Perihal Entri Perempuan dalam KBBI, Kamus Bukan Pendidik Moral

Opini Holy Adib

Holy Adib. [Foto: Dokumentasi Pribadi]

Sejak 2018 aktivis perempuan memprotes definisi dan subentri (kata turunan) perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Aktivis yang mempelopori protes ini ialah Ika Vantiani, praktisi seni mandiri. Ia bersama Yolanda Siahaya memamerkan karya instalasi berjudul “Perempuan dalam Kamus Bahasa Indonesia” di Galeri Nasional Indonesia pada Agustus 2018. Salah satu yang mereka tampilkan dalam pameran itu ialah definisi dan subentri perempuan yang terdapat dalam KBBI I hingga KBBI V yang ditampilkan dalam kaca transparan.

Di akun Instagram-nya, @vantiani, Ika membuat narasi intalasi tersebut: Walau ada perubahan di setiap edisinya, secara garis besar penjelasan kata perempuan dalam kamus ini dengan gigihnya mendeskripsikan betapa perempuan adalah sosok orang yang hidupnya hanya berkisar tentang seks semata, baik sebagai subyek, obyek, hingga sebagai bagian dari proses reproduksi.”

Ika Vantiani melanjutkan protes tersebut, salah satunya, dengan membuat kaus yang bertuliskan “Ganti penjelasan kata ‘perempuan’ dalam KBBI!”. Ika mengenakan kaus ini dalam aksi Hari Perempuan Sedunia di Jakarta Pusat, 8 Maret 2020. Dikutip dari berita “Aktivis Kritik Definisi Perempuan di KBBI” (Tempo.co, 8 Maret 2020), Ika mempertanyakan definisi kata perempuan yang di dalam kamus disebut sebagai ‘orang yang memiliki vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui; wanita, (2) istri, bini; (3) betina’.

“Bagaimana negara mendefinisikan perempuan dalam KBBI seperti ini? Kenapa perempuan hanya berkisar genital saja? Karena misalnya ada kata pelacur dalam definisi itu (perempuan geladak),” ujarnya.

Ika juga menyoal turunan kata perempuan, yakni keperempuanan dalam KBBI. KBBI mencantumkan contoh kalimat yang menggunakan kata keperempuanan yang menurut Ika melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, yakni Banyak tentara pendudukan yang melanggar keperempuanan wanita desa.

Kaus itu terus diproduksi dan dipakai oleh sejumlah perempuan sampai sekarang, termasuk oleh Vokalis Barasuara, Asteriska, sebagai protes dan kampanye agar definisi, contoh pemakaian dalam kalimat, dan subentri perempuan, sebagaimana yang dimaksud Ika, diganti oleh Badan Bahasa, lembaga pemerintah yang memproduksi KBBI.

Saya melihat ada tiga hal yang diprotes oleh aktivis perempuan tersebut. Pertama, definisi perempuan yang hanya berkisar pada genitalia atau alat kelamin (reproduktif). Kedua, subentri negatif tentang perempuan, yakni perempuan geladak, perempuan jahat, perempuan jalanan, perempuan jalang, perempuan jangak, perempuan lacur, perempuan lecah, perempuan nakal, dan perempuan simpanan. Ketiga, contoh pemakaian subentri keperempuanan dalam kalimat, yakni Banyak tentara pendudukan yang melanggar keperempuanan wanita desa.

