Jakarta, Padangkita.com - Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan meyakini beleid revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran akan lebih sempurna dengan keterlibatan publik.
"Saya kira masukan masyarakat sangat penting, proaktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan revisi UU Penyiaran," kata Farhan dalam keterangannya, di Jakarta, Minggu (26/5/2024).
Menurut Farhan, revisi UU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform terestrial versus jurnalisme platform digital. Pada beleid revisi UU tersebut terdapat peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Ini kan, lagi perang ini. Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf UU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran terestrial," ucap Politisi Fraksi Partai NasDem ini.
Wakil rakyat dari Dapil Jawa Barat I (Kota Bandung - Kota Cimahi) ini juga menuturkan terestrial dimaknai penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti halnya penyiaran analog. Namun, dengan format konten yang digital.
"Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform ini, kan makin lama makin menjamur, enggak bisa dikontrol juga sama Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran ini,” ujarnya.
Tetapi KPI ataupun Dewan Pers, lanjut Farhan, tidak punya kewenangan terhadap platform digital. Ketika lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital dan mendaftarkan ke Dewan Pers, maka itu menjadi kewenangan Dewan Pers.
Dia menambahkan risiko apabila lembaga tersebut membuat produk jurnalistik di platform digital dan tidak mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Pada tahap ini, Dewan Pers tak punya kewenangan atas lembaga tersebut.
"Risikonya apa? Kalau sampai dia dituntut oleh misalkan saya dijelekkan oleh lembaga berita ini, saya nuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindungi dia karena tidak terdaftar di Dewan Pers, kira-kira begitu," kata Farhan.
Baca juga: Angkat Suara soal Revisi UU Penyiaran, Muhaimin: Harus Tampung Aspirasi Masyarakat-Insan Media
Draf revisi UU tentang Penyiaran hingga kini masih menuai kontroversi. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS (Standar Isi Siaran) memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi..
[*/rjl]
*) BACA informasi pilihan lainnya dari Padangkita di Google News