Berdasarkan penelitiannya, dari dua pola bertutur di muka bumi yakni bertutur langsung dan bertutur tidak langsung, Oktavianus menilai sekitar 70-80 persen etnis Minang memakai bertutur tidak langsung.
Bertutur tidak langsung termanifestasi dalam bentuk kias, silat lidah; yang dimaksud A yang disampaikan B. Ini menurutnya, mengasah kedalaman dan ketajaman berpikir, pandai ngomong, dan pintar berkelit.
“Sesuatu tidak disampaikan secara langsung tapi dimetaforakan. Maka harus berikir keras untuk memahaminya,” kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ini beberapa waktu lalu.
Di lepau, ilmu dan wawasan saling tambal sulam. Tiap personal yang duduk, tak terkecuali kadang juga pejabat, memiliki pengetahuan yang berbeda dan juga terbatas. Apalagi topik tidak ditentukan, justru semuanya diterima untuk kemudian diperbincangkan.
Penelitiannya juga menemukan, bertutur tidak langsung masih hidup ditengah masyarakat komunal, hidup dalam keluarga inti di nagari-nagari Minangkabau. Sementara, pemuda yang tinggal di kota sudah menerapkan bertutur langsung.
Akan tetapi bahasa kias diganti dengan bahasa benda modern. Seperti bolak-balik dikatakan setrika. Dan juga mengganti dalam bentuk bahasa prokem dan alay.
“Secara filosofi, orang Minang itu meninggikan harkat martabat manusia dalam bertutur,” tukasnya.
Sementara Mak Katik melihat, silat lidah adalah uji kehebatan berkata. Silat lidah, argumentasinya bisa tidak benar. Sementara silat kata, tidak pernah lepas persoalannya dalam fokus Minangkabau.
“Di kedai (lepau), awal mula suatu hal dibicarakan. Jika tidak selesai, nanti diselesaikan di surau. Awal mula persoalan di surau, bisa ketemu di lepau. Saya dapat menjelaskan secara fasih adat Minangkabau seluruhnya di surau,” imbuhnya.
Namun hasil penelitian yang dikemukan Oktavianus, dimana bertutur tidak langsung mulai terkikis menjadi kekhawatiran juga bagi Mak Katik.
Ia melihat sangat penting bahasa Minang diajarkan ke anak sedari kecil. Sebab bahasa Minang penuh metafora dan nilai-nilai, yang penting untuk menjadi pelekat dalam badan dan jiwa saat menanjak tumbuh.
Tapi apakah perlu surau arti fisik atau sesungguhnya? Mak Katik mengatakan, tidak suraunya secara fisik yang dipertahankan, tapi model pendidikannya yang dipertahankan.
Andai bertutur teratur atau pun tidak teratur tetap dibiasakan dalam bentuk metafora atau kias, maka Minang tentunya tetap menjaga tradisi; menelurkan diplomat handal, dan saudagar yang pintar dalam mengolah kata-kata menjadi pangkal laba.