BESARNYA kekuasaan partai politik dalam berpemerintahan hari ini justru menjadi paradoks dalam berdemokrasi. Idealnya, partai politik mampu membentuk demokrasi yang sehat melalui fungsi yang dilaksanakannya. Namun, kondisi ini masih jauh dari harapan. Sorotan publik terkait dengan kegagalan partai politik mengawal proses pemilu serentak 2024 agar berkualitas dan berintegritas masih menjadi pembicaraan sampai saat ini. Berbagai tudingan diarahkan ke partai politik yang turut menyumbang "sakitnya" demokrasi di Indonesia.
Belum selesai masalah ini, sekarang partai politik kembali menjadi pergunjingan publik menjelang Pilkada 2024. Pasalnya, partai politik berusaha "merekayasa" pilihan masyarakat dengan hanya menghadirkan satu pasang calon yang diusung dalam Pilkada. Sesuatu yang memang di luar nalar demokrasi. Jika memang masyarakat dianggap sebagai pemilih yang berdaulat, mestinya yang dimunculkan partai politik adalah banyak pilihan calon kepala daerah kepada masyarakat. Partai politik menyediakan pilihan yang terbaik bagi masyarakat agar mereka memilih yang terbaik untuk menjadi pemimpin mereka. Bukan sebaliknya membatasi pilihan masyarakat dan mengikuti selera partai politik.
Dari kejadian yang banyak dilakukan partai politik di daerah bahwa elite partai di daerah yang juga direstui oleh elite partai nasional membatasi munculnya calon kepala daerah. Caranya adalah dengan merekayasa dukungan partai politik kepada salah satu atau beberapa calon yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan elite partai politik. Pertama, karena calon kepala daerah tersebut berpotensi menang dalam pemilihan karena didukung oleh mayoritas masyarakat, atau kedua, calon kepala daerah menjadi ancaman nyata bagi partai politik kalau mendapatkan kekuaaan dalam pemerintahan. Akibatnya partai politik membangun komunikasi untuk menjegal calon kepala daerah tersebut.
Modus yang dilakukan partai adalah dengan cara saling menukar kursi di daerah-daerah yang mengikuti Pilkada. Dengan mengatasnamakan kepentingan koalisi di tingkat nasional, atau menjadi strategi untuk melibatkan elite partai politik di tingkat nasional untuk bergabung ke koalisi partai politik yang memerintah, upaya barter kursi DPRD hasil pemilu 2024 sejauh ini cukup berhasil. Diperkirakan cukup banyak daerah di Indonesia yang akan melakukan Pilkada melalui kota kosong. Jika pada Pemilu Serentak Tahun 2020 dengan 270 daerah kabupaten/kota yang melakukan Pilkada, sebanyak 25 pasang calon kepala daerah menghadapi kotak kosong.
Melalui koalisi yang oportunis yang dilakukan, elite partai politik di tingkat daerah dan pusat memiliki tujuan yang sangat bertentangan dengan semangat demokrasi yang dilaksanakan. Dengan menyatukan kursi yang mereka dapatkan dalam wujud koalisi besar, partai politik ini tidak menyisakan satu kursi pun bagi kandidat lain yang sebenarnya dapat menjadi alternatif dipilih oleh masyarakat menjadi kepala daerah. Inilah kemunduran nyata dalam demokrasi di Indonesia saat ini. Terlalu jauhnya partai politik mengendalikan pilihan masyarakat dalam menentukan siapa kepala daerah yang boleh menjabat, jelas bertentangan dengan prinsip pemilu yang bebas, jujur dan adil.
Kondisi ini hampir ditemukan di setiap daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Perbedaannya hanya pada variasi koalisi yang mereka bangun. Tidak ada lagi idelisme partai politik dalam memperjuangkan kepentingan publik dalam menentukan siapa kepala daerah yang layak diajukan sebagai calon pemimpin masyarakat. Justru yang terlihat partai politik gagal melakukan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan melalui pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara bebas, jujur dan adil. Kalau tujuan ini tidak dapat diwujudkan, lalu untuk apa ada Pilkada langsung yang melibatkan masyarakat!
Logika Aneh!
Logika melawan kota kosong ini jelas aneh dalam upaya mengonsolidasikan demokrasi. Alih-alih memperkuat demokrasi prosedural melalui pelaksanaan Pilkada, elite partai politik justru mengendalikan pilihan masyarakat kepada calon yang merek ainginkan. Bagaimana mungkin partai politik yang merupakan infrastruktur politik dalam sistem demokrasi meniadakan kontestasi politik. Padahal nilai demokrasi prosedural tersebut ada pada kontestasi politik.
Jika partai politik bisa menghadirkan banyak calon, paling tidak mendorong masyarakat untuk berpikir rasional membandingkan siapa calon kepala daerah yang akan mereka pilih. Kalaupun tidak muncul banyak nama dalam pilihan masyarakat yang tertuangkan pasangan calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat, paling tidak ada dua pasangan calon kepala daerah yang berkontestasi dalam Pilkada.
Di sinilah makna partisipasi dan kontestasi dalam praktik demokrasi prodeural tersebut diwujudkan. Lazimnya, jika dalam Pilkada ini muncul banyak pasangan calon kepala daerahyang berkontestasi menjadi calon pemimpin mereka, maka partisipasi memilih masyarakat akan meningkat. Sebab, secara naluriah mereka tentu akan memenangkan calon kepala daerah yang dianggap dapat mewakili kepentingan mereka.
Baca juga: Poros Utama Pilwako Padang
Anehnya lagi, elite partai politik yang berkoalisi seakan-akan terpuaskan kepentingan politiknya untuk menghadirkan calon kepala daerah yang mereka dukung melawan kotak kosong. Ada keyakinan besar dalam pikiran mereka bahwa dengan hanya satu calon kepala daerah, elite partai koalisi merasakan kemenangan di tingkat awal yang membuat mereka merasa hebat dan berkuasa. Apalagi ada keyakinan dengan melawan kotak kosong sudah tentu mudah membangun argumentasi kepada masyarakat sebagai konstituennya, yaitu memilih calon kepala daerah yang mereka pilihkan agar bisa menghemat biaya Pilkada. Jika kotak kosong yang menang, maka akan ada pemilihan ulang yang merugikan masyarakat karena pelaksanaan Pilkada bersumber dari APBD untuk kepentingan publik. Sungguh sangat "membodohkan."
Lalu, bagaimana menggambarkan demokrasi elektoral dengan fenomena calon tunggal yang sengaja di rekayasa ini?
Patut direnungkan apa yang dikemukakan Andreas Schedler dalam tulisannya ‘Elections Without Democracy: The Menu of Manipulation’ (2002:36): "Mereka menghasilkan rezim yang mengadakan pemilu dan menoleransi beberapa pluralisme dan persaingan antarpartai, tetapi pada saat yang sama melanggar norma demokratis minimal dengan sangat parah dan sistematis sehingga tidak masuk akal untuk mengklasifikasikan mereka sebagai demokrasi, bagaimanapun terbatasnya. Rezim elektoral ini bukanlah representasi dari bentuk demokrasi yang terbatas, cacat, atau terdistorsi. Mereka adalah contoh dari pemerintahan otoriter."
[*]
Penulis: Asrinaldi A, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand)