Media Sosial dan "Fluid Identity"

Media Sosial dan "Fluid Identity"

Annisa Anindya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand). [Foto: Dok. Pribadi]

KEMUNCULAN media digital sebagai media baru yang bebas perlahan membawa makna baru. Media berbasis open source dan fluid identity perlahan muncul dan menyebar. Semua orang bisa menjadi siapa saja. Setiap individu dapat dengan mudah menampilkan dirinya sesuai dengan keinginannya di manapun dan kapanpun.

Pengguna media dibius oleh kebebasan berekspresi dan kemudahan berkomunikasi. Globalisasi telah mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat, termasuk cara mereka berekspresi di media sosial.

Perkembangan masyarakat yang menggunakan media massa kontemporer ke depannya berkaitan dengan ‘freedom’, atau kebebasan. Seiring berjalannya waktu, dalam penggunaan media sosial, para pengguna sosial media menyadari bahwa teks yang ditampilkan di media memiliki dampak yang besar dalam diskusi akan isu ekspresi gender. Pemikiran tersebut muncul karena mereka dibentuk dengan terpapar berbagai ideologi kategorisasi gender agar dapat diterima dalam sistem sosial.

Kaburnya gender dan gender dalam kehidupan sosial bahkan media, seringkali dipandang sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial budaya masyarakat, sehingga banyak individu yang merasa harus mencitrakan diri hanya dengan satu identitas gender yaitu feminin atau maskulin.

Tuntutan budaya dan stigma dari lingkungan sekitar berdampak signifikan terhadap perilaku generasi muda menampilkan diri. Standar yang ditetapkan oleh masyarakat menimbulkan disparitas, sehingga tidak jarang tumbuh perasaan tidak nyaman terhadap tubuh dan identitas diri bagi mereka yang tidak dapat memenuhi standar tersebut.

Pemahaman gender seringkali membedakan penempatan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminin dan laki-laki dianggap maskulin yang diwujudkan dalam ciri-ciri psikologis, seperti anggapan bahwa laki-laki harus kuat, tegas, berani, dan sebagainya.

Sedangkan wanita dianggap penyayang, lemah lembut, penurut dan lain-lain. Selain dari ciri-ciri psikologis tersebut juga dapat dikenali melalui penampilan atau cara berpakaian, antara laki-laki dan perempuan perbedaan jenis pakaian terlihat sangat mencolok.

Namun saat ini menjadi feminin atau maskulin bukan menjadi pilihan yang rigid. Masyarakat saat ini, atau yang disebut sebagai masyarakat global culture, akan menggunakan dunia digital pada media massa kontemporer untuk berkomunikasi dan berekspresi secara bebas, termasuk mengekspresikan identitas mereka.

Butler (1990) menyatakan identitas gender terdiri dari banyak komponen dan bisa berubah, karena identitas sendiri bersifat cair. Jadi, seseorang bisa memilih identitas yang ingin dimilikinya. Aktivitas yang dilakukan pun lebih banyak secara individual karena hanya melibatkan hubungan yang lebih personal dengan teknologi. Dan perlahan interaksi antar kehidupan sosial pun lebih banyak terjadi di dalam dunia digital, serta lebih intens dalam ruang komunitas cyber.

Komunitas cyber dalam game memungkinkan pemainnya menggunakan avatar yang berbeda dengan identitas gendernya di dunia nyata, yang mana beberapa gamers perempuan sering menggunakan avatar laki-laki begitu pula sebaliknya. Berbagai alasan mereka kemukakan, termasuk untuk menghindari diskriminasi, pelecehan dan stereotip negatif. Preferensi pribadi dan juga eksplorasi mendalam akan satu karakter pun memungkinkan mereka untuk memilih satu jenis avatar yang mereka sukai.

Kemudian, kemunculan berbagai karakter VTuber dengan identitas virtual 2D atau 3D yang mereka tampilkan juga banyak diminati oleh audiens dari berbagai kalangan. Bentuk anonimitas ini menyajikan pengalaman yang berbeda dalam interaksi virtual dalam komunitas cyber yang membebaskan mereka dari stereotip gender, usia, maupun ras. Mereka bisa menjadi siapa pun, kapan pun, dimana pun.

Kreativitas dan antusiasme dalam mengembangkan hal-hal baru berkaitan dengan dunia teknologi informasi memang akan berkembang pesat. Pergerakan dan perkembangan teknologi informasi pada media digital terus meningkat dan memberikan perspektif-perspektif baru. Kebebasan berekspresi yang semakin besar terutama fluidity dan anonymity menandai perkembangan yang sangat cepat di era media digital.

Media digital, dalam ruang lingkup media baru, menuntut interaksi, mobilitas, dan fungsionalitas yang semakin meningkatkan kapasitas penggunanya. Teknologi terus mengubah fungsi manusia dan masyarakat baik secara individu maupun kolektif. Perubahan teknologi mengubah cara kita berkomunikasi.

Baca juga: "Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme

Berbagai komunitas cyber bermunculan dalam mewujudkan masyarakat yang kreatif dan inovatif. Di satu sisi hal ini tentunya memberikan ruang akan kebebasan berekspresi bagi individu, sekaligus di sisi yang lain memberikan tantangan dan peluang baru bagi orang-orang yang menguasai informasi untuk bertahan dan berjuang dalam atmosfer komunitas global virtual.

[*]

Penulis: Annisa Anindya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand)

Baca Juga

Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
DPR Kini Punya 13 Komisi dan 1 Badan, Berikut Komposisi, Mitra dan Ruang Lingkup Kerjanya
DPR Kini Punya 13 Komisi dan 1 Badan, Berikut Komposisi, Mitra dan Ruang Lingkup Kerjanya
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Daftar Lengkap Nama Menteri dan Wakil Menteri  Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
Daftar Lengkap Nama Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
"Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme
"Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
"Trash Talking": Ejekan di Game Online