Persamaan Lembaga Survei Politik (LSP) dan Lembaga Survei Ilmu Pengetahuan (LSIP), setidaknya sama-sama mengeklaim menggunakan ‘metode ilmiah’ yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun secara faktual, terdapat perbedaan antara LSP dan LSIP, yang terletak pada tingkat ketaatan mempertahankan kaedah ‘kejujuran ilmiah’ yang wajib mereka usung...(Irm: 2023)
Terdapat berbagai pertanyaan dalam survei politik (Lisa Harrison: 2007), antara lain:
Siapa yang melakukan survei? Apakah akademisi, wartawan, politisi, atau anggota think-tank ?
Bagaimana survei dilakukan? Apa metode yang digunakan? Apakah survei itu didanai. Jika ya, oleh siapa?
Apakah tujuan survei? Apakah survei untuk perubahan kebijakan atau untuk mempengaruhi perilaku politik?
Dari pertanyaan di atas dapat dipahami bahwa survei politik tidak dilakukan dalam ruang hampa. Banyak variabel bebas yang mempengaruhi objektivitas hasil survei. Makanya masyarakat harus "melek" politik karena memiliki hak dan kewajiban untuk mempertahankan kedaulatan rakyat agar opini yang ditaburkan oleh LSP dapat ditepis.
Setiap bangsa Indonesia menyambut pesta demokrasi berupa pemilu/pilkada/pileg selalu perhatian publik tertuju pada sepak terjang LSP. Keberadaan LSP jadi sorotan publik, ada yang positif dan tidak kurang pula yang negatif. Jika LSP makin berorientasi pada "kepentingan" pemesan maka dengan otomatis makin abai pada "kebenaran". Masyarakat awam paham itu.
Masyarakat Indonesia sudah cerdas menilai hasil LSP yang benar, adil, jujur, dan berimbang. Di sisi lain LSP makin gencar menyampaikan hasil kesimpulan survei didukung oleh publikasi media mainstream dan medsos.
Dalam konteks ini sering terjadi hasil yang lucu dan distorsif. Dengan berjalannya waktu, ternyata kesimpulan LSP sering "ngawur", jauh panggang dari api. Masyarakat tahu persis dengan terang benderang. Meskipun demikian, LSP yang sama tampil kembali dengan "gagah berani" merelease hasil survei yang baru. Persetan dengan opini masyarakat karena ada kepentingan yang lebih besar melatarinya.
Fenomena ini berulang kali mengabaikan "etika ilmiah" yang menjadi tontonan publik sehingga secara gradual akan menggerus kepercayaan publik pada mekanisme politik dan sekaligus pada figur aktor politik yang bermain.
Secara kritis, apabila kita menginginkan hasil LSP yang akurat, maka sumber data yang digunakan harus akurat pula. Bebas dari distorsi, independen, tidak terikat dengan kepentingan apapun, apalagi "uang". Harus jadi pedoman yang kuat dan disiplin bahwa "garbage in, garbage out".
Sejarah Singkat LSP di Indonesia
Pada periode tahun 1950 - 1959, pada era Demokrasi Parlementer sebenarnya era yang subur bagi berdirinya LSP. Pada saat itu partai-partai politik memerlukan jasa LSP dalam mengukur selera publik. Namun ketika itu LSP belum berkembang karena kurangnya keahlian survei dan terbatasnya dana. Maklum Indonesia baru merdeka.
Selanjutnya, pada periode Demokrasi Terpimpin pada era Orde Lama sampai dengan Orde Baru, bukan merupakan lahan subur untuk berdirinya LSP. LSP adalah salah satu komponen yang dibutuhkan di alam demokrasi sebagai piranti untuk mengukur pendapat publik. Sedangkan pada periode tersebut Indonesia dapat dikategorikan dalam pseudo-demokratis.
Selanjutnya, menurut Marcus Mietzner dalam artikelnya ‘Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?’ di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat, sebab ia dianggap mencerminkan, bahkan dapat memperburuk, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.
Sebagai contoh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) baru berdiri ketika mendekati berakhir Orde Baru yang dinilai represif.
LSP dengan tujuan politik lazimnya hanya lahir di negara mempunyai kebebasan sipil dan politik. Selanjutnya, setelah Orde Reformasi merupakan lahan subur untuk tumbuh dan berkembangnya LSP di Indonesia. Kehadiran LSP telah memperkaya dan membangkitkan gairah kesadaran politik publik meskipun tidak lepas dari prokon dan polemik mudhorat yang timbul bagi pihak yang merasa dirugikan.
Aspek Legal Lembaga Survei
Menurut BAB XVII PARTISIPASI MASYARAKAT, Pasal 448 ayat 2 c dan d, UU No. 7 tahun 2017, mengatur (c). survei atau jajak pendapat tentang Pemilu; dan (d). penghitungan cepat hasil Pemilu. Ayat 3: Pelaksanaan survei dengan ketentuan: (a). tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu; (b). tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu; (c). bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan (d). mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Sesuai Pasal 449 ayat 5 UU No. 7 tahun 2017 dijelaskan bahwa aturan quick count dilakukan 2 jam setelah selesai penghitungan suara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memverifikasi lembaga survei yang telah mendaftarkan diri mengikuti perhitungan cepat (quick count) Pemilu 2019. Hasilnya, ada 40 lembaga survei yang dianggap telah memenuhi kelengkapan dokumen dan lolos verifikasi.
Sementara itu, Anggota Bawaslu, Puadi, berharap LSP dapat berkembang dengan mengedepankan prinsip integritas, transparan, dan independen. Dia pun menjelaskan aturan norma perundang-undangan mengenai batasan bagi LSP. Hal tersebut diungkapkannya saat menghadiri peluncuran Asosiasi Peneliti Persepsi Publik Indonesia (Aseppsi) di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Keberadaan LSP sangat mulia yakni bertujuan antara lain untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Apabila dicermati aturan yang ada mestinya fungsi LSP sudah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia.
Harapan Masyarakat
Secara faktual, muncul rasa pesimis dan kecurigaan publik terhadap LSP atas kecenderungan adanya interaksi kepentingan politik dalam kontestasi elektoral. Bahkan, dalam perbincangan publik tentang interaksi kepentingan terdapat dugaan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung.
Meski menjamur, tak semua survei atau jajak pendapat bisa dipercaya. Sebab, kerap kali survei dilakukan atas permintaan kandidat atau parpol. Untuk itu, tahun 2013, Lembaga Survei Nasional (LSN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyetujui ada pengawasan terhadap LSP yang hasil penelitiannya kerap dijadikan rujukan masyarakat (Tempo.co: 16 Januari 2023).
Menurut pakar hukum dan mantan Menteri Hukum dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, "Tidak saya pungkiri bahwa dalam bekerja, lembaga-lembaga survei itu menggunakan metode-metode akademis. Namun aspek komersialnya tidak dapat diabaikan pula…"
Dalam pada itu, masih banyak LSP yang profesional dan taat pada kaedah ilmiah akademik dan patuh pada metodologi survei yang lazim. Biasanya LSP ini dikelola oleh akademisi profesional dan tidak terpengaruh oleh manisnya uang.
Masalah "uang" inilah yang menjadikan LSP lupa mengedepankan prinsip integritas, transparan, dan independen, seperti harapan Bawaslu. Jika disurvei pula keberadaan LSP diduga akan muncul alasan yang beragam. Ibarat mencari "ketiak ular". Semua merasa benar dalam kepentingannya. Begitu bicara "kepentingan" maka kebenaran akan serta merta terpinggirkan.
Padahal perilaku sebagian LSP telah menimbulkan rasa muak dalam masyarakat. Tengoklah suara nurani rakyat di pasar, warung, dan komunitas lainnya. Dalam pada itu, LSP yang profesional dan taat pada etika ilmiah pasti dirugikan dari generalisasi citra buruk oleh rakyat awam.
Hal ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja namun semua komponen bangsa dan masyarakat. Perlu perbaikan bersama demi mekanisme politik Indonesia yang sehat.
Catatan Merah LSP pada Pilkada Jabar 2018
Ketika itu beredar di media sosial bahwa sebuah partai politik meminta KPU melaporkan beberapa LSP ke aparat yang berwenang, jika tidak parpol yang bersangkutan akan berinisiatif melaporkan sendiri. Penulis tidak bisa konfirmasi apakah berita itu hoaks atau sebenarnya.
Terlepas dari itu penulis melihat substansi permasalahan yang diangkat yang berawal dari kekecewaan dari pengumuman hasil quick count (QC) pilkada Jawa Barat yang ibarat konser LSP-LSP tertentu menyuarakan hal yang sama. Berbagai opini yang beredar dalam masyarakat, antara lain:
1. Hasil survei LSP-LSP tertentu pra pilkada terhadap salah satu pasangan Cagub Jabar, hanya memperoleh suara yang rendah berkisar antara 3-8%. Hasil survei pra pilkada tersebut diduga dengan tujuan untuk mempengaruhi opini publik.
2. Memperhatikan butir 1 dan hasil QC meningkat pesat dengan margin error sekitar 20-26%, namun pasangan cagub dimaksud tetap kalah. Margin error fantastis seolah-olah membenarkan dugaan pada butir 1. Hasil QC tidak lazim melonjak spektakuler sekitar 300-400% sehingga mengundang berbagai spekulasi.
3. Profesional dan independensi LSP-LSP dipertanyakan masyarakat dan spekulasi ini berkembang tanpa kendali.
Sepanjang pengetahuan penulis belum ada bantahan yang jelas dari LSP-LSP, selain hanya anjuran untuk menunggu pengumuman hasil real count dari KPUD guna meredam spekulasi.
Apabila kasus yang terjadi pada pilkada Jabar terulang kembali di berbagai daerah bahkan secara nasional, maka timbul kekuatiran kita terhadap masalah LSP-LSP di Jabar akan memicu ketegangan secara nasional karena potensi risiko menurunnya trust publik terhadap pelaksananaan pesta demokrasi selanjutnya di Indonesia. Risiko atas perasaan publik yang kecewa dan merasa ditelikung akan mempengaruhi partisipasi rakyat dan tingkat kepercayaan publik terhadap hasil pemilu kelak.
Dalam kaitan ini terdapat warning menarik dari Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang perlu menjadi perhatian kita semua: "Itulah yang saya katakan LSP kini telah menjadi tuhan baru di republik ini." Warning ini sangat bermanfaat terutama bagi LSP yang masih memiliki keinginan berkiprah profesional, independen, track record yang baik, dan memiliki etika ilmiah yang kukuh.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Problem LSP terjadi ketika pihak-pihak internal LSP sekaligus menjadi konsultan pemenangan atau tim sukses. Mereka akan mempublikasikan hasil surveinya untuk mempengaruhi opini publik. Padahal prinsipnya hasil survei hanya untuk konsumsi klien.
2. Hasil survei dan QC adalah suatu yang berbeda. Publik kurang bisa membedakan keduanya. Biasanya LSP tidak berani bermain api dengan hasil QC, LSP biasanya menampilkan data QC apa adanya.
3. Terdapat hal yang bersifat kasuistik bahwa LSP yang sudah melakukan pelanggaran kode etik masih saja tetap dicari dan dipakai untuk kebutuhan tertentu oleh klien.
4. Mestinya terdapat pembatasan yang ketat terkait pelarangan LSP sebagai tim sukses klien. Pelarangan ini harusnya tidak bisa diakal-akali misalnya seolah-olah lembaga baru namun personilnya orang itu-itu juga.
5. Perlu dibuat lembaga pemeringkat LSP yang independen. Hasil peringkat diumumkan ke publik secara berkala sehingga masyarakat dapat menilai kredibilitas LSP.
6. Parpol dan pihak yang membutuhkan jasa LSP hanya dapat menggunakan LSP yang direkomendasikan oleh KPU.
Di Indonesia dibutuhkan adanya perhimpunan dan asosiasi profesional LSP yang kuat dan kredibel, agar berbagai kejadian negatif dapat dihindari sehingga kepercayaan masyarakat dapat terbangun. LSP harus memposisikan diri dengan menjaga independensi dan sikap profesional yang tinggi sehingga sikap sinis dan curiga terhadap LSP di masyarakat dapat dikurangi.
Kita menyadari LSP membutuhkan dana untuk menghidupinya, namun tidak ada alasan untuk merusak integritasnya sendiri. Tetaplah berpegang pada kode etik yang sudah disepakati bersama.
Perhimpunan dan asosiasi yang sudah ada seperti Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) harus diposisikan sebagai pengawas, pembina, yang memiliki otorisasi memberikan sanksi, yang berwibawa.
Ketua Persepi periode 2019-2024, Philips J Vermonte, menyampaikan tiga hal utama yang akan jadi prioritasnya lima tahun mendatang. Pertama, peningkatan kapasitas, profesionalitas, dan kompetensi anggota melalui standardisasi metodologi dan alat ukur riset. Kedua, menggelar kegiatan sharing knowledge terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah. Ketiga, mendorong pemerintahan semakin terbuka menggunakan data-data hasil riset, termasuk survei opini publik untuk proses pengambilan kebijakan publik (Kumparan.com: 21 Februari 2020).
Selain itu, AROPI diminta bersikap tegas terhadap lembaga yang merilis hasil survei "abal-abal" atau hasil survei yang tidak berdasarkan proses dan metodologi survei yang benar (Antara.com: 18 Agustus 2013).
Berkenaan dengan itu, harus menjadi komitmen bersama menegakkan integritas dengan membuang jauh-jauh KKN dan kultur perkoncoan agar profesionalisme dan wibawa organisasi terbangun.
Dengan demikian, hukum akan tegak dan sikap tegas terhadap setiap LSP yang melanggar kode etik dapat diterapkan dengan konsisten dan disiplin.
Selanjutnya, LSP akan tampil sebagai mitra masyarakat garis lurus dalam koridor "etika ilmiah" yang dibutuhkan bangsa dan negara.
Keberadaan LSP akan sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar. [*]
Penulis: Dr. Iramady Irdja, Analis Ekonomi Politik dan mantan Pegawai Bank Indonesia