
Proses masuknya Islam ke Nusantara (Foto: http://1.bp.blogspot.com/)
Di belahan selatan Minangkabau, mengalir Sungai Batanghari yang berhulu di Solok dan Solok Selatan, dan melintasi banyak kabupaten sebelum melebur ke perairan Selat Malaka.
“Sungai-sungai itu dapat dilayari. Bahkan, dapat dilewati kapal ke dataran tinggi seperti Mahat,” tukas Yusuf.
Sementara itu, seperti yang ditulis Azra, konversi Islam di pedalaman semakin menjadi di abad ke-13. Aktor sentralnya adalah para sufi dengan metode tarekat.
Metode ini, jelas Yusuf juga, bersifat adaptif, dimana Islam secara ibadah dan ritual tidak lantas meninggalkan kepercayaan lama merangkul bukan memerangi. Tetap memakai pola sama, bahkan jejaknya terlihat hingga sekarang.
Salah satu misalnya, memakai medium kemenyam untuk berdoa. Dan juga ditemukannya kerajinan seperti membuat keramik dan tembikar. Tembikar merupakan salah satu medium dalam ritual agama Hindhu.
Lalu bagaimana dengan Ulakan di pantai barat Sumatera_ tepian Samudera Hindia, yang seakan-akan menjadi ‘kota suci’ Islam di Ranah Minang? Yusuf mengatakan, Ulakan tidak lebih dari sebuah kampung yang menjadi pusat pengembangan Islam tersistematis melalui sistem halaqah dan surau.
Adalah Burhanuddin alias Pono dan diberi gelar Syekh yang menjadikan Ulakan sebagai pusat pengembangan Islam dengan mazhab Tarekat Syattariyah.
Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir awal abad ke-17 di Batipuh, Tanah Datar. Burhanuddin, kata Yusuf, semasa kecil menghabiskan waktu di kampung, dimana ia telah belajar mengaji dan belajar agama disalah satu surau yang ada.
Lalu, tambah Yusuf, Pono remaja pergi ke Sintuak, Pariaman, mendalami ilmu agama. Kemudian ia pergi ke Singkil, dimana disana bercokol ulama Syattariyah terkenal, Syekh Abdurrauf- Singkil.
“Logika Pono kecil dimana mengaji di Batipuh. Artinya Batipuh yang berada di darek sudah Islam,” ujar Yusuf yang pernah mengajar di Korea Selatan ini.