“Utang ini yang dibayarkan melalui keuntungan yang didapatkan hotel, sehingga kondisinya merugi. Namun seluruh utang ini akan selesai pada 2024 dan ketika perjanjian berakhir tidak ada lagi utang,” kata Firdaus.
Ia menyampaikan, PT Grahamas juga menjalin kerja sama BOT dengan Pemprov Sumbar dalam waktu 20 tahun untuk Balai Sidang Bung Hatta sejak 2012. Awalnya, kata dia, biayanya Rp400 juta per tahun dan pada 2018 biaya naik sesuai dengan hasil penghitungan menjadi Rp650 juta dan pada 2021 menjadi Rp790 juta.“Kita terus berpedoman pada kerja sama yang telah disepakati bersama dan akan berjalan di atas itu termasuk untuk Novotel ini,” ujarnya.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sumbar Hidayat mempertanyakan, apakah PT Grahamas saat melakukan peminjaman ke bank, mengajukan pemberitahuan atau izin kepada Pemprov Sumbar.
“Apa ini ada izin dalam bentuk dokumen yang melibatkan persetujuan Pemprov untuk mengajukan izin?” tanya Hidayat.
Ia mengatakan status perjanjian yang berbentuk BOT dan tertulis bahwa Pemprov Sumbar mendapatkan keuntungan 20 persen dan 80 persen untuk PT Grahamas.
“Dengan utang ini tentu kompensasi yang diterima Pemprov akan lebih kecil, harusnya ada izin dari Pemprov agar PT Grahamas meminjam uang,” ujar Hidayat.
Ia pun menyayangkan dampak peminjaman ini membuat hak yang harus diterima Sumbar menjadi pendapatan asli daerah semakin berkurang, sementara pajak yang dibayarkan Novotel ke Bukittinggi mencapai Rp3 miliar setahun.
“Jangan-jangan potensi pendapatan yang didapatkan Sumbar lebih besar dari yang didapatkan saat ini,” kata Hidayat.
Ketua Fraksi Golkar Zulkenedi Said menambahkan, pemanggilan pihak PT Grahamas Citrawisata sangat rasional dan bukan karena rasa ketidaksukaan. Namun ini merupakan tugas DPRD Sumbar dalam melakukan pengawasan terhadap potensi pendapatan daerah.
“Kita diberi amanah undang-undang mendorong pemerintah daerah menggali potensi sehingga menghasilkan pendapatan yang optimal,” ujar Zulkenedi.
Ketua Komisi III DPRD Sumbar Ali Tanjung berterima kasih dengan kedatangan Direktur Utama PT Grahamas Citrawisata Dedi Panigoro yang telah memenuhi undangan Komisi III DPRD Sumbar.
Dalam pertemuan ini jelas semua bahwa kerugian yang dialami Hotel Novotel karena beban pinjaman mereka sebesar Rp22 miliar pada 2014 dan hingga saat ini semua itu dibayarkan menggunakan keuntungan operasional. Begitu juga untuk kantor pusat mereka di Jakarta juga dibayarkan melalui itu.
“Kita merekomendasikan kepada BPK Sumbar untuk melakukan audit keuangan Hotel Novotel ini dan meminta Pemprov menjalankan rekomendasi BPK nantinya. Kita ingin investasi di Sumbar ini menguntungkan pengusaha dan juga menguntungkan daerah,” ujar Ali Tanjung.
Sementara Asisten II Setdaprov Sumbar Wardarusmen mengatakan aset daerah yang ada harus memberikan manfaat kepada masyarakat Sumbar terutama dari sisi pendapatan daerah.
“Kita berharap aset yang ada mampu memberikan hasil yang optimal untuk meningkatkan pendapatan daerah,” ujar Wardarusmen.
Perjalanan Kerja Sama
Sebelumnya kontrak kerja sama Pemprov Sumbar dengan PT Grahamas Citrawisata Tbk berdasarkan akta perjanjian Nomor 12.090/L/1990 pada tanggal 27 Agustus 1990.
Dalam perjanjian, disepakati perjanjian kerja sama selama 30 tahun sejak dioperasikan, dengan dua tahun pertama masa pembangunan dan dua tahun lanjutan masa promosi. Kemudian, tahun berikutnya hingga 30 tahun masa operasional.
PT Grahamas Citrawisata Tbk membayarkan imbalan kerja sama berupa fixed lease Rp40 juta per tahun dengan eskalasi 10 persen setiap lima tahun dan pembayaran di setiap akhir tahun operasi.
Apabila PT Grahamas Citrawisata Tbk mengalami kerugian, maka Pemprov Sumbar tetap menerima imbalan Rp40 juta per tahun dan jika kerja sama berakhir maka tanah dan bangunan akan diserahkan kepada Pemprov Sumbar dalam keadaan baik.
Lalu dilakukan adendum perjanjian akta Nomor 120-9/USB-2010 dan Nomor 025/GC/IX/2010 pada 30 September 2010 antara Pemprov Sumbar dengan PT Grahamas Citrawisata Tbk dan disepakati keuntungan bersih setelah diaudit akuntan publik dibagi 20 persen untuk Pemprov Sumbar dan 80 persen untuk perusahaan atau Rp200 juta harus diterima Pemprov Sumbar apabila minimal 20 persen lebih kecil dari Rp200 juta.
Baca juga: Terkait Polemik Novotel, Wali Kota Bukittinggi Angkat Suara
Penyetoran tersebut dilakukan sejak akhir tahun 2010 hingga saat ini dan baru tahun lalu meningkat menjadi Rp300 juta. Angka Rp300 juta per tahun ini lah kemudian yang dipertanyakan anggota dewan, karena dianggap terlalu kecil. [*/pkt]
*) BACA informasi pilihan lainnya dari Padangkita di Google News