Uang sirih ini dibayarkan berulang kali sebanyak tapal batas yang dilalui. Besaran uang sirih tergantung kepada kegigihan saudagar tersebut dalam menawar harga. Jika mereka tidak mampu menawar kepada anak nagari atau pemuda setempat mereka akan dikenai biaya yang mahal.
Uang sirih juga berbuntut pada pemalakan dan pemerasan. Tapal batas tersebut tidak hanya menjadi lokasi pungutan dengan dalih adat, namun juga menjadi sarang perampokan. Kekerasan dalam bentuk perampokan ini banyak diceritakan dalam kaba-kaba Minangkabau.
Perilaku pakuak dan pemalakan ini memang telah lama ada di Minangkabau. Namun, secara moral aksi perbuatan ini adalah salah yang tidak boleh ada pemakluman. Bila ada kesalahan dan kebohongan yang dilakukan berulang-ulang maka lama-lama akan dianggap wajar.
Sesuatu yang telah menjadi tradisi memang sulit mengubahnya. Sekarang di Los Lambuang dan beberapa tempat makan di Pantai Padang telah melengkapi usaha mereka dengan daftar menu dan harga yang lengkap. Ini merupakan salah satu bentuk mencegah tradisi pakuak mamakuak tadi.
Baca juga: Alat Dapur Tradisional Minangkabau, Ada yang Masih Dipakai hingga Sekarang
Selain itu, untuk mencegah pemalakan membutuhkan upaya kontrol bersama. Pemerintah telah membentuk Tim Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Masyarakat yang mengalami atau menemukan praktik pungli dapat melaporkan pada Satgas Saber Pungli yang kini juga bisa dilakukan secara daring. [pkt]