sumatera" yang baru saja terbit, dalam tempo singkat sudah habis terjual secara kontan. Dengan begitu, pengelolanya punya modal penggerak untuk meneruskan penerbitan.

"Harian Utusan Sumatera" ini terbit di tengah masyarakat yang sedang berjuang dan berevolusi. Sebab itu pula, tak teringat oleh anggota redaksi dan karyawannya untuk menuntut upah dan gaji. Yang penting, surat kabar terbit.

Namun, kehadiran "Harian Utusan Sumatera" juga menjadi 'duri dalam daging' bagi Sekutu yang masuk ke Sumatra Barat dengan diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang mewakili pemerintah Belanda. Bahkan, pihak Sekutu, NICA yang datang setelah Jepang hengkang, sempat menangkap dan menahan Bariun AS, Pemimpin Redaksi "Harian Utusan Sumatera".

Bariun AS ditangkap Sekutu dan ditahan selama 14 hari. Ini terjadi karena komentarnya yang tajam atas terbunuhnya seorang mayor dan seorang nona Palang Merah Inggris di Sungai Beremas, Padang. Selain itu, Barius juga mengomentari tindakan-tindakan tentara Sekutu yang kejam membakar seluruh kampung Gaung, Padang.

Komentar Bariun AS di "Harian Utusan Sumatera" ini membuat panas kuping tentara Sekutu. Bahkan, setelah Bariun ditangkap, mesin cetak yang digunakan untuk mencetak "Harian Utusan Sumatera" di Percetakan "Voorewarts" atau Percetakan Radio juga diledakan Sekutu dengan dinamit sehingga rusak. Tidak itu saja, kantor "Harian Utusan Sumatera" di Kampung Jawa juga diobrak-abrik. Kaca-kaca jendela habis pecah. Koran ini pun harus pindah kantor.

Belum selesai sampai di sini, selama Bariun AS ditahan, wakilnya di "Harian Utusan Sumatera", yakni Ridwan, tiap sebentar diperiksa tentara Sekutu. Ini terjadi karena Ridwan menyiarkan berita berasal dari radio mengenai pembunuhan Mayor Jenderal Mallaby di Surabaya yang dianggap pihak Sekutu merugikan mereka.

Meski tiap sebentar diperiksa, namun Ridwan tidak goyah. Awak redaksi "Harian Utusan Sumatera" memang bernyali dalam mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saking besarnya nyali mereka, awak redaksi "Harian Utusan Sumatera" pernah menolak permintaan seorang tentara Inggris untuk memuat berita “bertendens” yang bisa merugikan perjuangan bangsa kita.

Semangat Wartawan dan Awak Redaksi

"Harian Utusan Sumatera" dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, membuat Sekutu betul-betul tak nyaman. Hingga akhirnya, tentara Sekutu dengan menggunakan dinamit, menghancurkan mesin cetak yang digunakan untuk mencetak koran ini.

Setelah mesin di percetakan "Voorwarts" hancur, "Harian Utusan Sumatera" pindah cetak ke Percetakan Gazaira milik Haji Zainin di Pasar Batipuh, Padang. Namun karena mesin cetak di percetakan ini ukurannya kecil, "Harian Utusan Sumatera" kemudian membeli mesin cetak bekas. Tapi, hanya beberapa bulan saja, koran ini akhirnya harus ditutup karena keadaan zaman revolusi kemerdekaan Indonesia.

Begitu "Harian Utusan Sumatera" tutup, di Padang juga terbit koran baru dengan semangat Republiken. Nama koran itu adalah "Tjahaja Padang". Akan tetapi, penerbitan "Tjahaya Padang" ini juga menghadapi banyak tantangan dari Sekutu dan NICA. 

Bukittinggi Pernah Jadi Pusat Koran

Di Bukittinggi, koran-koran baru yang terbit setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia justru lebih banyak lagi dibandingkan di Padang. Bahkan, Djamaluddin Adinegoro, tokoh pers legendaris yang namanya diabadikan PWI sebagai nama penghargaan karya tulis jurnalistik bermutu, pernah mendirikan "Harian Kedaulatan Rakyat" di Bukittinggi.

Adinegoro mendirikan "Harian Kedaulatan Rakyat" di Bukittinggi bersama sejumlah wartawan. Seperti, Anwar Luthan, T. Syahril, Zubir Salam, Syamsoedin Loebis, Darwis Abbas, Hassan Ahmad, dan lain-lain. Belum diketahui, kenapa "Harian Kedaulatan Rakyat" di Bukittinggi ini, punya kesamaan nama dengan "Harian Kedaulatan Rakyat" yang terbit di Jogyakarta pada 1945 dan masih ada hingga sekarang.

"Harian Kedaulatan Rakyat" yang terbit di Bukittinggi, bertahan hingga 1948 atau sampai tentara Belanda menduduki kota ini, sesudah clash (Agresi) kedua. Selain "Harian Kedaulatan Rakyat", di Bukittingi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, juga terbit "Harian Panca Sila".

Harian "Panca Sila" yang terbit di Bukittingi ini pendirinya adalah Usman Hasibuan. Bersaman dengan "Harian Panca Sila", juga terbit di Bukittinggi "Harian Pedoman Kita dan Demokrasi" yang didirikan oleh Jusja dan Jusuf. Selanjutnya, hadir pula surat kabar "Warga Negara" yang diterbitkan oleh keluarga Adlinsyah Jenie.

Disamping itu, "Harian Haluan" yang sampai kini masih bertahan dalam format cetak, juga diterbitkan di Bukittinggi, setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam website resmi Haluan diketahui koran ini terbit pertamakali pada 1948. Pendirinya adalah H Kasoema dkk.

Dari penelusuran diketahui "Harian Haluan" terbit pada awal Januari 1949. Atas prakarsa Adham Hasibuan, bersama Jahja Jakoeb, Amarullah O Lubis, Kasuma (Kasoema), dan lain-lain.

Dari Bukittinggi, "Harian Haluan" kemudian pindah ke Padang. Dimana, "Harian Haluan" dicetak di Percetakan Radio di Jalan Sungai Bong Padang. Percetakan ini juga menerbitkan "Harian Penerangan" yang dipimpin Lien Oen Sam dan Oei Tin Djin.

Bukan "Harian Haluan" saja yang terbit di Bukittinggi, jurnalis kondang Parada Harahap yang dijuluki 'King of the Java Press' juga pernah mendirikan "Harian Detik" di Bukittinggi. Parada Harahap mendirikan "Harian Detik" bersama rekan seprofesinya, Hadeley Hasibuan.

Waktu itu, Parada Harahap dan Hadeley Hasibuan, memang berkumpul di Bukittinggi, bersama dengan wartawan dari Sumatera Timur dan Jawa. Diantaranya adalah Jahja Jakoeb, Adham Hasibuan, Rinto Alwi, Mustadjab, Tasrif, dan Amarullah Lubis. Khusus Amarullah Lubis, kala itu juga menjabat sebagai pimpinan Kantor Berita Antara Cabang Bukittinggi, dengan wakilnya Zaswir.

Para wartawan dari Sumatera Timur dan Jawa berkumpul di Bukittinggi, karena kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan di Pulau Sumatera. Sejumlah jawatan, termasuk Pusat Penerangan Republik Indonesia Sumatera (PPRIS) yang dipimpin Adinegoro, berkantor di Bukittinggi.

PPRIS ini juga mengelola RRI Bukittinggi yang letaknya di Anak Air. Siaran RRI Bukittinggi ini bersanding dengan siaran Radio Indonesia Merdeka (RIM) yang pemancarnya dibangun Bagian Penerangan Divisi IX Banteng (TNI) di Bukittinggi.

Selain mengelola radio, Bagian Penerangan Divisi IX Banteng juga menerbitkan surat kabar.  Nama surat kabar yang diterbitkan ini sama dengan nama divisi tersebut, yakni "Banteng". Awalnya, surat kabar "Banteng" ini terbit dalam bentuk harian kecil atau koran kecil, dengan pimpimannya Kapten Nasrun AS. Setelah itu, muncul dalam ukuran koran besar, dengan pimpinannya Leon Salim dan Djamaluddin Hasan.

Sementara itu, dari pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah di Nagari Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, juga terbit dua majalah untuk menginformasikan perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kedua majalah yang diterbitkan Gubernur Militer Sumatera Tengah itu bernama "Suara Republik" dan, "Menara Rakyat".

Majalah "Menara Rakyat" yang terbit di Koto Tinggi, Limapuluh Kota, dikelola oleh Suska, Kepala Penerangan Provinsi Sumatera Tengah dan Kamarsyah sebagai Wakil Kepala. Sedangkan majalah "Suara Republik" diasuh oleh Pengurus Besar Darurat Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia/Tentara Pelajar.

Para Tentara Pelajar ini juga mengelola siaran radio bernama "Siaran Kilat" yang merupakan siaran langsung Gubernur Militer. Sementara dari Gunung Singgalang, juga muncul siaran radio perjuangan yang diasuh oleh Darwis Abbas.

Sedangkan dari daerah Matur, juga kerap terdengar siaran berita-berita penting lewat radio yang diasuh oleh Hutasoit. Adapun di Kota Padang, pemancar Radio Indonesia Merdeka juga berkumandang, menyemangati perjuangan kemerdekaan.

Pers Sumbar Sudah Ada Sejak Zaman Baheula

Sesungguhnya, pers di Sumatra Barat sudah ada sejak zaman baheula. Cukup banyak buku-buku sejarah yang mencatat dan mengungkap fakta ini. Seperti, buku "Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945) yang ditulis Yuliandre Darwis. Atau juga Buku “Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an)” yang ditulis Sastri Sunarti.

Kemudian, sejarahwan Ahmat Adam dalam Buku “The Vernacular Press and The Emergence of Modern Indonesian Consciousness 1855-1913” juga menulis tentang surat kabar pertama yang terbit di Sumatra Barat. Begitu pula dengan sejarawan lainnya, seperti Suryadi Sunuri, juga banyak menulis artikel tentang perjalanan pers di Minangkabau yang sebagian besar wilayahnya adalah Sumatra Barat sekarang.

Tidak hanya dalam bentuk buku, percikan sejarah pers di Sumatra Barat, termasuk penerbitan pers di Minangkabau, juga tersaji dalam berbagai hasil penelitian dan disertasi. Diantaranya, disertasi yang dipertahankan Sudarmoko di Universitas Leiden, tentang penerbitan pers komunitas di Minangkabau. Kemudian, juga ada sejumlah tulisan dosen UNP, Hendra Naldi, tentang sejarah pers di Sumbar pada zaman kolonial.

Adapun di kalangan wartawan, tidak terhitung banyaknya yang enulis sejarah pers di Sumbar. Paling fenomenal dalam satu dasawarsa terakhir adalah tulisan Nasrul Azwar di Padang Ekspres edisi 16 September 2007. Tulisan berjudul "Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu" itu bahkan dimuat ulang oleh salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Andreas Harsono, di blog pribadinya.

Wartawan lainnya yang banyak menulis sejarah pers di Sumbar, diantaranya adalah mendiang Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, Hasril Chaniago, dan Khairul Jasmi. Terakhir, Khairul Jasmi yang Pemimpin Redaksi Singgalang, berbicara tentang sejarah pers di Minangkabau, lewat kanal YouTube-nya. "Sejarah pers Sumbar itu panjang. Sepanjang jalan Padang-Bukittinggi, kali enam," seloroh KJ, begitu Khairul Jasmi lebih dikenal.

KJ tentu benar, pers Sumatra Barat memang punya kisah yang terhampar panjang. Bahkan, jauh sebelum Raden Mas Tirto Adhi Surjo atas TAS yang dinobatkan oleh pemerintah Orde baru sebagai "Bapak Pers Nasional",

menerbitkan surat kabar "Medan Prijaji" (1907) ataupun "Soenda Berita" (1903-1905), di Sumatra Barat atau Minangkabau, sejak 7 Desember 1864, sudah terbit surat kabar berbahasa Melayu bernama "Bintang Timoer".

Menyusul "Bintang Timoer", juga terbit surat kabar lainnya seperti “Pelita Ketjil” (Padang, 1892-1894), “Warta Berita” (Padang, 1895), dan “Tjahja Sumatra” (Padang, 1906).

Baca juga: Polda Sumbar Tangkap Bandar Narkoba, 2 Kilogram Sabu-sabu Berasal dari Tiongkok dan Malaysia Disita

Lalu, juga ada penerbitan-penerbitan berbasis komunitas dan agama Islam. Pendek kata, orang Sumatra Barat atau orang Minangkabau, sudah lama sekali bersentuhan dengan dunia pers. Bahkan, jauh sebelum Hari Pers Nasional yang merupakan Hari Ulang Tahun PWI itu ditetapkan. (pkt)


Baca berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini hanya di Padangkita.com.

Baca Juga

Sukses Bikin DPD RI 'Bertaji', LaNyalla Terima Special Award dari PWI Jawa Timur
Sukses Bikin DPD RI 'Bertaji', LaNyalla Terima Special Award dari PWI Jawa Timur
Sampaikan Selamat HPN 2024, Ini Penilaian Gubernur Mahyeldi soal Peranan Pers di Sumbar
Sampaikan Selamat HPN 2024, Ini Penilaian Gubernur Mahyeldi soal Peranan Pers di Sumbar
Selamat Tinggal Sumbar! Provinsi Bengkulu Resmi Punya Jalan Tol Duluan
Selamat Tinggal Sumbar! Provinsi Bengkulu Resmi Punya Jalan Tol Duluan
Gubernur Sumbar dan TPID Sepakati 7 Langkah Strategis Pengendalian Inflasi Daerah
Gubernur Sumbar dan TPID Sepakati 7 Langkah Strategis Pengendalian Inflasi Daerah
Jumlah Penerima Beasiswa LPDP di Sumbar masih Sedikit, Alumni Diminta Gencar Sosialisasi
Jumlah Penerima Beasiswa LPDP di Sumbar masih Sedikit, Alumni Diminta Gencar Sosialisasi
Wisman ke Indonesia Januari-Maret 2023 Capai 2,25 Juta Kunjungan, ke Sumbar Cuma Segini
Wisman ke Indonesia Januari-Maret 2023 Capai 2,25 Juta Kunjungan, ke Sumbar Cuma Segini