Dalam hal ini, lanjut Eka, Pemda Pessel hendaknya harus sadar tentang terjadinya kepadatan moral ini. Itu konsekwensi logis dari pembangunan itu sendiri.
Sehingga, hasil dari pembangunan itu ada yang dalam konteks prinsip pembangunan berencana seperti infrastruktur yang selama ini tertutup menjadi daerah terbuka.
Diakuinya, pengembangan pola interaksi yang ada itu telah berhasil. Tapi Pemda tidak sadar, bahwa keberhasilan pembangunan itu ada aspek yang tidak direncanakan.
Maka lahirlah di daerah itu kepadatan moral, dan dampaknya nilai-nilai agama sudah mulai tergerus. Dalam melaksanakan transisi itu Pemda harus ingat ketika apa yang dia lakukan.
Pertama mereka harus sadar, bahwa apa yang telah mereka lakukan itu membonceng dampak yang bersifat negatif.
Secara luar, ungkap Eka, selama ini Pemerintah tidak sadar akan hal itu. Mereka hanya bertepuk tangan dan tepuk dada tentang apa yang telah diciptakan.
Tapi dia (Pemda) lupa, bahwa keberhasilan itu pasti kapasitas yang tidak didukung dengan kapabilitas.
"Nah, budaya kita. Masyarakat kita kapabilitasnya belum masuk di situ. Tapi pembangunan sudah maju jauh," ujarnya.
Ketika Pemda tidak sadar tentang itu, maka membawa dampak negatif dari pembangunan itu. Dari yang dulunya keakraban, kini muncul pembagian pekerjaan.
Ia mencontohkan, seperti di Kawasan Wisata Bahari Terpadu (KWBT) Mandeh, muncul pembagian pekerjaan yang sangat signifikan. Nah, di sinilah muncul gesekkan.
"Nah, pembangunan itu kan sudah masuk dunia kapital atau persaingan bisnis. Di situ mungkin ada sebagian masyarakat yang sanggup secara ekonomi dalam pekerjaan itu," ujarnya lagi.
Artinya, kepadatan sosial yang tertutup, kini jadi terbuka sehingga mereka masih sulit menyesuaikan dengan norma yang baru.
Namun, dibalik itu Pemda tidak sadar akan hal itu. Ketika yang mereka harapkan harus diberikan. Mengatasi kepadatan moral itu harus membangun human capital (membangun kapasitas manusia).
Saat ini, orientasi pembangunan baru pada fisik, belum human kapital. Pemerintah kadang-kadang tidak mau fokus pada human capital itu.
Pemda tidak menyadari itu, Pemda hanya bangga dengan capaian pembangunan fisik semata.
Ia menilai, kemalasan Pemda dalam membahas human capital, karena tidak masuk dalam logika anggaran, itu susah diukur.
"Ya, kalau pembangunan fisik dapat diukur, tapi pembangunan human capital tidak. Pemda harus sadar dengan nilai-nilai human capital, Pemda malas melakukan hal itu," tutupnya. (PSM)