Padang, Padangkita.com – Pemerintah telah memutuskan memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat menjadi PPKM Level 3 dan Level 4, hingga 2 Agustus mendatang. Kebijakan ini membuat sektor usaha makin terpukul, terutama perhotelan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumatra Barat (Sumbar) Maulana Yusran menyatakan PPKM semakin membuat kinerja dan pendapatan hotel terpuruk.
Menurut Yusran, kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-19 tak pernah berpihak kepada para pengusaha-pengusaha hotel.
“PPKM Darurat kemarin saja sudah menurunkan occupancy rate yang cukup drastis yang masuk ke dalam single digit. Kami perkirakan persentasenya sudah mencapai 0 sampai 15 persen atau di bawah 20 persen,” ujar Maulana ketika berbincang dengan Padangkita.com melalui sambungan seluler, Senin (26/7/2021).
Maulana mengungkapkan, perhotelan di Sumbar masih terus berupaya bangkit dari keterpurukan. Berbagai langkah dilakukan agar kinerja hotel kembali berangsur pulih. Namun, lanjut dia, selagi ada pembatasan mobilitas masyarakat oleh pemerintah, sektor perhotelan tetap sulit bangkit.
Ia menjelaskan, perhotelan termasuk juga pariwisata bisa tumbuh jika bersinergi dengan sektor lain, karena saling ketergantungan. Salah satu contoh, kata dia, perhotelan sangat tergantung pada sektor pehubungan atau transportasi, yakni jalur darat, laut, dan juga udara.
Jika salah satu jalur saja ditutup, kata Maulana, maka dampaknya langsung signifikan pada hotel.
“Kalau hotel, umumnya yang jadi konsumen itu adalah pendatang dari luar. Kemudian, yang mengisi kamar itu juga orang yang mengadakan kegiatan di ballroom, seperti meeting, pesta pernikahan, seminar, wisuda, dan lainnya. Nah, sekarang itu yang dibatasi,” ujar Maulana yang juga Sekjen PHRI pusat.
Lebih jauh ia menyebutkan, anjloknya pendapatan hotel di Sumbar, bisa dilihat dari jumlah penerbangan di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
“Salah contoh kurangnya pendapatan itu bisa dilihat dari penerbangan ke Sumbar. Sebelumnya kan banyak, sekarang cuma ada enam, tujuh, paling banyak 10 penerbangan yang masuk Padang. Satu pesawat itu 150 minimal penumpang biasanya kan, sekarang tidak lagi. Potensi kehilangan konsumennya sudah bisa dilihat di sana,” terangnya.
Berkurangnya orang ke Sumbar, kata Maulana, secara otomatis hunian kamar pun menurun drastis. Tidak ada kegiatan yang digelar di ballroom, okupansi hotel langsung turun.
“Salah satu pendapatan utama hotel itu kini kan event, salah satunya penggunaan ballroom. Kalau ballroom itu tidak beraktivitas, okupansi itu akan terus tertekan. Kemudian, sekarang kan terjadi perpanjangan PPKM di Kota Padang. Kami lihat ini kurang bagus, karena apapun yang dibuatkan kriterianya jika ada pembatasan maka akan sama saja,” tuturnya.
Maulana membandingkan, kebijakan pemerintah terkesan hanya membatasai kegiatan pada sektor usaha, sementara pada sektor informal lainnya, terutama kegiatan masyarakat tidak terlalu dibatasi. Padahal, kegiatan perhotelan lebih mudah dikontrol dan diawasi ketimbang sektor informal tersebut.
“Sekrang dilakukan pelonggaran, otomatis bagaimana pengawasan terhadap prokesnya. Justru kegiatan hotel yang mudah dikontrol dan diawasi, dan sudah menerapkan sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability) atau Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian justru paling dulu terkena dampaknya karena tidak boleh beraktivitas,” terangnya.
“Pertanyaanya, apakah nanti akan restart setelah (PPKM) ini semua bisa diaktifkan kembali,” ulasnya.
Tidak Ada Kompensasi dari Pemerintah
Di tengah banyaknya kebijakan yang membuat hotel terpuruk, nyaris tak ada bantuan dari pemerintah yang bisa meringankan beban pengusaha hotel. Pemerintah, lanjut dia, tidak memberikan kompensasi terhadap para pengusaha perhotelan.
Menurut dia, dalam situasi ini sudah mutlak para pengusaha perhotelan dikategorikan tidak bisa menerima pendapatan. Pemda, kata Maulana, sebetulnya bisa membantu melalui kebijakan untuk meringankan kewajiban hotel seperti Listrik, PDAM, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta lainnya.
Ia menyayangkan, pemerintah selalu melihat bahwa aktivitas perhotelan saat ini baik-baik saja. Bahkan seperti terlihat tidak ada permasalahan. Hal tersebut terjadi akibat pandangan pemerintah yang melihat perhotelan itu hanya dari hotel bintang tiga dan empat saja. Padahal masih ada hotel bintang dua dan non-bintang.
Maulana mengungkapkan, dari data 2019, jumlah hotel berbintang di Sumbar tercatat sebanyak 82 hotel dengan 4.848 kamar, dan hotel yang tidak berbintang 828 hotel dengan 7.523 kamar.
“Hotel jangan dilihat dari sektor bintang empatnya saja, kalau kita mengambil rata-rata secara provinsi, rata-rata okupansi kita masih di rata-rata 34-35 persen. Sekarang yang selalu dilihat itu hotel bintang empat yang okupansinya mungkin pada saat itu 60-70 persen pada saat itu,” ujarnya.
Hotel bintang 4 dan 3 itu, jelas Maulana, menjual harga yang drop di bawah 30 persen sehingga menekan hotel-hotel bintang dua sampai hotel non-bintang.
“Ini harus dipahami, kalau mau lihat data ini jangan hanya hotel bintang 4 dan 3. Akhirnya datanya jadi tidak bagus, sehingga merugikan hotel-hotel yang justru di bawah itu menjadi tertekan,” ulasnya.
Ia menambahkan, kemungkinan terburuk yang dikhawatirkan pihaknya adalah terjadinya PHK massal dan penutupan usaha hotel.
Baca juga: Ini Sejumlah Penyesuaian pada PPKM Level 4 yang Berlaku 26 Juli hingga 2 Agustus
“Ini harus diperharikan pemerintah juga, serapan tenaga kerja ini. Korbannya pasti para pekerja jika hotel ini terus terdampak,” tutupnya. [mfz/pkt]