Di Buru, pulau buangan, Pram menulis roman sejarah tentang zaman pergerakan. Sebuah kisah tentang keluarga pada menjelang abad yang lalu sampai zaman Volksraad (Dewan Rakyat). Jadi, sebuah kisah pergerakan nasional Indonesia.
Hasilnya seperti yang kita ketahui bersama, sebuah roman empat-serangkai, Tetralogi Pulau Buru yang terkenal itu. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga hibrid-kolonial dengan Nyai Ontosoroh (seorang gundik Jawa) sebagai episentrumnya.
Rosihan (Anwar), wartawan senior dari negeri bebas, yang ikut rombongan Pangkopkamtib Soemitro ketika itu bertanya: “Kenapa tidak (tidak menulis novel) tentang pengalaman-pengalamanmu di sini, Pram?”
Pengalaman yang dimaksud Rosihan jelas, pengalaman selama menjadi tahanan politik Orde Baru.
Di sini, yang dimaksudnya, juga terang, penjara-pulau terbesar bagi kaum Komunis.
Kata Pram menjawab, dengan getir entah tidak, kalau dia tidak suka menulis tentang keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan. “Saya sudah muak dengan ini!” jawab Pram.
Keadaan yang dimaksudnya tentulah keadaannya selama di Buru, atau bisa juga keadaan-keadaan yang terjadi dengan bangsa (yang berimbas langsung kepada dirinya) setelah peristiwa di ujung September 65 itu.
Pram terbuang ke Buru bersama 30.000 tahanan politik lain yang terjaring lewat berbagai penangkapan pasca-G30S. Pasca-malam jahanam itu, malam-malam lain menjadi tidak kalah jahanamnya. Setengah juta manusia-Indonesia telah disembelih dan ditembak mati oleh manusia-Indonesia lainnya. Lebih banyak lagi manusia-Indonesia yang dipenjarakan tanpa hak-haknya sebagai manusia dengan segala perangkat kemanusiaan yang melekat padanya sejak lahir oleh kekuasaan dari manusia-Indonesia lainnya juga.
Sejarah (politik) Indonesia menyisakan jejak trauma yang panjang. Tidak saja bagi pelakunya sendiri saya kira, tetapi sayangnya juga bagi orang-orang semacam saya kini, generasi yang tidak tahu-menahu (misalnya) dengan pengalaman revolusi.
Betapa traumatiknya masa lalu dalam pandangan saya sebagai generasi baru zaman ini, apalagi bagi generasi pada masanya? Saya mendapat ‘warisan ingatan’, kalau paman saya misalnya, ditembak pemuda Komunis di kepala dan mayatnya diseret-seret di pematang. Nenek saya karena terus-menerus menangis lalu menjadi rabun. Paman saya yang lain di kemudian masa setelah Komunis amblas dari kekuasaan politiknya mencari-cari ke sudut-sudut kampung setiap anggota Komunis atau yang terhubung dengan itu untuk menaikkanya ke truk-truk tentara. Ujungnya, untuk dibunuh dengan cara yang sama—atau bahkan lebih dari itu?
Saya kira, seperti itulah juga gambaran sejarah bangsa pada konteksnya yang lebih luas. Tragedi berbalas tragedi, tragedi yang satu berlanjut dengan tragedi lain. Bagaimana seorang individu-yang-noktah-ini mengikatkan dirinya pada sebuah ruang-besar-bernama-bangsa yang dibangun dengan setengah kutukan—tragedi demi tragedi itu?
Pada akhirnya kita bisa saja mengulang kata-kata Pram, “Saya sudah muak dengan ini!”
Jika sudah begitu, kita lebih baik memilih mengingat semua sejarah itu (baik yang terhubung secara pribadi maupun yang terhubung dengan ingatan kolektif orang banyak) dengan cara lain. Cara-cara tradisional nenek-moyang kita: menciptakan kisah-kisah ‘menyenangkan’ sebagai sejarah, alih-alih menerima kenyataan yang pahit lagi traumatik.
Toh tidak setiap sejarah mesti dituliskan sebagai sejarah. Tragedi-tragedi masa lalu lebih sering digubah menjadi kubangan-kubangan metafora di tangan nenek-nenek moyang tradisional kita. Sejarah tradisional, semacam tambo dan kaba, semacam karya seni dalam pandangan modern kita kini, pada akhirnya adalah hasrat akan alternatif: mengelak dari ruang-pengap tragedi dengan menawarkan pandangan yang lebih ramah terhadap ingatan kemanusiaan dalam wujud berbeda: bisa berupa parodi, komedi, anekdot, dan alternatif lainnya yang lebih ‘ramah’.
Sebab bagaimana cara kita mengingat sesuatu yang traumatik untuk tetap mengingatnya? Sedikit sekali masyarakat manusia (entah pada simpanse atau kera, tak tahulah saya) yang akan senang hati mengingat yang traumatik dari dirinya, dari puaknya, dari bangsanya. Tapi, toh juga tidak segampang itu manusia bisa begitu saja lupa; memori, ingatan, cenderung bersifat otoriter pada pikiran masyarakat manusia (entah pada monyet atau gorila?). Di antara itulah barangkali, antara mengingat dan melupakan belaka, cara manusia bersiasat mengakrabi trauma.
Yang jelas, saya tidak ingin seperti nenek saya, menjadi rabun-buta oleh ingatannya. (*)
Deddy Arsya
Pengajar Sejarah di IAIN Bukittinggi