Persoalan pertama dan kedua sudah dijawab oleh tim penyusun KBBI dalam artikel “Tanggapan atas Kritik terhadap Entri Perempuan di KBBI” yang terbit di situs badanbahasa.kemdikbud.go.id pada 2 Februari 2021. Mereka menjelaskan bahwa definisi pertama pada entri perempuan, yang menyebutkan ciri-ciri fisik, merupakan deskripsi yang dipakai untuk menjelaskan jenis kelamin. Saya sependapat dengan jawaban itu. Salah satu fungsi kata perempuan memang untuk menunjukkan jenis kelamin. Kata perempuan merupakan jawaban dari pertanyaan jika ada anak yang baru lahir “Apa jenis kelaminnya?” Tidak mungkin jawaban pertanyaan itu wanita karena wanita berarti ‘perempuan dewasa’. Sebagai penanda kelamin, kata perempuan setara dengan kata laki-laki. Kata pria tidak dipakai untuk menunjukkan jenis kelamin karena berarti ‘laki-laki dewasa’. Kata pria setara dengan wanita. Lagi pula, definisi laki-laki dalam KBBI juga berkisar pada genitalia, yakni (1) ‘orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis’, (2) ‘jantan (untuk hewan)’. Hanya satu definisi laki-laki dalam KBBI yang tidak berhubungan dengan genitalia, yakni ‘orang yang mempunyai keberanian; pemberani’, yang itu pun dilabeli dengan label kiasan.

Sementara itu, pada persoalan subentri negatif tentang perempuan, tim penyusun KBBI menjelaskan bahwa KBBI merupakan kamus umum yang bersifat historis. Artinya, KBBI merekam semua fakta kebahasaan yang pernah dan tengah hidup dalam masyarakat tutur bahasa Indonesia. Berkaitan dengan keterandalan data itu, gabungan kata pada entri perempuan seperti perempuan geladak, perempuan jalang, dan perempuan simpanan dengan sangat mudah ditemukan dalam korpus dengan frekuensi penggunaan yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, tim editor mempunyai alasan yang sangat kuat untuk tetap mempertahankannya sebagai suatu fakta kebahasaan yang harus dicatat dalam kamus. Justru, dalam pendekatan leksikografi modern, kamus merupakan gambaran jujur dari kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat. Tim penyusun KBBI menutup penjelasannya dengan mengatakan bahwa penjelasan entri perempuan di KBBI dapat dijadikan contoh bagaimana masyarakat memandang perempuan dan konotasi seperti apa yang dilekatkan pada perempuan. Konotasi dan stigma perempuan yang negatif dapat diubah bukan dengan cara mengubah penjelasan entri tersebut di KBBI, melainkan dengan mengubah konotasi dan stigma masyarakat terhadap perempuan di tataran yang lebih tinggi. Jika perubahan konotasi dan stigma negatif masyarakat terhadap perempuan dapat dilakukan, entri-entri baru dengan makna yang positif akan muncul dalam korpus dan tercatat dalam KBBI secara alami. Memang begitulah fungsi kamus. Kamus merupakan cerminan dari masyarakat penutur bahasa. Kalau masyarakatnya memandang perempuan dengan cara begitu, yang kemudian menghasilkan sebutan-sebutan yang berkonotasi negatif, berarti ada latar belakang sosial yang membuat mereka mengungkapkan sebutan-sebutan seperti itu. Penyusun kamus lalu merekam kata-kata yang digunakan masyarakat tersebut secara apa adanya.

Kalau para aktivis tersebut meminta agar subentri negatif dalam KBBI dihapus, itu berarti mereka menganggap bahwa isi kamus berhubungan dengan persoalan moral. Kamus tidak berfungsi untuk mendidik moral orang. Itu bukan urusan kamus. Urusan kamus ialah mencatat kata-kata yang dipakai masyarakat. Menghapus kosakata dalam kamus karena alasan moral sama saja dengan menghapus catatan atas khazanah perilaku masyarakat karena kosakata menyimpan nilai-nilai di tengah masyarakat. Nilai tersebut tercermin dalam kosakata itu. Jika dulu ada sebutan perempuan geladak, perempuan jalang, perempuan lacur, perempuan nakal, dan perempuan simpanan, yang tercatat dalam kamus hingga kini karena kamus bersifat historis, barangkali pada zaman itu ada nilai-nilai yang dianut masyarakat yang membuat mereka memandang perempuan dengan gambaran seperti itu, yang kemudian tergambar dalam kosakata yang mereka pakai.

Karena kamus tidak berfungsi mendidik moral orang, kata-kata jorok, seperti mengentot, lonte, pepek (kemaluan perempuan), dan kata makian pun ada dalam kamus, misalnya bajingan, keparat, cukimai (puki makmu). Semua kata-kata itu dicap dengan label kas (kasar) dalam KBBI.

Jadi, kalau kata-kata yang dianggap berarti buruk atau berkonotasi negatif tak boleh masuk kamus, saya khawatir kamus menjadi semacam kitab suci. Padahal, kamus merupakan pasar kosakata, yang memuat kosakata dan makna yang digunakan masyarakat tanpa memandang kata itu bermakna dan berkonotasi bagus atau buruk. Semua kosakata yang dipakai masyarakat seharusnya ada dalam kamus karena kamus diperbarui secara berkala. Kosakata baru yang sudah dipakai masyarakat, tetapi belum dicatat kamus, dimasukkan ke dalam kamus ketika kamus dimutakhirkan—sebagai informasi, KBBI daring diperbarui sekali enam bulan.

Kembali pada tanggapan tim penyusun KBBI tersebut, mereka tidak menjawab persoalan contoh pemakaian subentri keperempuanan dalam kalimat, yang dianggap melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun begitu, mereka sudah mengganti contoh pemakaian kata itu dalam KBBI daring menjadi tak ada yang berhak melanggar keperempuanan seseorang dengan alasan apa pun. Perubahan itu terjadi pada pemutakhiran KBBI daring pada April 2020. Artinya, mereka mendengarkan protes pengguna kamus. Sementara itu, contoh kalimat Banyak tentara pendudukan yang melanggar keperempuanan wanita desa masih terdapat dalam KBBI V cetak, yang hanya bisa diperbarui pada KBBI cetak selanjutnya. Sayangnya, konon KBBI cetak terakhir ialah KBBI V alias tak ada KBBI VI cetak.

Laki-Laki Hidung Belang

Kelemahan lain KBBI dalam masalah ini ialah tidak berimbangnya subentri perempuan berkonotasi negatif dengan subentri laki-laki berkonotasi negatif. Karena itu, wajar jika KBBI dituduh bersifat misoginistik. Padahal, ada sejumlah sebutan laki-laki yang berkonotasi negatif, seperti laki-laki buaya (darat), laki-laki hidung belang, laki-laki mata keranjang (ada yang berpendapat lelaki mata ke ranjang) meskipun buaya darat, mata keranjang dan hidung belang sudah tercatat sebagai entri tersendiri di KBBI yang maknanya berasosiasi dengan laki-laki. Kalau tidak mau KBBI dituduh berpihak terhadap laki-laki dan diskriminatif terhadap perempuan, penyusun KBBI harus memasukkan subentri laki-laki yang berkonotasi negatif jika beralasan bahwa kamus mencatat fakta kebahasaan. Selain itu, penyusun KBBI perlu menambahkan subentri perempuan yang berkonotasi positif, seperti perempuan pejuang, perempuan pahlawan agar subentri perempuan dalam KBBI tak hanya berkonotasi negatif.

Perempuan Jahat

Ada satu subentri dalam KBBI yang artinya perlu dibuang, yakni perempuan jahat. KBBI mendefinisikan subentri tersebut sebagai (1) perempuan yang buruk kelakuannya (suka menipu dan sebagainya), (2) perempuan nakal. Definsi pertama itu perlu dihapus dari KBBI daring karena tidak spesifik terjadi pada perempuan. Padahal, ada juga laki-laki yang berkelakuan buruk, termasuk suka menipu, tetapi KBBI tidak mencatat subentri laki-laki jahat. Sementara itu, definisi kedua tersebut memang terdengar aneh karena jahat tidak sama dengan nakal. Tidak semua perbuatan nakal itu jahat. KBBI memasukkan definisi tersebut berkemungkinan besar karena memungutnya dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan Poerwadarminta—sebagaimana yang telah kita ketahui, KBBI dikembangkan dari KUBI Poerwadarminta. Dalam KUBI terbitan pertama, 1952, terdapat subentri perempuan djalang yang di dalam kurung ditulis perempuan djahat, yang berarti ‘sundal’. Sundal dalam kamus itu berarti (1) buruk kelakuan (tentang perempuan); latjur; (2) perempuan latjur; kupu-kupu malam. Entah mengapa perempuan jalang dalam kamus itu disebut perempuan jahat. Mungkin saja pada zaman itu perempuan jalang juga disebut perempuan jahat. Sepengetahuan saya, sekarang perempuan yang berkelakuan buruk, perempuan nakal, atau perempuan jalang tidak disebut perempuan jahat. Oleh sebab itu, KBBI sebaiknya memberikan tanda arkais (berhubungan dengan masa lalu; tidak lazim dipakai lagi) pada arti ‘perempuan nakal’ dalam definisi subentri perempuan jahat itu agar pembaca kamus tidak salah paham.

