Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun 1930.
Dia juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi. Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Pada tahun 1926, Rasuna Said aktif dalam organisasi Sarekat Rakyat yang berafiliasi dengan komunis, yang dibubarkan setelah pemberontakan komunis yang gagal di Sumatera Barat pada tahun 1927.
Tahun berikutnya, ia menjadi anggota Partai Sarekat Islam, naik ke posisi kepemimpinan cabang Maninjau. Setelah berdiri pada tahun 1930, ia bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (Permi), sebuah organisasi berbasis Islam dan nasionalisme.
Tahun berikutnya, Rasuna yang kembali mengajar di Padang Panjang, meninggalkan pekerjaannya setelah berselisih dengan pemimpinnya karena Rasuna telah mengajar murid-muridnya tentang perlunya tindakan politik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, dan pindah ke Padang, di mana pimpinan Permi bermarkas. Di sana, dia mendirikan sekolah untuk anak perempuan.
Rasuna Said juga merupakan seorang tokoh pers. Dia dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat.
Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatra Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat koran mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu".
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok".
Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional."
Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatra Barat.
Baca Juga: Di Hari Pahlawan, Monumen 15 Pahlawan Nasional Sumbar Diresmikan
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. [isr]
*) BACA informasi pilihan lainnya dari Padangkita di Google News