Padang, Padangkita.com - Berita penggerebekan praktik prostitusi daring oleh polisi bersama anggota DPR RI Andre Rosiade viral. Ternyata, prostitusi di Kota Padang ternyata bukanlah hal baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka di Kota Padang sudah ada praktik "esek-esek" ini.
Uniknya, untuk mendapatkan pelanggan, para pelaku menjajakan dirinya dengan berbagai cara. Mulai dari menggunakan bendi, taksi, hingga aplikasi.
Freek Colombijn dalam buku Paco-Paco (Kota) Padang menceritakan, pada masa penjajahan, pada tahun 1860-an pelacuran sudah mulai tumbuh di Padang. Saat itu Padang merupakan salah satu kota perdagangan yang maju dan menjadi persinggahan berbagai negara untuk melakukan kongsi dagang.
Pada zaman itu yang menggunakan jasa para wanita penghibur adalah para prajurit dan pelaut. Lokasinya berada di sekitar pelabuhan dan tempat-tempat strategis kala itu.
Berdasarkan catatan penelitian Freek Colombijn, pelacuran adalah sesuatu hal yang buruk dan merugikan bagi para prajurit dan pelaut kala itu. Sehingga kemudian pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan yang bertujuan untuk membatasi kerugian-kerugian yang disebabkan oleh pelacuran ini.
Peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1862. Tujuan mereka membatasi pelacuran ini adalah untuk mencegah perluasan penyakit kelamin. Peraturan itu diberlakukan di pelabuhan dan di asrama tentara Hindia Belanda.
Selain itu, menurut catatannya, untuk mengatasi penyakit kelamin tersebut, para pelacur harus didaftarkan dan melaporkan serta memeriksakan kesehatan mereka seminggu sekali.
“Para pelacur harus didaftarkan dan harus memeriksakan kesehatannya sekali seminggu, dan menerima surat izin jika terbukti sehat,” tulis Freek Colombijn.
[jnews_carousel_1 number_post="3" include_category="30"]
Selain itu, para pelacur tersebut kemudian dikosentrasikan di rumah-rumah pelacuran yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jika tidak memiliki izin maka rumah-rumah pelacuran tersebut akan dirazia petugas dan dibekukan.
Alfred Mass dalam bukunya Quer Durch Sumatra mengatakan rumah pelacuran yang paling bersih adalah rumah pelacuran milik Jepang. Namun dia menyebutkan jika harganya sangat mahal dibandingkan dengan rumah pelacuran yang lain.
“Wanitanya sederhana, obrolan mereka bersemangat dan sangat menarik hati,” tulis Alfred dalam bukunya.
Namun, pada zaman ini juga masih terdapat pelacur-pelacur yang bekerja di luar rumah pelacuran. Mereka bekerja sendiri dan jarang kena tangkap.
Namun pada tahun 1913 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang yang melarang pelacuran beroperasi dimana pun juga. Aturan ini dikeluarkan langsung oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Peraturan ini memerintahkan penutupan rumah pelacuran dan melarang pelacuran di jalanan. Dampak dari penutupan ini adalah maraknya rumah-rumah pelacuran liar dan ilegal di Padang.
Sejumlah pemilik rumah pelacuran yang dulunya legal mulai main kucing-kucingan dengan pemerintah Hindia Belanda. Kadang restoran, rumah penginapan atau tempat usaha lainnya dijadikan tameng untuk menutupi usaha pelacuran tersebut.
Dalam buku yang ditulis Freek Colombijn para pelacur di jalanan menggunakan bendi untuk mencari pelanggan pria mereka berkeliling.
Akibat hal ini, pada waktu-waktu tertentu hal ini menyebabkan masalah baru yakni susahnya orang-orang biasa untuk mencari dan menggunakan jasa bendi sebagai moda transportasi saat itu.
Pada saat itu, polisi Hindia Belanda tidak bisa berbuat banyak. Hal tersebut disebabkan kecilnya prioritas pelacuran yang tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan masyarakat tidak mengeluh terhadap aktivitas pelacuran tersebut.
Pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda membentuk Polisi Susila untuk mengatasi pelacuran yang semakin meresahkan keberadaannya tersebut.
Dan pembentukan Polisi Susila ini dianggap berhasil menekan angka pelacuran di Padang saat itu
Pakai Taksi dan Minibus
Beranjak ke tahun 2000-an. Di Kota Padang, para PSK menggaet pelanggan dengan cara naik taksi berkeliling-keliling di suatu kawasan di pusat kota. Biasanya taksi tersebut berisi beberapa orang PSK, mereka akan berkendara pelan-pelan dan menawarkan penumpangnya kepada para pria hidung belang yang mendekat.
Setelah tawar menawar dan harganya cocok, biasanya PSK ini akan melayani kliennya di hotel-hotel melati. Ada hotel yang sudah disediakan muncikari, ada juga hotel yang disediakan pemesan.
Sekitar tahun 2015 para PSK beralih memakai mobil minibus. Polanya tetap sama, berkeliling di suatu kawasan yang sama dan menawarkan diri pada orang yang mendekat. Terkadang, jika sudah tengah malam mereka tak segan-segan menyetop orang yang lewat dan menawarkan diri.
Pakai Aplikasi
Seiring perkembangan zaman, para PSK memiliki pola baru untuk menjajakan diri, yaitu melalui aplikasi sosial media, mulai dari Twitter, Wechat, Michat, hingga Line.
Seorang PSK daring berinisial NN apes. Dia digerebek oleh polisi bersama anggota DPR RI Andre Rosiade di salah satu hotel berbintang di Padang. Menurut Andre penggerebekan dilakukan ingin membuktikan adanya prostitusi daring di Padang. Ke depan,Andre Rosiade berharap semua pihak bekerjasama bahu membahu memberantas prostitusi di Kota Padang ini.
"Demi Allah, saya sebagai yang lahir dan besar di Padang tidak ingin kota saya ini kena azab Allah karena maksiat merajalela. Dan masyarakat juga banyak melaporkan ke saya. Untuk itu, bekerjasama dengan polisi untuk memberantas prostitusi online. Saya tidak mau menjadi selemah-lemahnya iman," ujar Andre Rosiade dalam salah satu twit-nya.
Andre berharap seluruh elemen bersatu memberantas maksiat di Kota Padang. Baik pemerintah kota dan pemerintah provinsi, juga seluruh elemen masyarakat di Padang khususnya dan Sumatra Barat umumnya. "Mari kita saling bekerjasama memberantas penyakit masyarakat seperti prostitusi dan kegiatan yang meresahkan lainnya di Sumatra Barat," ujarnya. (pk-04)