Sejak Pilkada di mana rakyat dapat memilih secara langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2005, setidaknya telah ada 130 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terlibat kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Angka tersebut hanya berbilang setahun setelah Pilkada langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2005 hingga tahun 2018. Belum lagi menghitung siapa saja kepala daerah atau wakil kepala daerah yang menjadi “pasiennya” Kejaksaan dan Kepolisian.
Politik biaya tinggi dinilai menjadi sebab kenapa relasi antara Pilkada dan korupsi seakan memiliki hubungan yang erat. Pada pertengahan September lalu, Menkopolhukam, Mahfud MD juga berucap bahwa 92% calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibiayai oleh cukong. Di saat yang sama, melalui Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menyampaikan bahwa menurut kajian KPK 82% calon kepala daerah dan wakil kepala daerah didanai oleh “sponsor”.
Sebenarnya kemunculan angka-angka tersebut tak terlalu mengejutkan. Namun, bagaimana proses dan rahasia di baliknya jelas tak dapat dimengerti oleh semua orang, apalagi di masuki dengan mudahnya. Membaca judul buku, “Sisi Lain Pilkada: Memahami Kontestasi Politik dari Sudut Praktis” membangun harapan para pembaca untuk mengantarkan pada panggung atau sisi lain dari Pilkada yang selama ini tidak terlihat.
Entah itu panggung atau sisi yang tak terlihat karena jarang diekspos atau tidak menarik perhatian, serta panggung atau sisi yang selama ini memang tersembunyi atau disembunyikan. Semisal bicara tentang politik uang, kenyataan menyangkut pendanaan tak pernah benar-benar diketahui selain dari laporan dana kampanye kandidat.
Tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kandidat dalam Pilkada dijelaskan dengan baik dalam buku ini. Setidaknya beberapa variabel pendanaan kunci disampaikan dengan tegas yang juga semakin menegaskan bahwa pendanaan dalam Pilkada adalah hal yang amat penting bagi siapa saja yang berniat untuk ambil bagian dalam kontestasi.
Bagi seorang calon kepala daerah, pembiayaan dalam kegiatan politik yang diikutinya amatlah penting. Apalagi dalam kontestasi Pilkada yang diikuti melibatkan tim pemenangan yang sangat besar. Terlalu banyak komponen biaya yang harus disediakan oleh calon kepala daerah dalam mengikuti tahapan Pilkada ini. Bagaimana pun kepala daerah ini tidak ingin kontestasi yang diikutinya ini berhenti di tengah jalan karena kekurangan biaya (hal. 64).
Konsekuensi biaya yang harus disediakan apabila ikut berkontestasi dalam Pilkada adalah fakta dari panggung atau sisi yang selama ini telah diketahui. Namun, dari mana biaya itu didapatkan jelas tak semua orang bisa mengetahuinya. Harapannya, buku “Sisi Lain Pilkada” dapat menghadirkan gambaran – kalau bukan jawaban atas permasalahan politik biaya tinggi – atas sisi atau panggung yang tidak diketahui.
Apalagi buku ini menegaskan lewat judulnya akan sebuah panduan memahami dari sisi praktis serta pada bagian pendahuluan penulis buku juga mendasari apa yang ditulis di dalam buku ini, secara tidak langsung menceritakan pengalaman keterlibatan secara langsung dalam berbagai kegiatan penelitian mengenai Pilkada, sehingga berinteraksi dengan politik, khususnya dalam mengamati, mengikuti dan mewawancarai mereka yang terlibat dalam Pilkada tersebut (lihat hal. 7).
Wajar jika buku ini menghadirkan sebuah kompleksitas tentang Pilkada dari A sampai Z. Lebih dari sekadar membicarakan politik uang, pendanaan hingga fenomena patronase dan klientelisme politik. Karena di dalamnya juga mengulas banyak hal seperti, personal branding, konsultan politik dan tim pemenangan, urgensi pemetaan dukung, menyusun strategi kampanye, perilaku pemilih, hingga pedoman bagaimana menjadi kepala daerah berintegritas.
Pokok-pokok bahasan yang membicarakan Pilkada mulai dari sisi personal sebelum kontestasi Pilkada benar-benar dimulai hingga ketika jabatan kepala daerah itu telah dimenangkan. Dengan horizon pengetahuan yang dibentangkan seluas itu, buku ini membuat penulisnya semakin menegaskan diri sebagai kompas pemikiran hingga konsultan bagi praktik perihal politik lokal dan Pilkada, khususnya di Sumatra Barat. Apalagi dalam karya-karya akademik sebelumnya, penulis juga telah menunjukan fokusnya terhadap isu-isu politik lokal dan Pilkada.
Sayangnya buku ini ditulis tidak terikat dengan metodologi apapun selain upaya menampilkan sebuah pengetahuan yang kontekstual kepada para pembaca dari sisi pemahaman yang berbeda. Walau dijelaskan pada bagian pendahuluan dari mana saja “kegelisahan”, data dan informasi dalam buku ini muncul. Rasanya hal itu tidak cukup kuat untuk menjawab ekspektasi terhadap judul yang membawa para pembaca menemukan “Sisi Lain Pilkada” yang mungkin selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan.
Dengan pengalaman empiris yang dimiliki penulis, jika informasi lebih jauh dapat disampaikan lewat buku ini, buku “Sisi Lain Pilkada” menjadi punya cukup alasan untuk disandingkan dengan buku karya Burhanudin Muhtadi yang berjudul, “Kuasa Uang” atau buku karya Edward Aspinall dan Ward Barenschot yang berjudul, “Democracy For Sale” apabila hanya spesifik mengulas perihal politik uang. Bahkan buku “Sisi Lain Pilkada” dapat melebihi kedua buku tersebut apabila mempertahankan topik-topik yang telah ada saat ini. Syaratnya menggunakan teknik penelitian dan penulisan yang serupa serta paparan data penelitian memadai.
Kemungkinan penulis menghadirkan itu sangat tinggi dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki. Bahwa hasil penelitian yang baik tidak hanya ditentukan kematangan persiapan serta ketekunan dalam melaksanakan penelitian, tetapi juga bergantung pada kemungkinan memperoleh sumber informasi atau data yang sifatnya sangat signifikan terhadap. Hebatnya, memahami kapasitas personal penulis buku “Sisi Lain Pilkada”, rasanya tidak kekurangan apapun untuk memiliki atau mendapatkan itu semua.
Walau pada bagian pendahuluan, penulis sudah memberikan alas bahwa buku “Sisi Lain Pilkada” adalah bagian kecil dari perspektif praktis perihal Pilkada. Karena penulis menyebutkan buku ini adalah “bagian kecil”, maka layak dinantikan kelahiran “bagian besarnya”. Sehingga buku “bagian besar” tersebut layak menjadi “Kitab Besar Pilkada” dari sisi praktis.
Namun demikian, dengan substansi yang ada serta momentum kelahirannya yang bertepatan dengan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, buku “Sisi Lain Pilkada” sudah bisa digunakan sebagai “kitab” memahami Pilkada dari sisi praktis. Sehingga sangat layak untuk dibaca siapa saja yang tertarik atau telah mencemplungkan dirinya dalam dunia Pilkada. Baik secara praktis maupun akademis.
Judul: Sisi Lain Pilkada: Memahami Kontestasi Politik dari Sudut Praktis
Penulis: Asrinaldi
Penerbit: Erka
Cetakan: I, 2020
Tebal: xiv + 208 halaman
ISBN: 978-602-0738-49-9