Padang, Padangkita.com - Hari ini, Rabu (14/9/2022) situs pencarian populer Google mengenang hari lahir tahun tokoh pers perempuan asal Ranah Minang (Sumbar), Rasuna Said.
Hal tersebut dapat dilihat di Google Doodle hari ini yang memakai ilustrasi Rasuna Said sebagai apresiasi atas perayaan hari ulang tahun Rasuna yang ke-112.
Diketahui, pemilik nama lengkap Hj. Rangkayo Rasuna Said merupakan salah satu pahlawan nasional ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada masa penjajahan.
Dilansir dari Wikipedia, Rasuna Said lahir pada 14 September tahun 1910 silam di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumbar. Dia tutup usia pada 2 November 1965 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Rasuna Said merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.
Sama halnya seperti Kartini, semasa hidupnya Rasuna Said juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita.
Tidak seperti saudara-saudaranya, dia bersekolah di sekolah agama, bukan sekuler, dan kemudian pindah ke Padang Panjang, di mana dia bersekolah di Diniyah School, yang menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran khusus.
Pada tahun 1923, ia menjadi asisten guru di Sekolah Diniyah Putri yang baru didirikan, tetapi kembali ke kampung halamannya tiga tahun kemudian setelah sekolah itu hancur karena gempa. Dia kemudian belajar selama dua tahun di sekolah yang terkait dengan aktivisme politik dan agama, dan menghadiri pidato yang diberikan oleh direktur sekolah tentang nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.
Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah. Saat itu, ia merupakan satu-satunya santri perempuan. Ia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani.
Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatra Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-Islam Turki, Mustafa Kemal Atatürk.
Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik.
Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak. Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said.
Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun 1930.
Dia juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi. Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Pada tahun 1926, Rasuna Said aktif dalam organisasi Sarekat Rakyat yang berafiliasi dengan komunis, yang dibubarkan setelah pemberontakan komunis yang gagal di Sumatera Barat pada tahun 1927.
Tahun berikutnya, ia menjadi anggota Partai Sarekat Islam, naik ke posisi kepemimpinan cabang Maninjau. Setelah berdiri pada tahun 1930, ia bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (Permi), sebuah organisasi berbasis Islam dan nasionalisme.
Tahun berikutnya, Rasuna yang kembali mengajar di Padang Panjang, meninggalkan pekerjaannya setelah berselisih dengan pemimpinnya karena Rasuna telah mengajar murid-muridnya tentang perlunya tindakan politik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, dan pindah ke Padang, di mana pimpinan Permi bermarkas. Di sana, dia mendirikan sekolah untuk anak perempuan.
Rasuna Said juga merupakan seorang tokoh pers. Dia dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat.
Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatra Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat koran mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu".
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok".
Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional."
Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatra Barat.
Baca Juga: Di Hari Pahlawan, Monumen 15 Pahlawan Nasional Sumbar Diresmikan
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. [isr]
*) BACA informasi pilihan lainnya dari Padangkita di Google News