Daripada Dimakan, Ekowisata Penyu Lebih Menjanjikan

Daripada Dimakan, Ekowisata Penyu Lebih Menjanjikan

Ilustrasi penyu. (Foto: disunting dari cover buku Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu 2016-2030), Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP)

Image Attachment

Ilustrasi penyu. (Foto: disunting dari cover buku Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu 2016-2030), Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP)

Padangkita.com – Peneliti penyu dari Universitas Bung Hatta Padang Harfiandri Damanhuri mengimbau masyarakat Kepulauan Mentawai untuk tidak lagi mengonsumsi penyu. Selain bertentangan dengan aturan undang-undang tentang perlindungan penyu, memakan penyu juga berbahaya karena dapat menyebabkan keracunan.

Hanfiandri kemudian menjelaskan alasan bahwa ekowisata penyu di Kepulauan Mentawai sangat menjanjikan. Kepulauan Mentawai, kata dia, adalah tempat strategis bagi penyu untuk bertelur di pantai dekat Samudera Hindia. Kepulauan Mentawai jadi tempat favorit bagi penyu karena memiliki pantai yang berpasir halus, bebas dari gangguan, bersih, dan sebagainya.

Dilanjutkannya, dari 124 situs pendaratan penyu yang ada di Sumbar, separuh di antaranya berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di situ-situs tersebut, ada empat jenis penyu yang mendarat, yaitu penyu hijau, penyu belimbing, penyu sisik, dan penyu lekang.

“Biarkan penyu dikembangkan berbasis wisata. Jadi kalau penyu datang, kita bisa melihat ia bertelur atau menetas. Kan nilai jual yang sangat mahal karena tidak semua tempat ada. Apalagi di sana juga ada situs pendaratan penyu belimbing,” kata Harfiandri kepada Padangkita.com akhir Februari lalu.

Kemudian, terkait punen (pesta adat) yang masih menghidangkan penyu hasil buruan oleh masyarakat setempat, ia menyarankan agar hal itu dihindari atau dikurangi. Menurutnya, penyu bisa diganti dengan hewan lain, seperti ayam ataupun babi yang banyak dipelihara oleh masyarakat Kepulauan Mentawai.

“Dengan dikembangkan (penyu) menjadi ekowisata, masyarakat bisa mendapatkan uang untuk kemudian dibelikan bahan dan makanan lainnya untuk pesta. Karena potensi tamu dari negara lain untuk datang cukup besar dan kita bisa mendapatkan uang, daripada mengonsumsinya. Apalagi populasi penyu sekarang semakin lama semakin berkurang,” terang dosen Pascasarjana UBH itu.

Sebelumnya, sekitar 104 warga dari enam suku di Desa Pasakiat, Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai dilaporkan mengalami keracunan seusai mengonsumsi penyu dalam suatu acara adat, Minggu (18/02/2018).

Akibat keracunan ini, tiga orang meninggal dunia dan 16 orang lainnya mesti mendapatkan perawatan intensif. Dua orang dirawat di puskesmas, sedangkan 14 orang dirawat di Balai Desa. Sementara itu, tiga orang meninggal dunia, yaitu dua balita dan satu orang lansia.

Saat ini 16 warga yang mendapatkan perawatan intensif sudah kembali ke rumah masing-masing dan menjalani rawat jalan.

Baca Juga

Ilmuwan Muda Ini Emosi Masakan Padang Disebut Tidak Sehat, Tunjukkan Titik Masalahnya
Ilmuwan Muda Ini Emosi Masakan Padang Disebut Tidak Sehat, Tunjukkan Titik Masalahnya
GAIA Dental Clinic di 'Spelling Bee' Jadi Momen Orang Tua dan Anak untuk Peduli Kesehatan Gigi
GAIA Dental Clinic di 'Spelling Bee' Jadi Momen Orang Tua dan Anak untuk Peduli Kesehatan Gigi
Banjir Produk Tanpa Izin Edar di Pasar Online, BBPOM Padang Gelar Aksi
Banjir Produk Tanpa Izin Edar di Pasar Online, BBPOM Padang Gelar Aksi
Perawatan Gigi dan Liburan: Ini 'Dental Clinic' di Padang yang Populer di Kalangan Wisatawan
Perawatan Gigi dan Liburan: Ini 'Dental Clinic' di Padang yang Populer di Kalangan Wisatawan
Riyono Ungkap 10 Dampak Serius Ekspor Pasir Laut, Mulai dari Ekologis hingga Konflik Sosial
Riyono Ungkap 10 Dampak Serius Ekspor Pasir Laut, Mulai dari Ekologis hingga Konflik Sosial
Launching Buku 'Green Democracy', Sultan: Semangat Wujudkan Keseimbangan
Launching Buku 'Green Democracy', Sultan: Semangat Wujudkan Keseimbangan