Padangkita.com – Direktur Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Yefri Afriani mengatakan tindak kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Barat masih tinggi. Dari tahun ke tahun, jumlah laporan korban kekerasan kepada Nurani Perempuan cenderung mengalami peningkatan.
Dari catatan Nurani Perempuan, ada ratusan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan di Sumatera Barat pada periode 2013-2016. Semua kasus tersebut adalah kasus yang dilaporkan sedangkan yang tidak dilaporkan kemungkinan lebih banyak lagi.
Baca juga:
Pelaku Kekerasan Tertinggi terhadap Perempuan, Ini Orangnya
Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Indonesia
“Kita mestinya tidak melihat angkanya saja, melainkan melihat kenapa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi. Padahal negara sejak tahun 2000 sudah punya program zero tolerance for violence. Tidak ada toleransi untuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Yefri kepada Padangkita.com, Senin (27/11/2017).
Yefri kemudian memaparkan penyebab masih maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual sebagai kasus yang dominan. Kekerasan tersebut antara lain terjadi karena faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, tidak adanya pendidikan seksual, pengaruh negatif kemajuan IPTEK, konflik peran gender, dan sebagainya. Di samping itu, faktor lainnya yang selama ini kurang diperhatikan, yaitu adanya relasi kuasa dan impunitas terhadap pelaku.
Terkait relasi kuasa, dari banyak kajian, ternyata korban kekerasan seksual tidak memiliki kemampuan untuk melawan pelaku. Korban berada dalam penguasaan pelaku dan tidak punya kekuatan untuk melakukan perlawan terhadap ancaman, paksaan, dan bujuk-rayu pelaku. Kondisi ini, kata Yef, bukan karena kesalahan korban semata, melainkan karena ada sistem yang membuat korban terperangkap.
Selain relasi kuasa, penyebab lainnya adalah adanya upaya impunitas terhadap pelaku. Kebanyakan pelaku kekerasan seksual tidak diproses secara hukum. Hal itu, kata Yef, bisa jadi karena pelaku adalah orang yang berkuasa, tidak ada saksi, dan tidak ada bukti. Dua poin terakhir masih menjadi kelemahan hukum di Indonesia.
“Bagaimana akan ada bukti dan saksi bila tindakan kejahatan itu cuma terjadi di antara kedua orang itu saja. Korban juga cenderung akan menghilangkan bukti karena merasa depresi dan malu,” ujarnya.
Yef pun mengharapkan adanya undang-undang khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebab banyak kasus kekerasan yang belum tercakup dalam undang-undang yang ada. Undang-undang tersebut akan menjadi strategi yang kuat bagi negara untuk melakukan pencegahan. Jika tidak ada undang-undang khusus, upaya pemerintah tidak akan terstruktur karena tidak ada aturan yang kuat sebagai pendukungnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan bahwan tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komnas Perempuan, peningkatan angka kekerasan yang sangat tinggi terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2012 yang mencapai 35%.
Dalam catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2016, yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus atau perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama (PA), serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34 Provinsi.