Sarilamak, Padangkita.com - Kabupaten Limapuluh Kota di Sumatra Barat (Sumbar), terkenal kaya dengan seni tradisional. Sayangnya, tidak semua seni tradisional itu kuat menghadapi pusaran zaman. Malahan, saat ini, ada tiga kesenian unik yang terancam punah di Limapuluh Kota. Apa saja?
***
Namanya Asrul. Gelarnya Datuak Kodo. Sehari-hari tinggal di Nagari Sungai Talang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Dari tangan Datuak Kodo, sekotak korek api kayu, bisa menjadi alat musik.
Ini bukan sulap, bukan sihir, tapi fakta! Bila tidak percaya, temuilah Datuak Kodo di Nagari Sungai Talang. Atau bila terlalu jauh datang ke Sungai Talang, buka saja YouTube. Kemudian cari kata kuncinya: “Tukang Sijobang Terakhir di Ranah Minang”.
Dari video yang diunggah Youtubers Wady Afriadi itu terlihat, betapa piawainya Datuak Kodo, menjadikan sekotak korek api kayu sebagai alat musik pengiring kesenian "Sijobang" atau "Basijobang". Kesenian khas Kabupaten Limapuluh Kota ini sekarang terancam punah.
Padahal "Sijobang" adalah kesenian luar biasa. Saking luar biasanya, seorang ahli dari Universitas Cambrigde, Inggris, bernama Nigel Philips, pernah menulis buku tentang Sijobang. Buku berjudul "Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra” ini, diterbitkan Cambridge University Press tahun 1981.
Dari buku ini diketahui bahwa "Sijobang" atau "Basijobang" merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang berkembang di Minangkabau. Berbeda dengan sastra lisan lainnya, "Sijobang" menjadi unik karena pertunjukannya diiringi dengan alat musik yang sangat sederhana sekali. Yakni, sekotak korek api kayu.
Menurut Asrul Datuak Kodo saat tampil dalam sebuah pertunjukan kesenian di Ngalau Indah, Payakumbuh pada 2008 lalu, "Sijobang" merupakan seni tradisional yang kaya akan kandungan nilai atau pesan-pesan moral. Bahkan, menurut budayawan asal Limapuluh Kota Yulfian Azrial, majas sastra yang terdapat dalam "Sijobang", begitu luar biasa.
"Majas sastranya begitu luar biasa. Yang tentu hanya dimiliki lingkungan masyarakat yang pernah berperadaban sangat tinggi," komentar Yum AZ, panggilan akrab Yulfian Azrial di akun YouTube yang dikelola Wady Afriadi.
Sayangnya, pada saat ini, di Kabupaten Limapuluh Kota, hanya Asrul Datuak Kodo dan Islamidar yang bisa menampilkan pertunjukan. Sedangkan dari generasi muda, nyaris tidak ada lagi yang bisa "Basijobang". Pemerintah daerah setempat, juga seakan tak peduli.
Asrul Datuak Kodo sendiri, saat pertunjukan di Ngalau Indah Payakumbuh yang diprakarsai oleh Komunitas Seni Intro, mengaku, siap untuk mengajari anak-anak muda "Basijobang".
"Siapapun anak muda yang mau Basijobang, akan saya ajari. Karena sekarang, saya belum temukan anak muda pandai Basijobang," ucap Asrul Datuk Kodo pada 2008 itu.
Asrul juga berharap, "Sijobang" jangan sampai punah dari Kabupaten Limapuluh Kota. "Ibo awak (Sedih kita). Sebab, seni Minang ini, ada kandungan (ada nilai-nilainya)," kata Asrul Datuak Kodo yang menguasai Sijobang sejak usia mudanya.
Saluang Sirompak Tinggal Kenangan
"Sijobang" bukanlah satu-satunya kesenian yang terancam punah di Kabupaten Limapuluh Kota. Selain "Sijobang", di Kabupaten Limapuluh Kota juga ada satu kesenian unik bernama "Saluang Sirompak".
Dikutip dari "Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni" yang diterbitkan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang pada tahun 2012 silam, "Saluang Sirompak" adalah salah satu alat musik tiup tradisional “Minangkabau”. Alat musik tersebut dulu digunakan untuk menundukkan hati wanita.
