Menjaga Mahkota Adat Minangkabau: Seminar "Suntiang Cucuk" Tekankan Pelestarian Filosofi di Tengah Modernisasi

Menjaga Mahkota Adat Minangkabau: Seminar "Suntiang Cucuk" Tekankan Pelestarian Filosofi di Tengah Modernisasi

Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang Yudi Indra Syani saat membuka Seminar sehari/ workshop Suntiang cucuak di Youth Center Padang.

Padang, Padangkita.com - Pemerintah Kota (Pemko) Padang, melalui Dinas Pariwisata, menggelar seminar dan lokakarya satu hari bertajuk "Suntiang Cucuk" di Youth Center Padang, Kamis (7/8/2025).

Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang, Yudi Indra Syani, dan diikuti oleh para bundo kanduang se-Kota Padang. Tujuannya untuk melestarikan dan mengembalikan makna adiluhung suntiang sebagai warisan budaya Minangkabau.

Dalam sambutannya, Yudi Indra Syani menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap filosofi setiap elemen busana adat Minangkabau, terutama suntiang.

"Seni merias pengantin perempuan Minangkabau dari Padang bukan hanya sekadar memperindah penampilan, tetapi juga mengandung nilai simbolis, spiritual, dan budaya yang sangat tinggi. Suntiang adalah mahkota kehormatan bagi anak daro atau mempelai perempuan yang sarat akan pesan moral dan tanggung jawab sosial," ujarnya.

Simbol dan Makna di Balik Keindahan Suntiang

Suntiang, perhiasan kepala berwarna keemasan, adalah bagian tak terpisahkan dari busana pengantin perempuan Minangkabau. Lebih dari sekadar hiasan, suntiang melambangkan kehormatan sang mempelai perempuan saat melangsungkan pernikahan. Keindahan desainnya yang terinspirasi dari kekayaan alam mencerminkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam budaya Minangkabau.

Narasumber dalam seminar tersebut, termasuk bundo kanduang Padang Selatan, Nurhayati, memaparkan secara rinci berbagai jenis dan makna filosofis dari setiap komponen suntiang. Secara umum, suntiang dapat dibedakan berdasarkan ukurannya:

  • Suntiang gadang, berukuran besar dan megah, khusus dikenakan oleh anak daro saat resepsi pernikahan.
  • Suntiang ketek, berukuran lebih kecil dan sederhana, biasanya dipakai oleh para sumandan atau pendamping pengantin.

Selain itu, terdapat beragam bentuk suntiang yang dikenal di berbagai daerah di Minangkabau, seperti suntiang pisang saparak, suntiang kambang loyang, dan suntiang mangkuto.

Filosofi di Balik Setiap Lapisan Suntiang

Proses pemasangan suntiang yang dikenal dengan istilah "manyuntiang" merupakan sebuah seni yang membutuhkan ketelitian dan pemahaman akan makna. Pemasangannya dilakukan secara berlapis, dimulai dari sanggul khusus yang disebut Sanggul Lipat Pandan. Sanggul ini terbuat dari gulungan daun pandan wangi yang telah dilayukan di atas daun pisang.

Selanjutnya, lapisan-lapisan suntiang dipasang satu per satu, masing-masing dengan simbolnya:

  • Bunga melati sebagai lapisan pertama melambangkan kesucian hati dan cinta dalam memasuki gerbang rumah tangga.
  • Suntiang sarunai, yang diletakkan di atas melati, melambangkan ketabahan seorang istri dan harapannya pada suami yang bertanggung jawab.
  • Suntiang kambang sarunai yang disusun hingga tujuh tingkat menyimbolkan perkembangan budi pekerti dan sopan santun seorang perempuan menuju kedewasaan.
  • Sepasang burung yang disematkan di antara Suntiang Sarunai sebagai lambang kesetiaan sepasang insan yang tengah mengikat janji.
  • Suntiang gadang dipasang di atasnya sebanyak kurang lebih 20 buah, yang dulunya terbuat dari bunga kecubung. Ini adalah simbol kecerdasan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab anak daro.
  • Kote-kote, hiasan gantung di sisi kiri dan kanan, termasuk yang terbuat dari untaian melati, melambangkan kewajiban salat lima waktu.

Seluruh rangkaian ini ditutup dengan Suntiang Serai Sarumpun dan Cina Blong yang berkilauan, menciptakan sebuah mahkota permata yang agung dan penuh makna.

Menjaga Tradisi di Tengah Arus Modernisasi

Seminar ini juga menyoroti adanya pergeseran dari suntiang tusuk atau suntiang cucuk yang otentik ke arah suntiang modern dan suntiang hijab. Suntiang tusuk yang asli melibatkan proses pembuatan sanggul dari bahan-bahan alami seperti irisan daun pandan, yang mengandung kearifan lokal mendalam.

Seiring modernisasi, muncul pertanyaan reflektif mengenai mulai ditinggalkannya tradisi ini. "Apakah kita masih menghargai makna dan simbol dari tiap bagian busana adat ini? Sejauh mana kesadaran kita dalam melestarikan budaya leluhur ini di tengah globalisasi?" demikian poin diskusi yang diangkat dalam materi seminar.

Baca Juga: Gubernur Mahyeldi Jelaskan Upaya Pemprov Melestarikan Budaya Minangkabau

Kegiatan yang diinisiasi Dinas Pariwisata ini menjadi langkah konkret Pemko Padang untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan melibatkan para bundo kanduang sebagai garda terdepan pelestarian adat, diharapkan nilai-nilai luhur dan kearifan yang terkandung dalam tradisi basuntiang dapat terus diwariskan dan dipahami oleh generasi penerus. [hdp]

Baca Juga

Wali Kota Fadly Amran Genjot Revitalisasi Batu Malin Kundang, Siap Sambut Tamu HJK Padang ke-356
Wali Kota Fadly Amran Genjot Revitalisasi Batu Malin Kundang, Siap Sambut Tamu HJK Padang ke-356
Malam Minggu Makin Hidup, Pemko Padang Gelar Pergelaran Seni Rutin di Pantai Padang
Malam Minggu Makin Hidup, Pemko Padang Gelar Pergelaran Seni Rutin di Pantai Padang
Revitalisasi Total Pujasera Pantai Padang, Pemko Targetkan Jadi Ikon Kuliner Halal dan Ramah Wisatawan
Revitalisasi Total Pujasera Pantai Padang, Pemko Targetkan Jadi Ikon Kuliner Halal dan Ramah Wisatawan
Revitalisasi Kota Tua Padang: Fadly Amran Targetkan Pembenahan Menyeluruh, Bentuk Badan Pengelola
Revitalisasi Kota Tua Padang: Fadly Amran Targetkan Pembenahan Menyeluruh, Bentuk Badan Pengelola
Membangun Pariwisata Berkelanjutan: Padang Revitalisasi Tradisi Elo Pukek dan Perkuat Zona Halal
Membangun Pariwisata Berkelanjutan: Padang Revitalisasi Tradisi Elo Pukek dan Perkuat Zona Halal
Vasko Tunjukkan Rumah Dinas Pakai Gonjong Khas Minangkabau, Timothy Ronald Terkesan
Vasko Tunjukkan Rumah Dinas Pakai Gonjong Khas Minangkabau, Timothy Ronald Terkesan