Padangkita.com - Oktober nanti, penyair Rusli Marzuki Saria bakal melenggang ke Bangkok, Thailand. Dia menjadi salah seorang peraih Southeast Asian Writers Award atau S.EA. Writing Award 2017.
Bagi Papa, panggilan kesayangan Rusli, nobel sastranya Asia Tenggara ini tentu saja amat berkesan, buah dari kesabaran. Merengkuhnya pada usia 81 tahun.
“Untung saja panjang umur,” kata Papa kepada Padangkita.com, tempo hari.
Papa menerima ‘tiket’ ke Bangkok lewat karya berupa kumpulan puisi One by One, Line by Line.
Karya ini menumbangkan dua karya sastra lainnya berdasarkan pemilihan yang dilakukan Balai Bahasa Jakarta.
“Balai Bahasa Jakarta memilih 3 buku karya sastra. Dibuat 1,2,3. Nomor 1 dapat ke Thailand (SEA Writing Award), dan 2,3, Balai Bahasa Jakarta memberi hadiah,” ungkapnya.
Sebelumnya Papa pun pernah masuk nominasi SEA Writing Award persisnya tahun 1997.
One by One, Line by Line, kumpulan sajak sejak 1960 hingga 2014, penuh warna lokal. Pesan-pesan bercitarasa lokal tapi kaya dengan nilai universal.
“Karya ini warna lokal. Orang-orang kan balik ke warna lokal,” tukas Papa.
Di alam kesusasteraan Minangkabau (baca Sumatera Barat), Papa mendapat tempat di kalangan sastrawan. Dia dihormati oleh sastrawan tua dan muda. Sebaliknya Papa pun bergaul secara elok.
Sebagai nan tua, Papa tentu kaya dengan pengalaman, mungkin pasai dengan asam garam kehidupan. Petuah Papa pun dirasa perlu didengarkan.
Kepada sastrawan muda, Papa berpesan, agar menolak amatir, atau separuh-separuh menjadi sastrawan.
“Harus total. Sama tukang potret, kapan mau jadi Mak Kodak, kalau hanya motret married (orang baralek),” bilang Papa.
Menurutnya, saat ini seharusnya tidak ada sastrawan yang melarat karena bisa juga berkecimpung sebagai wartawan, penulis, dan dosen.
“Saya pernah jadi dosen kreatif di UBH selama 10 tahun,” ungkap bekas anggota Brimob ini.
Sastrawan muda asal Sumatera Barat Heru Joni Putra mengaku Papa selalu mengungkapkan soal profesional dan total di setiap pertemuan.
"Studi, studi, studi katanya selalu,” ujar penyair yang baru saja meluncurkan kumpulan puisi berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa ini.
Dia mengatakan, sepakat dengan nasehat Papa. Menurutnya, sastrawan atau penyair mesti terus belajar, agar menulis tak hanya bermodalkan perasaan saja atau bermodalkan kemampuan menyederhanakan atau merumitkan karya atau gagasan orang lain.
Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ini pun mengaku turut senang dengan penghargaan tersebut.
“Semua sastrawan terbaik kita (Navis, Wisran, Gus tf, dan kini Papa) ternyata mendapatkan penghargaan tersebut. Kini, yang masih hidup dari generasi AA Navis sampai Gus tf mungkin tak ada lagi yang benar-benar "pantas" dapat itu,” jelasnya.
Dikatakan Heru, mereka berempat capaiannya (baik karya atau tindakan intelektual) hal yang sangat jelas. Lebih dari itu, sebutnya, tugas generasi setelah Gus tf lebih berat.
“Tanpa perlu lagi berpikir soal penghargaan, generasi hari ini semestinya berhenti untuk sebatas jadi seniman saja. Sekarang bukan zamannya berkarya saja. Seniman mesti berkolaborasi dengan pihak lain untuk memikirkan perubahan bersama,” tandas Heru.