"Saluang Sirompak" ini hanya terdapat di Jorong Parik Dalam, Nagari Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota. Jorong Parik Dalam adalah kampungnya Anwar, ayah dari penyair legendaris Chairil Anwar yang "ingin hidup seribu tahun lagi" itu.
Di Jorong Parik Dalam, Nagari Taeh Baruah, tidak semua warga bisa memainkan "Saluang Sirompak". Salah satu yang masih jago memainkan "Saluang Sirompak" di Taeh Baruah bernama Sayute. Lelaki yang pernah menjadi kusir bendi ini, pernah tampil dalam pertunjukan "Saluang Sirompak" yang digelar Komunitas Intro di Payakumbuh.
Kepada rekan wartawan yang pernah mewawancarainya di Payakumbuh, Sayute mengatakan, dulu kala, "Saluang Sirompak" memang bisa digunakan untuk memikat hati wanita. Namun, di era yang sudah modern ini, "Saluang Sirompak" lebih bertujuan sebagai seni tradisional yang menghibur penonton.
"Saluang Sirompak" ini memang berbeda dari "Saluang" lainnya. Menurut Ibnu Sina dalam jurnal yang diterbitkan ISI Padang Panjang, "Saluang Sirompak: memiliki melodi yang khas dan dilatar-belakangi unsur magis melalui estetika bunyi yang dipandang tabu dikembangkan. Karena memiliki kekhasan yang tidak terdapat pada alat musik tiup sejenis itu, pengarya dari ISI Padang Panjang mengangkat kembali ke dalam bentuk seni pertunjukan berjudul “Ba-Sirompak”.
Sampelong Terancam Menyusul Punah
Selain "Saluang Sirompak", juga ada satu lagi kesenian dari Kabupaten Limapuluh Kota yang terancam punah. Namanya "Sampelong". Sesuai namanya, "Sampelong" adalah alat musik tradisional yang cara mainnya adalah dengan ditiup atau aerofon.
Kesenian "Sampelong", sebenarnya mirip dengan kesenian tradisonal "Saluang: yang sering menghiasi malam-malam anak Minangkabau. Bentuk seninya juga sama-sama berupa pengucapan syair atau pantun tentang kemiskinan, hidup yang pahit, cinta yang gagal, dan nasib yang pedih!
Jikapun ada bedanya, hanyalah setipis kulit bawang saja. Yakni, pada instrumen yang digunakan untuk mengiringi pantun. Sisanya, nyaris tak jauh berbeda. Jika "Saluang" panjangnya sekitar 60 sampai 70 sentimeter. Sedangkan "Sampelong" cuma memilii panjang 40 hingga 50 sentimeter.
Empat lubang di batang "Saluang:, semuanya berfungsi. Sementara empat lubang di batang buluh "Sampelong", satu di antaranya tidak fungsional, karena hanya digunakan untuk improvisasi atau ornamesi. Jadi, "Saluang" dan "Sampelong" itu tak jauh berbeda.
Meski bedanya setipis kuling bawang, namun tidak semua "Tukang Saluang" bisa memainkan "Sampelong". Karena nada "Sampelong" itu juga mirip dengan nada "Slendro" dalam kesenian tradisional Jawa. Hanya saja, pada "Sampelong", ada dua nada turun seperempat, yaitu nada “la” dan “mi”.
Di Kabupaten Limapuluh Kota, ahli "Sampelong" yang paling terkenal adalah Islamidar alias Tuen. Sejak tahun 2009 silam, putra Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka ini, sudah ditetapkan pemerintah sebagai satu dari 27 maestro musik nasional.
Kepada wartawan yang pernah mewawancarainya di Nagari Simpang Sugiran, Kecamatan Guguak, pada 2009 silam, Islamidar mengatakan, "Sampelong" adalah seni tradisi turun temurun nenek moyang. Terutama nenek moyang masyarakat Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota.
Menurut Islamidar, agar "Sampelong" tidak hilang dari putaran zaman, memang perlu kembalu membudayakannya. Kemudian, juga harus dilakukan pementasan-pementasan di segala tempat.
Baca juga: Cerita Uniknya Kopi Karak yang Difermentasi Dalam Periuk Tanah Liat di Pinggiran Payakumbuh
Dan, yang paling penting itu adalah mewarisi kepada generasi muda. Islamidar sendiri, berkomitmen mengajarkan dan agama kepada generasi muda. Sebab menurutnya, dengan seni itu hidup akan indah dan dengan agama jadi lebih terarah. [pkt]