Masyarakat Adat dalam Lingkaran Investasi

Masyarakat Adat dalam Lingkaran Investasi

Karikatur M. Nurul Fajri. [Dok. Pribadi]

Jika salah satu aspek fundamental pada ekosistem ekonomi ialah kepastian hukum dalam berusaha, maka persoalan itu tidak sekadar dijawab dengan adanya dasar hukum yang jelas. Akan tetapi, hukum itu selain bersifat pasti, dalam pelaksanaannya juga dibentuk untuk mencegah terjadinya konflik di kemudian hari. Dengan kata lain hukum yang mampu memberikan jaminan keadilan untuk semua pihak dalam pelaksanaannya.

Dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum tersebut, titik singgung antara negara, masyarakat hukum adat (MHA) dan investor kerap kali menciptakan gesekan keras bahkan saling berbenturan. Di mana salah satu penyebabnya akibat lemahnya pengaturan yang dapat menjembatani masing-masing kepentingan. Sayangnya, korban terbesar seringkali datang dari MHA. Dengan dampak kerugian berupa materil, psikologis, serta yang paling krusial mencerabut eksistensi MHA dari akarnya. Akibat hilangnya ruang hidup sesuai dengan karakter MHA yang genealogis-teritorial.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo kemudahan berinvestasi itu tampak nyata. Mulai dari paket kebijakan ekonomi I-XVI, pembatalan sekitar 3.143 peraturan daerah yang dianggap menghambat investasi, lahirnya Undang-Undang Pengampunan Pajak yang dikenal dengan istilah amnesti pajak, hingga lahirnya UU Cipta Kerja dengan mengadopsi konsep omnibus law.

Seiring dengan kemudahan berinvestasi tersebut, dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konflik agraria di Indonesia mencapai 450 konflik sepanjang tahun 2016. Empat tahun kemudian KPA mencatat 241 laporan terkait konflik agraria dari 359 desa dan kota yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia, dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga. Kendati angka temuan oleh KPA menurun,  fakta yang tidak dapat dibantah jumlah konflik agraria tersebut tetap besar. Yang artinya upaya dalam menyelesaikan persoalan konflik agraria belum bisa dikatakan menyentuh inti permasalahan.

Menurut Komnas HAM (2015) akar permasalahan terjadi pelanggaran HAM terhadap MHA disebabkan oleh lima faktor, yaitu: 1) tidak atau belum adanya pengakuan sebagai MHA; 2) menyederhanakan keberadaan MHA dan hak-haknya atas wilayah adat serta sumber daya hutan sekedar masalah administrasi atau legalitas; 3) kebijakan pembangunan bias pertumbuhan ekonomi; 4) Partriarki di tubuh negara dan masyarakat adat; dan 5) Kekosongan lembaga penyelesaian konflik agararia yang memiliki otoritas menyelesaikan konflik secara adil.

Dalam konteks ini kebijakan pembangunan terlihat menatap seragam kondisi MHA, atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, hukum nasional datang ibarat makhluk asing lewat agenda pembangunannya oleh MHA yang telah hidup dengan sistem norma dan pranata sosialnya jauh sebelum negara hadir. Padahal keberadaan pluralitas norma juga dipandang sebagai wujud kekayaan dalam sistem hukum nasional, yang mestinya direkognisi.

Dalam rangka tujuan ekonomi seringkali keberadaan MHA mengalami penundukan diam-diam dengan hanya mengakui keberagaman budaya (contoh: tarian, tipe rumah) dan mengikari segi politik/hukum penguasaan dan pengelolaan lahan (Mumu dan Joeni, 2013:160). Di mana secara yuridis filosofis berlawanan dengan perhormatan, perlindungan dan pemenuhan hak MHA yang diamanatkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.

Aspek Konstitusionalitas

Semangat Pasal 33 UUD 1945 setelah perubahan terkait dengan hak menguasai negara, seharusnya terejawantahkan secara konkret dalam kebijakan ekonomi pemerintah pusat dan daerah. Khususnya dalam bidang investasi yang kerap memantik gesekan hingga benturan.

Secara spesifik ihwal peran negara sebagaimana dinyatakan Pasal 33 UUD 1945 setelah perubahan, MK telah memberikan beberapa pedoman penting dalam beberapa putusan lewat putusan nomor 36/PUU-X/201. Dalam putusan tersebut, MK mengklasifikasikan derajat penguasaan negara dalam tiga bentuk: kepemilikan lewat saham perusahaan, pembuatan kebijakan dan tidakan kepengurusan, dan pengaturan dan pengawasan (Arizona, 2014:345)

Putusan MK nomor 36/PUU-X/2012 juga disebutkan, sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam, maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat.

