Pernyataan Puan Maharani dalam pengumuman dukungan PDIP terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur, Mulyadi-Ali Mukhni menyulut kontroversi. Pernyataan Puan yang mengharapkan agar Sumatra Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila pada akhirnya tidak sekedar menjadi diskursus politik biasa. Akan tetapi telah menjalar hingga dilaporkannya Puan ke kepolisian karena dinilai telah menghina masyarakat Sumatra Barat.
Tidak hanya itu, juga dikabarkan kalau pasangan Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan dukungan yang telah diberikan oleh PDIP tersebut dengan alasan yang sifatnya aspirasional. Dengan kata lain Mulyadi-Ali Mukhni akan maju tanpa PDIP dalam lampiran dukungan pencalonan, sementara Puan beserta PDIP tinggal bersama polemik yang telah dimulai sejak Puan berucap tentang masyarakat Pancasila.
Yang Belum Selesai
Pernyataan Puan memang tidak pantas untuk disetujui sama sekali. Terlepas dari apapun alasannya. Apalagi pernyataan Puan tersebut menunjukkan klaim atas autentisitas masyarakat Pancasila yang berada pada ruang tafsir pribadi. Setidaknya ada dua persoalan kunci dari pernyataan Puan. Pertama, menyangkut klaim yang diucapkan oleh Puan. Kedua, menyangkut eksistensi Pancasila.
Perihal klaim, sudah menjadi rahasia umum kalau kontestasi perebutan kekuasaan adalah ruang lahirnya klaim-klaim. Setidaknya itulah strategi paling primitif untuk menarik simpati dan dukungan. Akan tetapi, klaim tersebut tidak sepatutnya melahirkan makna autentikasi.
Dalam konteks ucapan Puan, seolah-olah menunjukkan kebenaran atas pengamalan Pancasila berada pada dirinya, entah sebagai pribadi, politisi, mewakili partai, ketua DPR atau pendukung pemerintah. Apalagi klaim autentisitas yang dimaksud Puan adalah klaim atas suatu entitas kelompok terhadap suatu konsep bernama Pancasila yang sifatnya masih abstrak.
Sekalipun Pancasila disebutkan sakti dan telah final, nyatanya perdebatan yang tidak berakhir tentang Pancasila hingga saat ini menunjukkan ketidaksaktian dan ketidakfinalannya. Sebab masih tersentuh oleh kritik hingga gugatan di mana sebenarnya keberadaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara yang sakti dan yang final dari Pancasila pada hari ini ialah Pancasila yang tidak dapat diubah dan diganti. Sebab konstitusi menyatakan kalau pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah. Tempat di mana Pancasila disebutkan secara eksplisit pada dokumen hukum tertinggi negara dan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Keterbukaan ruang tafsir atas pengalaman sebuah konsensus yang sifatnya abstrak tersebutlah yang membuat ketiadaan tafsir tunggal. Apalagi tafsir tersebut hanya sebatas simplifikasi perihal mendukung atau tidak mendukung pemerintahan. Pernyataan-pernyataan yang sejatinya tidak perlu direspons lebih jauh. Karena tidak punya dasar yang kuat untuk dianggap sebagai argumen yang valid secara logika dan substansi.
Namun, masalah utama demokrasi elektoral di Indonesia terletak di sana. Bahwa politik perebutan kekuasaan adalah ruang lahirnya klaim-klaim. Kebiasaan melahirkan klaim yang menjurus pada pendefinisian secara serampangan sudah menjadi kebiasaan, baik terhadap subjek (pribadi atau kelompok) maupun terhadap objek (program, kebijakan dsb.) tertentu. Hingga klaim tersebut masuk lebih jauh terhadap aspek autentisitas terhadap sesuatu – termasuk identitas.
Kebisingan ruang publik dalam momentum politik hanya berkutat pada narasi berupa klaim. Merasa lebih religius, lebih mampu, lebih berpengalaman, lebih layak karena putra daerah, lebih beradat, lebih punya jaringan dan lain sebagainya. Sehingga sudah menjadi pemandangan biasa kalau setiap musim pemilu kalimat picisan lebih banyak dijual daripada gagasan.
Sekalipun gagasan itu ada, ia hanya terlampir dalam dokumen visi dan misi dan baru muncul dalam arena debat. Sekalipun kita bisa pahami kalau dokumen visi dan misi tersebut tidak sepenuhnya orisinil milik dan dibuat oleh kandidat. Sementara arena debat juga memiliki keterbatasan dalam penyampaian. Belum lagi kita bicara tentang tingkat kedalaman dan keholistikan gagasan.
Korban Permanen
Klaim autentisitas – apalagi atas nama dan berembel-embel identitas – berpotensi menyulut konflik kekerasan (Amartya Sen, 2006). Jangan heran kalau kontestasi perebutan kekuasaan yang dihiasi klaim-klaim justru membangkitkan ketegangan hingga menyulut kerusuhan. Sebab di balik klaim, baik secara terang-terangan maupun diam-diam selalu memuat sebuah tudingan yang mendiskreditkan.
Dalam suasana atau iklim demokrasi yang serba tanggung, klaim-klaim menyangkut autentisitas jelas berbahaya. Apalagi sampai pada autentisitas identitas. Masyarakat adalah korban permanen kondisi tersebut. Pada situasi serupa pilkada misalnya, masyarakat hanya akan dihadapkan dengan pilihan yang serba sulit dan abstrak. Karena secara politik berjarak dan secara gagasan tidak menemukan apa yang benar-benar meyakinkan.
Apabila pertarungan klaim sudah menyulut ketegangan, masyarakat tetap akan menjadi penerima dampak serta target utama ketegagan hingga kerusuhan. Kondisi ini semakin diperparah dengan budaya menyelesaikan perdebatan di ruang publik melalui jalur hukum. Ironinya, yang selalu menjadi pesakitan dalam kebisingan ruang publik dalam pertarungan klaim pada momentum pemilu atau pilkada adalah masyarakat.
Meskipun begitu, klaim tidak sepenuhnya haram. Sepanjang ia tidak sampai masuk pada taraf merasa paling autentik serta tidak mengandung misinformasi atau disinformasi. Bagaimanapun, konsumen utama dari setiap narasi politik dalam momentum pemilu atau pilkada tetaplah masyarakat. Sementara Puan hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang akan kita hadapi dalam bulan-bulan ke depan. (*)