Padangkita.com - Awal Republik berdiri tegak, pengakuan dari bangsa lain hal yang krusial. Untuk merengkuhnya perlu jembatan diplomasi. Memastikannya, perlu orang yang bisa meyakinkan.
Suasana ketika Republik baru seumur jagung, Belanda masih merasa bahwa Indonesia adalah bagian mereka. Sehingga peran ‘mereka’ yang berdiplomasi sangatlah penting melanjutkan nafas Republik.
Sederet para diplomat di masa awal Republik, mungkin bisa dikemukakan nama-nama sebagai berikut; Agus Salim, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjarir.
Mereka pantas kiranya disebut penancap tiang diplomasi Indonesia.
Nama-nama tersebut mungkin tidak asing bagi kita, dan tentu saja orang Minang. Mereka dilahirkan dari rahim Minangkabau.
Peran orang Minang sebagai pendulum diplomasi Indonesia tidak berhenti pada nama di atas. Berikutnya muncul nama-nama seperti Moh. Rasjid, Hasjim Djalal, Boer Mauna, Alwis Azizat Moerad, Misma, Zubir Amin.
Hasjim Djalal misalnya, ia gigih menyuarakan dan mempertahankan Deklarasi Juanda di pentas internasional, sehingga luas Indonesia yang semula 2 juta kilometer persegi, menjadi 5,8 juta kilometer persegi dengan pulau-pulau menjadi suatu yang utuh.
Mengapa orang Minang di awal Republik sangat mendominasi urusan diplomasi Republik?
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla suatu siang di Universitas Negeri Padang (UNP) tempo hari mengatakan, orang Minang karena kecakapan berbicara mendominasi pos diplomat hingga beberapa dekade lalu.
Ibarat bunga di sebuah pohon. Rontok dan kemudian tumbuh lagi, pos diplomat NKRI beberapa waktu lalu masih ada darah-darah Minang yang mengisi. Misalnya saja Dino Patti Djalal yang menjabat sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kepiawaian orang Minang dengan modal kata-kata juga terpatri pada aktivitas niaga. Lini pasar tradisional, orang Minang masih mendominasi untuk tidak mengatakan menghegemoni.
Di sana, sorak-sorai menjadi bumbu untuk menarik pembeli. Kepintaran obral kata, menjadi magnet untuk dagangan menjadi laris manis.
Mengolah kata-kata sejatinya bukanlah ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah atau pun kuliah. Secara kultur berhulu dari surau dan lepau.
Diplomat yang lahir dari rahim Minangkabau, sedikit banyaknya bersentuhan dari inkubator bernama surau dan lapau. Dua kutub unsur berdirinya sebuah nagari ini memainkan peran dalam menjaga Minang sebagai etnis oral, penuh wacana kata-kata, dan dialektika dalam bentuk mengasah hingga menjadi tajam.
Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal mengatakan, kepiawaian orang Minang dalam mengolah kata-kata bermula dari surau. Sebab, di surau pidato adat diajarkan, selain mengaji dan bersilat tentunya.
Mula-mula secarik kertas diberikan ke masing-masing pembelajar, lalu mereka disuruh menghafal, dan selanjutnya diberi kesempatan unjuk gigi; dalam dirkusus adat dan dialektika isu teraktual terkadang.
“Silat kata adalah anatomi pidato (batang tubuh pidato). Kalau tidak paham dengan batang tubuh pidato, maka kadang pidato tidak masuk akal, dan menjemukan. Kata kunci silat kata adalah alur terukur dan runut,” jelas pria yang biasa disapa Mak Katik ini.
Silat kata berbeda dengan silat lidah, dalam makna yang lebih spesifik. Silat katanya memiliki makna positif. Dipakai oleh niniak mamak (pimpinan kaum atau suku) dalam dialog adat atau retorika dihadapan kaumnya, dan bertutur ke kemenakan.
Mak Katik memberi kias silat kata dalam dialek Minang, basilek diujung lidah, malangkah ka pangka karih, maniti di mato pedang). Artinya, awal sebuah persoalan, sebelum keris dicabut, dan pedang dihunuskan, bersilat kata-kata terlebih dahulu.
“Bersilat diujung lidah dulu, baca persoalan. Disana ditimbang kaji buruknya, kalau ndak ya diadu runcingnya pedang dan tajamnya keris,” imbuhnya.
Biasanya sebuah persoalan lebih terselesai dengan kata-kata ketimbang senjata. Maka hura-hara konflik fisik di Minang lebih minim dibanding etnis lain semacam Bugis.
Silek kato (penyebutan silat kata dalam dialek Minang) dalam persoalan adat dikenal dengan petatah petitih atau bakola. Dalam petatah petitih, konflik sengaja dirawat, dengan maksud dikemukan, dikaji, diperdebatkan, hingga akhirnya melahirkan sebuah rumusan yang disepakati bersama.
Misalnya saja dalam sebuah kenduri atau pesta perkawinan. Para niniak mamak, baik dari mempelai laki-laki, maupun mempelai wanita, akan adu urat leher secara bergantian dalam bahasa kias dan sartir yang bias menujam perasaan dan menelanjangi segala poko persoalan yang dirasa.
Alhasil, debat dalam tatanan silat kata menjadi olah lidah dan mulut yang bisa dikatakan lebih tajam dibanding belati sekalipun.
Kebiasan-kebiasan ini juga terpatri di lepau atau kedai kopi. Di sini, suatu istilah yang dinamakan silat lidah mendapat tempatnya.
Dialektika tak beraturan tanpa moderator yang terlegitimasi, termanifestasi dalam riak-riak seperti debat kusir.
Silat lidah di lepau mengunyah beragam isu dan persoalan, lalu dimuntahkan dalam riak-riak kata dengan ujung pangkal yang kadang tidak pasti.
Mereka berebut bicara dari perspektif adat, ekonomi, agama, politik, social, yang terkadang dengan bahasa-bahasa yang kerap dipakai oleh praktisi sekali pun.
Tak mengherankan bila cerita berkembang dan terhipnotis dalam ruang yang lebih luar; seperti berkeliling dunia. Cerita di sudut pedalaman Padang Pariaman, tiba-tiba juga membicarakan persoalan yang terjadi di Jakarta, lalu melompat pada pertandingan piala dunia atau pun konflik di Timur Tengah.
Bukan hanya ‘gosip’ seputar kampung, tapi juga menjadi khazanah mencari pekerja untuk ke sawah, bertukang, atau yang bisa memanjat kelapa esok hari. Semua terakumulasi dalam bahasa tutur yang tidak jarang sartir dan mengiris-iris perasaan.
Silat lidah juga berkecamuk disaat memainkan batu domino, kartu remi dan bakoa. Sekali-sekali penjaga lepau juga terseret atau meleburkan diri dalam arus debat.
M Nasruddin Anshoriy Ch dan Djunaidi Tjakrawerdaya dalam buku Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional, terbitan 2008 pernah menyinggung, budaya Minang yang melahirkan tradisi petatah-petitih umumnya tidak hanya bernilai seni retorika, tetapi juga latihan berpikir dan pengakumulasian pengetahuan lokal yang unik.
Sebab itu, di Minang, mulut dan lidah menjadi amat berharga, tidak hanya berfungsi sekadar indra pengecap selera masakan -yang membuat berkembangnya aneka makanan khas Minang- melainkan lebih luas lagi, yaitu sebagai sebuah lembaga pemikiran.
“Di lepau, hampir semua bidang, mulai dari sosial, agama, politik, ekonomi menjadi tema-tema yang dipecahkan dalam frame berpikir yang berbeda-beda dalam konteks intelektualitas,” ujar tokoh masyarakat Padang Sago, Padang Pariaman, Bustami Tanjung.
Kebiasaan duduk di lepau seringkali dicap buruk. Betul bila dinilai intensitas yang teramat sering. Seorang petani di kampung-kampung, kadang menghabiskan sepertiga hari untuk duduk di lepau.
Minum pagi di lepau, jelang matahari di ubun-ubun ngopi dulu di lepau, sore sehabis ke sawah singgah di lepau, dan malam sehabis magrib juga langsung duduk di palanta lepau.
Pola-pola demikian hampir terjadi di seantero Minang, mulai dari darek (pedalaman Minangkabau), hingga pesisir seperti Pariaman.
Namun, lepau bukan sebuah ruang untuk bermalas-malasan. Di sini, misalnya petani tadi, bukan hanya tahu tentang cangkul, tanam benih, dan bajak, tapi juga membuka jalur pedalaman kepalanya untuk hanyut dalam cerita-cerita yang terhempas di lepau saat itu.
Ruang debat di lepau bisa dikatakan perwujudan bertutur tidak teratur yang dibungkus metafora. Dengan ini dahi akan berkerut memaksa otak berpikir untuk menumpahkan komentar atau malah sebaliknya, menjadi sebuah hal yang disimpan di kepala untuk terus dipikirkan.
Peneliti kias pribahasa minang Oktavianus mengatakan, lepau merupakan arena latihan bertutur dan debat yang sangat bagus. Di sana ruang mengomentari dan bicara dibuka seluas-luasnya.
Apalagi, kata-kata metafora yang dilepaskan, menjadi sebuah telaah yang begitu mendalam secara makna.
Berdasarkan penelitiannya, dari dua pola bertutur di muka bumi yakni bertutur langsung dan bertutur tidak langsung, Oktavianus menilai sekitar 70-80 persen etnis Minang memakai bertutur tidak langsung.
Bertutur tidak langsung termanifestasi dalam bentuk kias, silat lidah; yang dimaksud A yang disampaikan B. Ini menurutnya, mengasah kedalaman dan ketajaman berpikir, pandai ngomong, dan pintar berkelit.
“Sesuatu tidak disampaikan secara langsung tapi dimetaforakan. Maka harus berikir keras untuk memahaminya,” kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ini beberapa waktu lalu.
Di lepau, ilmu dan wawasan saling tambal sulam. Tiap personal yang duduk, tak terkecuali kadang juga pejabat, memiliki pengetahuan yang berbeda dan juga terbatas. Apalagi topik tidak ditentukan, justru semuanya diterima untuk kemudian diperbincangkan.
Penelitiannya juga menemukan, bertutur tidak langsung masih hidup ditengah masyarakat komunal, hidup dalam keluarga inti di nagari-nagari Minangkabau. Sementara, pemuda yang tinggal di kota sudah menerapkan bertutur langsung.
Akan tetapi bahasa kias diganti dengan bahasa benda modern. Seperti bolak-balik dikatakan setrika. Dan juga mengganti dalam bentuk bahasa prokem dan alay.
“Secara filosofi, orang Minang itu meninggikan harkat martabat manusia dalam bertutur,” tukasnya.
Sementara Mak Katik melihat, silat lidah adalah uji kehebatan berkata. Silat lidah, argumentasinya bisa tidak benar. Sementara silat kata, tidak pernah lepas persoalannya dalam fokus Minangkabau.
“Di kedai (lepau), awal mula suatu hal dibicarakan. Jika tidak selesai, nanti diselesaikan di surau. Awal mula persoalan di surau, bisa ketemu di lepau. Saya dapat menjelaskan secara fasih adat Minangkabau seluruhnya di surau,” imbuhnya.
Namun hasil penelitian yang dikemukan Oktavianus, dimana bertutur tidak langsung mulai terkikis menjadi kekhawatiran juga bagi Mak Katik.
Ia melihat sangat penting bahasa Minang diajarkan ke anak sedari kecil. Sebab bahasa Minang penuh metafora dan nilai-nilai, yang penting untuk menjadi pelekat dalam badan dan jiwa saat menanjak tumbuh.
Tapi apakah perlu surau arti fisik atau sesungguhnya? Mak Katik mengatakan, tidak suraunya secara fisik yang dipertahankan, tapi model pendidikannya yang dipertahankan.
Andai bertutur teratur atau pun tidak teratur tetap dibiasakan dalam bentuk metafora atau kias, maka Minang tentunya tetap menjaga tradisi; menelurkan diplomat handal, dan saudagar yang pintar dalam mengolah kata-kata menjadi pangkal laba.