Kehadiran investor atau dibukanya kran investasi secara tersirat dapat dimaknai sebagai isyarat adanya kekuarangan atau ketidakadaan kemampuan negara untuk mengelola sesuatu atau mengadakan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi yang cukup besar dan/atau menjadi kebutuhan serta menguasai hajat hidup orang banyak. Dan persoalan pertama dimulai ketika investasi yang berkaitan dengan izin pengelolaan dan pemanfaatan atas kawasan dengan basis pemberian izin Hak Guna Usaha pada tanah negara. Di mana status kawasan tersebut bersinggungan bahkan berhimpitan dengan wilayah MHA.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang telah melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat, telah melakukan timpaan (overlay) peta kawasan hutan dengan peta wilayah adat tahun 2014. Hasil timpaan tersebut memperlihatkan bahwa 81 persen penunjukan kawasan hutan berada di wilayah adat, sedangkan 19 persen sisanya berada di luar kawasan hutan yang diterbitkan izin di luar kehutanan.

Dari sisi perlindungan MHA, secara spesifik juga telah memiliki pedoman konstitusional dalam putusan MK nomor 35/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut MK telah secara tegas menyatakan bahwa hutan adat atau kawasan hutan yang menjadi bagian wilayah adat MHA bukanlah hutan negara yang selama ini diklaim oleh negara melalui UU Kehutanan. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana kemudian menyikapi putusan-putusan MK tersebut dalam hal investasi dan perlindungan MHA?

Langkah ke Depan

Jika dibandingkan dengan akses dan kemudahan invetasi yang diberikan pemerintah terhadap investor dengan aspek perlindungan MHA, maka boleh disebut sebagai sesuatu yang tidak sebanding sama sekali.

Tidak hanya itu, hal lain yang perlu dikhawatirkan adalah, angka dan data tentang terebutnya ruang kelola, ruang hidup atau wilayah adat dari MHA di atas besar kemungkinan akan semakin bertambah dengan sikap politik ekonomi pemerintahan saat ini yang pro investasi serta berorientasi terhadap pembangunan infrastruktur terkoneksi.

Untuk menjawab kekhawatiran tentang potensi konflik dan tercerabutnya MHA tanpa harus menutup rapat kran investasi bagi dunia usaha/investor, sejatinya beberapa instrumen hukum yang telah ada sejatinya dapat dipilih sebagai langkah politik jalan tengah bagi investasi dan perlindungan dan penghormatan MHA agar terwujudnya keadilan ekonomi, sosial dan budaya.

Secara bertahap langkah tersebut bisa ditempuh lewat penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), dan baru diikuti oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional/daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional/daerah.

Syarat mutlak semua produk kajian tersebut dilakukan dengan standar integritas penyusun yang tinggi dan kaidah ilmiah yang benar. Tidak terikat agenda pembentukan produk hukum tahunan, namun penyelesaiannya terukur. Tentunya disertai agenda pemetaan yang sifatnya partisipatif dan transparan.

Apalagi KLHS, RTRW, RPJP, dan/atau RPJM disusun secara terkoneksi dan serentak berdasarkan cakupan wilayah administratif dan tidak terikat durasi waktu tahun anggaran. Tentulah kemudian akan terlihat bagaimana kondisi sebuah kawasan, khususnya kawasan potensi ekonomi serta mendukung penentuan dan penetapan wilayah adat MHA.

Baca juga: Konflik Agraria dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat

Sehingga kemudian dapat terukur bagaimana implementasi dari rencana pembangunan, khususnya pada kawasan/wilayah potensi ekonomi dengan wilayah adat MHA. Penting sebagai langkah mengakhiri karakter kebijakan ekonomi atau pembangunan di Indonesia yang sangat bias pertumbuhan ekonomi. [*]


Penulis: M Nurul Fajri, Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus+ Scholarship Program pada Radboud University

Baca Juga

Indonesia Vs Arab Saudi: Duel Seru di Lapangan, Sampah Plastik Jadi 'PR' Kita Semua
Indonesia Vs Arab Saudi: Duel Seru di Lapangan, Sampah Plastik Jadi 'PR' Kita Semua
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
Andre Rosiade: Kerja Sama Penanaman Modal Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Andre Rosiade: Kerja Sama Penanaman Modal Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional