GERAKAN body positivity bermula sebagai upaya untuk menentang standar kecantikan yang sempit dan eksklusif, yang telah lama mendominasi budaya populer. Berangkat dari pengalaman perempuan dengan tubuh besar, orang kulit berwarna, hingga individu dengan disabilitas, gerakan ini berusaha merayakan dan menerima segala bentuk tubuh tanpa syarat.
Namun, dalam perjalanan waktu, gerakan ini tak luput dari arus kapitalisme, yang perlahan mengkomodifikasi narasi body positivity demi keuntungan ekonomi. Alih-alih mempromosikan pemberdayaan sejati, kapitalisme sering memanfaatkan gerakan sosial untuk menciptakan pasar baru yang menguntungkan.
Gerakan Body Positivity dan Kapitalisme di Barat
Di Barat, kapitalisme dengan cepat memanfaatkan tren body positivity. Banyak perusahaan besar, terutama dalam industri fashion dan kosmetik, mengklaim mendukung keragaman tubuh, tetapi pada kenyataannya, gerakan ini digunakan sebagai strategi pemasaran semata.
Merek-merek seperti Dove dan American Eagle, melalui kampanye iklan mereka, mencoba mencitrakan diri sebagai merek yang mendukung penerimaan tubuh. Dove, misalnya, meluncurkan kampanye “Real Beauty” yang menampilkan perempuan dengan beragam bentuk tubuh dan warna kulit, seolah-olah berkomitmen mendukung keberagaman.
Namun, terlepas dari klaim inklusivitas, iklan tersebut masih terikat pada norma kecantikan yang mendasar. Model yang ditampilkan mungkin memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari standar model tradisional, tetapi mereka masih memenuhi kriteria tertentu—misalnya, tetap memiliki tubuh yang proporsional, kulit yang mulus, dan wajah yang sesuai dengan standar kecantikan umum.
Di balik kampanye semacam itu, ada tujuan komersial yang jelas: menciptakan loyalitas konsumen dengan menarik audiens yang merasa kurang terwakili dalam iklan tradisional. Kapitalisme menciptakan ilusi keberagaman, tetapi tetap mempertahankan batas-batas kecantikan yang normatif.
Selain itu, munculnya influencer dan media sosial di Barat juga menjadi alat kapitalis dalam menyebarkan narasi body positivity yang telah dikomodifikasi. Influencer dengan ribuan atau bahkan jutaan pengikut, seringkali mempromosikan produk-produk yang seolah mendukung penerimaan tubuh, tetapi dalam kenyataannya tetap memasarkan standar kecantikan tertentu.
Influencer yang mengaku mendukung body positivity mungkin menampilkan citra tubuh yang lebih besar, tetapi tubuh-tubuh tersebut tetap dikuratori dan diatur sesuai estetika yang dapat dijual. Akibatnya, narasi body positivity yang sejati terdistorsi, dan menjadi sekadar alat bagi perusahaan untuk meningkatkan penjualan.
Kapitalisme dan Body Positivity di Indonesia
Indonesia tidak terlepas dari fenomena ini. Di negara yang masih dipengaruhi standar kecantikan Barat, gerakan body positivity mulai diadopsi oleh berbagai merek lokal sebagai taktik pemasaran. Industri kosmetik, fashion, hingga media sosial mulai merayakan "keberagaman" dengan cara yang mirip seperti di Barat, tetapi dengan batasan tertentu.
Merek lokal seperti Wardah dan Emina, misalnya, mulai menggunakan narasi tentang kecantikan alami dan inklusivitas dalam iklan-iklan mereka. Namun, representasi dalam iklan tersebut masih didominasi oleh model dengan tubuh langsing, kulit cerah, dan rambut hitam panjang yang terawat.
Meskipun ada upaya untuk menampilkan model dengan ukuran tubuh yang sedikit lebih besar atau warna kulit yang lebih gelap, representasi tubuh yang tidak sesuai dengan standar kecantikan tradisional masih sangat minim. Sebagian besar iklan produk kecantikan di Indonesia masih mengedepankan citra ideal yang tidak jauh berbeda dari norma yang selama ini mendominasi. Dalam hal ini, narasi body positivity yang disajikan oleh industri di Indonesia hanyalah wajah baru dari standar kecantikan yang lama, dengan sedikit polesan yang lebih modern dan inklusif.
Pengaruh media sosial di Indonesia juga sangat signifikan dalam penyebaran narasi ini. Beberapa selebritas dan influencer terkenal di Indonesia, seperti Rachel Vennya atau Awkarin, memanfaatkan citra body positivity dalam konten mereka. Mereka sering berbicara tentang pentingnya mencintai diri sendiri dan menerima kekurangan, tetapi tetap dalam kerangka estetika media sosial yang dipoles dengan hati-hati.
Postingan tentang self-love sering kali disertai dengan promosi produk kosmetik atau pakaian, menjadikan penerimaan tubuh sebagai komoditas yang bisa dijual. Dengan kata lain, kapitalisme di Indonesia berhasil mengambil alih narasi pemberdayaan ini dan menjadikannya sebagai alat untuk meningkatkan keuntungan komersial.
Ironi di Balik Komodifikasi Body Positivity
Kapitalisme memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyerap dan mengubah gerakan sosial yang pada awalnya bertujuan untuk memberdayakan. Dalam hal body positivity, kapitalisme tidak hanya merusak esensi asli gerakan ini, tetapi juga membatasi cakupan penerimaan tubuh. Alih-alih menerima semua bentuk tubuh tanpa syarat, kapitalisme masih menempatkan batasan pada apa yang dapat diterima dalam norma kecantikan.
Kampanye pemasaran yang seolah mendukung penerimaan tubuh sebenarnya hanya menampilkan tubuh-tubuh yang masih memenuhi kriteria kecantikan tertentu—baik dalam hal proporsi tubuh, kondisi kulit, atau wajah.
Ironisnya, komodifikasi body positivity justru memperkuat norma kecantikan yang pada awalnya ingin dilawan oleh gerakan ini. Alih-alih memperluas standar kecantikan, kapitalisme hanya mempersempitnya kembali, meskipun dalam kemasan yang berbeda. Tubuh perempuan, yang seharusnya dirayakan dalam segala bentuk dan ukuran, kembali dijadikan sebagai komoditas yang diukur berdasarkan nilai komersialnya.
Dalam konteks Indonesia, norma sosial dan budaya yang sangat dipengaruhi oleh standar kecantikan Barat memperparah situasi ini. Meskipun ada upaya dari beberapa merek lokal untuk menampilkan keberagaman, realitasnya, tubuh yang jauh dari standar kecantikan normatif masih sangat jarang terlihat dalam media dan iklan. Body positivity di Indonesia telah menjadi alat kapitalis untuk menciptakan loyalitas konsumen dan meningkatkan penjualan, tanpa memperhatikan esensi asli dari gerakan ini.
Menegaskan Kembali Esensi Body Positivity
Untuk mengatasi komodifikasi ini, penting bagi gerakan body positivity untuk menegaskan kembali esensinya. Gerakan ini tidak boleh hanya menjadi alat pemasaran bagi perusahaan, tetapi harus tetap menjadi ruang untuk merayakan keberagaman tubuh yang sejati. Semua bentuk tubuh, tanpa memandang ukuran, warna kulit, atau identitas, harus diterima tanpa syarat.
Di Indonesia, masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi kampanye yang mengklaim mendukung keberagaman tubuh. Penting untuk mengidentifikasi kapan gerakan sosial telah menjadi sekadar alat kapitalis, dan mendorong representasi tubuh yang lebih inklusif di media. Merek-merek lokal harus didorong untuk tidak hanya menggunakan body positivity sebagai taktik pemasaran, tetapi juga mempraktikkan inklusivitas secara nyata dalam produk dan iklan mereka.
Baca juga: RSUP M Djamil Punya Kinik Kecantikan dan Perawatan Kulit, Didukung SDM Andal dan Alat Modern
Gerakan body positivity adalah tentang lebih dari sekadar menjual citra penerimaan diri. Ini adalah tentang merayakan keberagaman tubuh dalam segala bentuk dan ukuran, serta menantang norma kecantikan yang sempit yang selama ini mendominasi. Jika ingin tetap relevan, gerakan ini harus terus berjuang melawan komodifikasi kapitalis dan mempertahankan esensi inklusifnya.
[*]
Penulis: Annisa Anindya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand)