Paksa-paksa Pilkada

Opini Padangkita.com: Kolom dan Opini M Nurul Fajri

Karikatur M Nurul Fajri. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Dalam rapat kerja bersama antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum pada 27 Mei 2020 dengan agenda pembahasan tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020, akhirnya secara bersama memutuskan pilkada serentak 2020 tetap diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Keputusan ini artinya menguatkan kembali waktu penyelenggaraan pilkada serentak 2020 yang telah dinyatakan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada (Perpu Pilkada).

Keputusan mempertahankan penyelenggaraan pilkada pada Desember 2020 yang mengeliminasi opsi Maret atau September 2021 dinilai oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai opsi yang paling realistis. Sebab kondisi akibat pandemi Covid-19 dianggap akan tetap bertahan hingga 2021 sekalipun vaksin ditemukan dalam waktu dekat. Kondisi serta situasi akibat Covid-19 dianggap relatif sama, baik Desember 2020 maupun Maret atau September 2021. Sehingga yang perlu dipersiapkan adalah protokol khusus untuk penyelenggaraan pilkada pada masa pandemi. Dengan kata lain, terhitung Juni 2020 segala tahapan pilkada yang tertunda seharusnya telah dilanjutkan oleh penyelenggara pemilu.

Reformulasi Tahapan

Jika hendak dirunut kembali, sebelum Perpu Pilkada diterbitkan oleh Presiden, sejatinya ada empat tawaran waktu penundaan pilkada. Adapun keempat tawaran tersebut ialah Desember 2020, Maret 2021, Juni 2021 dan September 2021. Dalam berbagai perbincangan pun, pilihan Desember 2020 justru kemungkinan yang paling diragukan. Mengingat sulitnya memperkirakan kemungkinan berakhirnya Covid-19 dan waktu pemulihan pasca-Covid-19.

Pilihan untuk menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020 jelas terasa amat ambisius dibanding realistis, apalagi optimis. Mengingat dari sisi penanganan Covid-19 sendiri telah diakui oleh pemerintah juga masih belum maksimal. Biar bagaimana pun, jumlah daerah yang terdampak Covid-19 jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah daerah yang menyelenggarakan pilkada.

Hingga 15 Mei 2020, melalu Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Ahmad Yurianto menyebutkan kalau hampir 75 persen kabupaten/kota di Indonesia yang terdampak Covid-19. Terdiri dari 383 dari total 514 kabupaten/kota yang tersebar di seluruh provinsi. Sementara untuk penyelenggaraan pilkada sendiri akan diselenggarakan di 270 daerah dengan rincian, 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Pilihan menyelenggarakan pilkada pada 9 Desember 2020 yang hanya mundur 2 bulan 16 hari dari jadwal semula pada 23 September 2020 dinilai amat berisiko terhadap kualitas penyelenggaraan pilkada. Baik proses, hasil serta dari sisi keselamatan dalam menghadapi ancaman Covid-19. Begitu juga terhadap aspek keselamatan akan penyebaran Covid-19

Kenyataan adanya sejumlah pembatasan atau protokol khusus akibat Covid-19 justru sangat amat diragukan dapat secara maksimal mewujudkan pilkada yang berkualitas. Sebab menurut penalaran yang wajar, sisa waktu yang ada tidak memadai untuk memperoleh formulasi yang tepat sebagai upaya menjaga kualitas penyelenggaraan pilkada pada masa pandemi. Terkhusus bagi penyelenggara dalam merumuskan, menetapkan dan melaksanakan agenda teknis beserta regulasinya. Di mana mafhum dilalui dengan tahapan kajian, simulasi, pembentukan keputusan atau regulasi hingga sosialisasi.

Keempat proses tersebut jelas memakan waktu. Sementara pada saat yang sama, mengacu pada skenario pilkada diselenggarakan pada 9 Desember 2020, mulai Juni 2020 tahapan pilkada serentak 2020 sudah harus kembali dilanjutkan. Yang artinya segala proses harus dijalankan sembari menemukan formulasi.

Model penyelenggaraan ini justru mengarah pada konsep trial and error dibanding realistis dari sisi waktu dan situasi. Selain amat berbahaya dan mengancam kualitas penyelenggaraan pilkada itu sendiri dari sisi proses maupun hasil. Memundurkan waktu penyelenggaraan jelas lebih masuk akal. Sekalipun kondisi serta situasi akibat Covid-19 tetap sama.

Setidaknya penyelenggara pemilu masih memiliki cukup waktu untuk menemukan formulasi yang tepat dalam menyelenggarakan pilkada dengan protokol khusus. Karena penting untuk dipahami bahwa pilkada bukan sekedar pemungutan suara. Akan tetapi satu kesatuan utuh mulai dari perencanaan tahapan hingga pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Dengan sisa waktu yang ada, penyelenggara pemilu khususnya KPU harus segera menuntaskan penyesuaian seluruh regulasi serta format dan tata cara teknis penyelenggaraan tahapan yang tersisa. Termasuk juga menghilangkan ego antar sesama penyelenggara serta dengan DPR dan Pemerintah. Khususnya terkait dengan anggaran dan pembentukan peraturan KPU dan peraturan Bawaslu terkait pilkada.

Kesempatan Penataan

Jika pemerintah mau bertindak sedikit lebih futuristik, komprehensif serta holistik, sesungguhnya momentum penundaan pilkada ini merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan penataan pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVII/2019. Apalagi jika berkaca pada proses pembentukan Undang-Undang tentang Pemilu dan Undang-Undang tentang Pilkada yang memakan waktu panjang dan menguras energi akibat tarik menarik kepentingan.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan dua aspek konstitusional yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Pertama, tidak ada lagi dikotomi rezim pemilu dan rezim pilkada. Kedua, terdapat enam model penyelenggaraan pemilu serentak yang pilihannya dikembalikan kepada pembentuk undang-undang.

Dengan kata lain kesempatan ini sangat dimungkinkan untuk menindaklanjuti perubahan model keserentakan menjadi dua model, yakni serentak nasional dan serentak lokal/daerah atau serentak nasional, serentak provinsi dan serentak kabupaten/kota. Sejauh ini dua model inilah yang dianggap paling mendukung perbaikan penyelenggaraan pemilu serta penguatan sistem pemerintahan. Bagi KPU sendiri hal ini dianggap paling mudah dikelola karena ada perubahan signifikan terhadap tata kelola pemilu, karena KPU hanya akan menyelenggarakan pemilu dalam dua setengah tahun sekali.

Selain itu, hal yang paling krusial dengan penataan pemisahan antara pemilu nasional dengan pemilu lokal adalah penguatan terhadap sistem pemerintahan presidensil dan pelaksanaan otonomi daerah. Sebab pemisahan pemilu nasional dengan pemilu lokal akan selalu memberikan gambaran jelas tentang sikap serta arah pandangan politik masyarakat terhadap kekuasaan. Dengan kata lain hal tersebut langsung atau tidak langsung akan menjadi sarana korektif dua setengah tahunan bagi politisi dan partai politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. [*]


M Nurul Fajri
Alumni Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus+ Program Scholarship pada Radboud University

Baca Juga

Sumbangan, Buya?
Sumbangan, Buya?
AC Milan dan Hukum Tata Negara yang Sama Menyedihkannya
AC Milan dan Hukum Tata Negara yang Sama Menyedihkannya
Kolom Wiko Saputra: Korupsi Birokrasi Sumbar, Korupsi Sumbar, Budaya Korupsi
Kasus Nurdin Abdullah, Hati-hati Buat Mahyeldi
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Dokumenter Film Festival: Sebuah Kecerobohan Berbahasa
Daerah Istimewa Minangkabau
Daerah Istimewa Minangkabau
Kolom: Nurul Firmansyah
Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat