Menurut dia, dalam situasi ini sudah mutlak para pengusaha perhotelan dikategorikan tidak bisa menerima pendapatan. Pemda, kata Maulana, sebetulnya bisa membantu melalui kebijakan untuk meringankan kewajiban hotel seperti Listrik, PDAM, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta lainnya.
Ia menyayangkan, pemerintah selalu melihat bahwa aktivitas perhotelan saat ini baik-baik saja. Bahkan seperti terlihat tidak ada permasalahan. Hal tersebut terjadi akibat pandangan pemerintah yang melihat perhotelan itu hanya dari hotel bintang tiga dan empat saja. Padahal masih ada hotel bintang dua dan non-bintang.
Maulana mengungkapkan, dari data 2019, jumlah hotel berbintang di Sumbar tercatat sebanyak 82 hotel dengan 4.848 kamar, dan hotel yang tidak berbintang 828 hotel dengan 7.523 kamar.
“Hotel jangan dilihat dari sektor bintang empatnya saja, kalau kita mengambil rata-rata secara provinsi, rata-rata okupansi kita masih di rata-rata 34-35 persen. Sekarang yang selalu dilihat itu hotel bintang empat yang okupansinya mungkin pada saat itu 60-70 persen pada saat itu,” ujarnya.
Hotel bintang 4 dan 3 itu, jelas Maulana, menjual harga yang drop di bawah 30 persen sehingga menekan hotel-hotel bintang dua sampai hotel non-bintang.
“Ini harus dipahami, kalau mau lihat data ini jangan hanya hotel bintang 4 dan 3. Akhirnya datanya jadi tidak bagus, sehingga merugikan hotel-hotel yang justru di bawah itu menjadi tertekan,” ulasnya.
Ia menambahkan, kemungkinan terburuk yang dikhawatirkan pihaknya adalah terjadinya PHK massal dan penutupan usaha hotel.
Baca juga: Ini Sejumlah Penyesuaian pada PPKM Level 4 yang Berlaku 26 Juli hingga 2 Agustus
“Ini harus diperharikan pemerintah juga, serapan tenaga kerja ini. Korbannya pasti para pekerja jika hotel ini terus terdampak,” tutupnya. [mfz/pkt]