Literasi Bencana Untuk Generasi Terkini
Kehandalan smong sebagai peringatan dini tsunami sudah teruji. Sayang, setelah tsunami 2004, masih belum ada penekanan dari otoritas di Simeulue seperti Dinas Pendidikan, seperti menjadikan kurikulum di sekolah-sekolah. Sehingga smong bukan lagi cerita dalam kelas keluarga, melainkan pengetahuan umum sedari kecil.
Sisi lain, sebagian orang tua di Simeulue berpikir, bahwa smong adalah siklus 100 tahunan. Hal ini berangkat dari nalar yang dangkal, mengacu pada peristiwa 1907 dan 2004, yang terentang sekitar 100 tahun.
Kedangkalan pengetahuan pemicu tsunami juga bisa menjadi petaka. Sebab, yang mereka pahami tentang tanda-tanda tsunami adalah gempa besar, kemudian air laut surut. Padahal, tsunami kadang terjadi tanpa melalui air surut, seperti kasus tsunami 2010 di Mentawai.
Seturut wawancara penulis dengan banyak warga di Teupah Selatan, banyak anak-anak yang masih belum lahir ketika kejadian 2004 atau masih kecil dan belum punya daya ingat ketika itu, tidak tahu apa yang terjadi pada tahun 2004 tersebut.
Sebagian mereka juga tidak pernah diceritakan mengenai kejadian 2004, apalagi tahun 1907. "Tidak tahu peristiwa 2004 karena tak ada yang cerita, di sekolah juga tidak," ujar Tasya Nurul Azzarah (16).
Siswi SMA 1 Teupah Selatan, saat gempa dan tsunami menerjang Simeulue, masih berusia 3 tahun. Ternyata, sebagian orang tua di Desa Labuhan Bajau, Kecamatan Teupah Selatan, menaruh kekhawatiran, jika diceritakan kejadian gempa dan tsunami yang disebut mengerikan tersebut, bisa menularkan trauma bagi anak-anak, dan menganggu proses pendidikan yang tengah mereka jalani.
Seorang warga di Labuhan Bajau, Rihana (45), mengatakan, jika kejadian tsunami diceritakan, anak-anak Labuhan Bajau yang notabene mukim di dekat laut, mungkin takut tinggal di kampung sekarang yang tiap hari terdengar nyaring gemuruh ombak.
Selain itu, ada kekhawatiran, bisa memicu keengganan melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi yang disasar seperti di Banda Aceh.
"Seperti dua orang anak saya, Tomi J. Pisa (23) dan Fitri Hidayanti (20), keduanya di kampus yang dekat dengan laut di Banda Aceh. Jika saya ceritakan tentang kejadian tsunami, mungkin mereka trauma dan tidak mau kuliah," terang Rihana (45).
Tergerusnya budaya tutur smong, tentu perlu inisiatif untuk merawatnya kembali. Bagaimana memodifikasinya menjadi sistem peringatan dini yang ramah bagi anak-anak tetapi memiliki perspektif literasi bencana.
Hal ini tentu penting, agar smong tetap melekat dalam ingatan anak-anak Simeulue.
Di tengah minimnya pengelolaan smong, upaya Moris mereproduksi menjadi naskah sastra dan alat kesenian tentu menjadi ruang terbuka bagi smong tampil ke luar.
Setidaknya beberapa kali pementasan seni smong melalui nyanyian, pembacaan puisi, dan nandong, Moris mengaku, mereka yang terlibat sangat antusias. Ini literasi bencana yang melampaui batas Simeulue.
Kini, di hari-hari senggangnya, dia juga produktif menulis sajak berbasis smong, membuat galeri tentang budaya dan kesenian Simeulue.
Semua berangkat dari kesadaran; dengan smong, Simeulue dengan populasinya yang mendekati 100.000 jiwa saat ini, punya cara tersendiri berdampingan dengan zona subduksi atau pun lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia yang terus berproses dan mengirim gempa secara mendadak.
Ancaman gempa dan tsunami bukan suatu yang perlu ditakuti, tapi bagaimana disikapi dengan bijak dan arif.
“Kami sebetulnya tidak mau disebut pulau terluar yang rawan. Karena ini hanya membuat investor tidak mau ke sini. Kami sudah lama berdampingan dengan bencana, jadi Insyaallah sudah biasa,” jelas Darmili.
Mungkin Darmili ada benarnya. Siaga bencana yang ideal itu sesungguhnya berbasis budaya. Bukan hanya menjaga sisi fisik seperti rumah adat, melainkan juga kisah yang dirawat. Dan Simeulue sudah punya itu. Smong namanya.
Negeri mana pun yang terancam tsunami, ada baiknya belajar pada Simeulue.