Fenomena Kemiskinan di Ranah Minang

Fenomena Kemiskinan di Ranah Minang

Dr. Israr Iskandar, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand). [Foto: Dok.Pribadi]

TAHUN politik yang sangat padat peristiwa, jika tidak disikapi dengan kritis, bisa membuat persoalan riil rakyat, khususnya di lapis terbawah, menjadi tidak terperhatikan dengan serius. Pesta demokrasi, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 ini, bahkan seolah tidak menyentuh persoalan yang sudah nyata-nyata di depan mata.

Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan di daerah-daerah, termasuk Sumatera Barat (Sumbar). Ternyata dalam setahun terakhir, angka kemiskinan di daerah ini naik sebesar 5,36 ribu orang. Jika tahun lalu jumlah orang miskin di Sumatera Barat sebanyak 340,37 ribu, maka pada tahun ini naik menjadi 345,73 ribu orang (5,97 persen) (sumbar.bps.go.id).

Namun pada tahun ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat  justru mendapatkan penghargaaan dari pusat yakni sebagai daerah yang mampu mengurangi angka kemiskinan ekstrem. Penghargaan dimaksud berupa insentif fiskal yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemprov, karena dinilai berprestasi dalam upaya penghapusan kemiskinan ekstrem di wilayahnya (padangkita.com)

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi di mana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup. Selain ukuran moneter, warga tergolong miskin ekstrem juga ditandai beberapa ciri, di antaranya rendahnya pendidikan, minimnya akses kesehatan, dan tidak tersedianya infrastruktur dasar yang memadai (Efendy, 2023).

Memang kalau ditengok kondisi di daerah kita belakangan ini, data  yang diungkap BPS tersebut tentu bisa ‘dipahami’. Kalau kita tukikkan penglihatan mata ke lingkungan sekitar, kita akan menyaksikan pemandangan yang mengabarkan gejala kemiskinan yang amat serius. Sepertinya target pemerintah untuk mencapai zero persen angka kemiskinan ekstrem pada akhir 2024 ini, termasuk di Sumatera Barat, tidak akan terwujud.

Betapa makin banyak saja rasanya anggota masyarakat, termasuk dalam kategori anak-anak,  yang mencari nafkah dengan menadahkan tangan di sekitar lampu merah, pasar, tempat-tempat makan, depan pintu rumah ibadah dan lainnya. Belum lagi mereka yang datang langsung ke rumah-rumah penduduk antara lain  mengatasnamakan  permohonan santunan untuk anak yatim, panti asuhan, fakir miskin, dan lainnya. 

Peristiwa-peristiwa kriminalitas, termasuk yang menyita perhatian publik, untuk sebagian besar juga mewartakan fenomena kemiskinan yang menyesakkan dada.

Gambaran kehidupan Nia Kurnia, korban rudapaksa dan pembunuhan baru-baru ini tidak hanya mewartakan tindak pidana keji yang dilakukan seorang residivis, tetapi (dalam batas tertentu) juga mengungkap kisah seorang gadis desa tipikal pekerja keras (sejak masa kecilnya) untuk membantu bahkan menopang ekonomi keluarga.

Struktural dan kultural 

Secara akademis, kemiskinan biasanya tak hanya dilihat sebagai masalah struktural, tapi juga  kultural. Struktural jelas terkait masalah sistem (sosial, ekonomi, politik) yang menyebabkan orang miskin tetap miskin atau orang yang tadinya tidak atau mendekati miskin menjadi miskin, bahkan miskin ekstrem.

Kebijakan pembangunan yang cenderung berpihak pada kelas menengah dan atas, misalnya, menyebabkan orang kecil tidak pernah naik kelas. Orang miskin secara agregat akan tetap miskin karena tidak mendapatkan akses modal, pendidikan yang layak dan pengetahuan yang memungkinkannya naik kelas.

Dengan demikian, menyoal kemiskinan sebagai tantangan struktural sekaligus juga dapat mengungkap kendala atau tantangan ‘kultural’. Kebiasaan-kebiasaan tertentu pada masyarakat, termasuk pada tingkat akar rumput, umpamanya, dianggap bisa membuat mereka terus dibelit kemiskinan. Dalam konteks inilah persoalan kemiskinan seperti lingkaran setan. 

Beberapa tahun lalu, ada seorang bupati di daerah ini menganjurkan warganya mengurangi tradisi berburu babi dan kebiasaan merokok yang dianggapnya turut menyumbang kemiskinan. Kebiasaan berburu babi dua atau bahkan tiga kali dalam sepekan, misalnya, tidak hanya harus memperberat beban ekonomi keluarga (biaya berburu, termasuk biaya kehidupan seekor atau beberapa ekor anjingnya), tetapi juga telah mendistraksi waktu-waktu produktif pria dewasa. Namun anjuran itu tidak mangkus dan kegemaran ‘sosial budaya’ ini bisa berkelanjutan secara mantab sampai sekarang. 

Selain itu, konsumsi rokok yang terus meningkat tidak hanya menyedot secara signifikan dana masyarakat, termasuk di lapis bawah, tetapi juga memberikan keuntungan amat besar bagi pengusaha rokok. Menurut data profil kemiskinan dirilis BPS, seperti pada tahun 2023, konsumsi rokok bahkan menjadi penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua setelah beras.

Kemiskinan di Ranah Minang dan Indonesia pada umumnya tentu bukan persoalan baru. Di masa Orde Baru, misalnya, kondisinya tak kalah parah juga. Berbagai upaya eradikasi kemiskinan dilakukan pada zamannya, dengan (khususnya) terus memperbaiki akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan bagi warga miskin, tetapi kesusahan hidup secara ekonomi tetap menghinggapi banyak warga masyarakat. Namun di era otonomi daerah dan bahkan ketika program ‘babaliak ka nagari’ (otonomi desa)  diteguhkan dan berbagai program relevan diluncurkan, keadaan umum ini seperti tak kunjung membaik.  

Kemiskinan yang masih membelit di Ranah Minang di tengah upaya menyongsong masa depan tentu terkesan paradoks. Tidak hanya karena daerah ini dulu pernah mengklaim sebagai pusat 'industri otak' dan masyarakatnya yang notabene menjunjung tinggi adat (matrilineal) dan agama, tetapi juga karena Sumatera Barat akan menghadapi tantangan bonus demografi. 

Kalau masalah ini tidak diatasi dengan sistematis dan bahkan jika tidak pula menjadi perhatian serius calon-calon kepala daerah, termasuk para petahana yang maju lagi dalam kontestasi politik lokal sekarang ini, bisa-bisa (masyarakat) daerah ini makin ketinggalan kereta nantinya.

Baca juga: Dinilai Berhasil Hapus Kemiskinan Ekstrem, Pemprov Sumbar Dapat Insentif Fiskal

Termasuk juga di sini adalah tuntutan atas peran yang lebih tepat bagi para pemimpin informal (tigo tungku sajarangan) di ranah dan sumbangsih kontekstual kalangan diaspora Minang.

[*]

Penulis: Israr Iskandar, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unibersitas Andalas (Unand)

Baca Juga

Bersama Membangun Sumbar, Kadin dan Calon Gubernur Jalin Sinergi Tingkatkan Ekonomi
Bersama Membangun Sumbar, Kadin dan Calon Gubernur Jalin Sinergi Tingkatkan Ekonomi
Agam dan Pasaman Masuk Daftar Daerah Tingkat Kerawanan Tinggi di Pilkada Serentak 2024
Agam dan Pasaman Masuk Daftar Daerah Tingkat Kerawanan Tinggi di Pilkada Serentak 2024
Andre Rosiade Resmikan Penyalaan Listrik Rumah Warga Air Dingin Kabupaten Solok
Andre Rosiade Resmikan Penyalaan Listrik Rumah Warga Air Dingin Kabupaten Solok
Pemprov akan Bangun Kantor MUI Sumbar Bertingkat 5 dengan Anggaran Rp24 Miliar
Pemprov akan Bangun Kantor MUI Sumbar Bertingkat 5 dengan Anggaran Rp24 Miliar
Serius Ingin Ikut Biayai Flyover Sitinjau Lauik, Ini Pengalaman Bank Nagari di Proyek-proyek Besar
Serius Ingin Ikut Biayai Flyover Sitinjau Lauik, Ini Pengalaman Bank Nagari di Proyek-proyek Besar
Pemprov Upayakan Perbaikan Jalan Balingka – Padang Lua Menggunakan Anggaran Pusat
Pemprov Upayakan Perbaikan Jalan Balingka – Padang Lua Menggunakan Anggaran Pusat