Mungkin ada pembaca yang meragukan bahwa benarkah pada zaman itu, zaman ketika KUBI disusun, perempuan jalang disebut juga perempuan jahat. Pertanyaan itu berujung pada keraguan terhadap cara kerja Poerwadarminta dalam memungut kata untuk ia masukkan ke dalam KUBI. Namun, Poerwadarminta, pembuat kamus yang oleh Prof. Dr. Piet Josephus Zoetmulder dijuluki sebagai leksikograf terbaik di Indonesia, sangat hati-hati dalam memasukkan kata ke dalam kamusnya. P. Swantoro dalam buku Dari Buku ke Buku (KPG, 2017) menceritakan pola kerja Poerwadarminta menyusun KUBI berdasarkan hasil wawancaranya dengan Poerwadarminta pada 1963 untuk keperluan majalan Intisari. Ia menceritakan bahwa Poerwadarminta menetapkan dalil, “Kalau sebuah kata telah dipergunakan oleh lima penulis pada lima tempat, maka kata itu adalah kata Indonesia.” Poerwadarminta menyusun semua kata yang terkumpul dalam sistem kartu menurut abjad. Ia menulis setiap kata pada sehelai kartu disertai keterangan-keterangan yang kira-kira diperlukan, seperti terdapat di mana saja, apa sajakah artinya, bagaimana penggunaannya. Ia menyimpan baik-baik, mendokumentasikan, semua bacaan yang sudah ia ambil kata-katanya sebagai bahan pertanggungjawaban. Masih dalam buku itu, P. Swantoro menginformasikan bahwa pengerjaan KUBI cetakan pertama sampai siap cetak membutuhkan waktu sembilan tahun, yang dihitung sejak pengumpulan kata-kata, termasuk penyusunannya selama kurang lebih tiga tahun. Berkaitan dengan subentri perempuan jalang yang dalam KUBI 1952 disebut juga sebagai perempuan jahat, Poerwadarminta tentu bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan hal itu jika beliau masih hidup.

Terlepas dari semuanya, protes dari para aktivis perempuan tentang subentri perempuan tersebut perlu diapresiasi. Kalau mereka tidak protes, tim penyusun KBBI tentu tak akan mengubah contoh pemakaian kata keperempuanan dalam kalimat. Karena protes mereka, tim penyusun KBBI mendapatkan masukan untuk meninjau kembali arti pertama subentri perempuan jahat. Lantaran protes itu pula, tim penyusun KBBI, berdasarkan informasi yang saya peroleh, akan menambah subentri perempuan yang berkonotasi positif dan menambah subentri laki-laki yang berkonotasi negatif. [*]


Holy Adib (Esais Bahasa)

Baca Juga

Intelektual, Politik dan Tanggung Jawab
Intelektual, Politik dan Tanggung Jawab
Meneropong Lembaga Survei Politik di Indonesia
Meneropong Lembaga Survei Politik di Indonesia
Menyiapkan Gubernur Sumbar 2024
Menyiapkan Gubernur Sumbar 2024
Ranah – Rantau yang Saling Merindu
Ranah – Rantau yang Saling Merindu
Tradisi Mudik dari Perspektif Ekonomi Politik
Tradisi Mudik dari Perspektif Ekonomi Politik
M. Natsir dan Perguruan Tinggi Islam
M. Natsir dan Perguruan Tinggi Islam