Corona, Kalera, dan Ingatan Orang Minangkabau tentang Wabah

Corona, Kalera, dan Ingatan Orang Minangkabau tentang Wabah

Sonia. [Dokumentasi pribadi]

Salah satu cara membahasakan kemarahan ialah dengan sumpah serapah, memaki, dan mengumpat. Dalam bahasa Minang, banyak ragam kata umpatan yang sering diucapkan untuk menyatakan kemarahan atau kekecewaan.

Kata umpatan dan makian yang beragam tersebut, misalnya, kata “anjiang” (anjing) dan “kambiang” (kambing) yang berasal dari nama hewan. Tak hanya itu, kata “karambia” yang berarti kelapa juga tak kalah sering dipakai sebagai umpatan, serta alat kelamin untuk mengungkapkan ekspresi kemarahan yang sangat.

Di antara ragam kata umpatan tersebut, kata kalera tak kalah populer dipakai untuk menyatakan kekesalan. “Sabana kalera paja tu, alah ditolong indak pandai mangecek tarimo kasih.” Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira maknanya, “Dasar kalera, sudah ditolong, tapi tidak tahu terima kasih”.

Ditilik asal usul, kata kalera berasal dari salah satu nama wabah penyakit. Dikutip dari buku “Sejarah Minangkabau, Loanwords, dan Kreativitas Berbahasa Urang Awak” yang ditulis oleh Gusti Asnan, kata kalera berasal dari choledra, yaitu kata dari bahasa Yunani Kuno yang bermakna “saluran”.

Kata choledra menjadi muasal dari kata kolera, yang berarti penyakit yang menyerang saluran pencernaan manusia. Penyakit ini berasal dari bakteri yang menyebabkan penderita mengalami diare berat, dehidrasi, dan bisa berujung pada kematian.

Di Minangkabau kata kolera dilalafalkan menjadi kalera. Dalam catatan sejarah, penyakit kolera pernah mewabah di Indonesia dan juga Minangkabau pada akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20. Pada masa itu, pengobatan belum sebaik sekarang sehingga penyakit kolera menimbulkan banyak korban jiwa.

Wabah ini menjadi ingatan penting bagi orang Minang karena diberitakan secara luas, terlebih juga disebut-sebut sebagai penyakit yang berasal dari Makkah dan India. Kata kalera menjadi kata yang paling menakutkan saat itu karena penyakit kolera mengancam keselamatan jiwa.

Dicatat Gusti Asnan, berangkat dari ketakutan terhadap penyakit ini, orang Minang menggunakan kata ini sebagai sumpah serapah saat mereka marah besar kepada seseorang yang telah mengecewakan.

Kaitannya dengan yang terjadi di dunia hari ini, pandemi Corona sedang merebak. Virus Corona atau Corona Virus Disease-19 (Covid-19) ini pertama kali merebak di Wuhan, China, pada akhir 2019.

Dilacak dari penamaannya, Corona Virus berasal dari bahasa latin “corona” dan Yunani “korone” yang bermakna mahkota atau lingkaran cahaya. Penamaan ini memang tak lepas dari wujud khas virus itu yang memiliki pinggiran permukaan yang bulat dan besar. Penampilan yang mengingatkan pada korona matahari.

Di Indonesia virus ini mulai menjangkit pada Maret 2020. Per 8 November 2020, dilaporkan 438 ribu kasus corona terjadi di Indonesia, di Sumbar 16.019 orang dilaporkan positif, serta 315 orang penduduk Sumbar meninggal dunia setelah terkonfirmasi positif Corona.

Pada masa awal pandemi merebak dan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), orang-orang merespons dengan ketakutan yang cenderung berlebihan. Bentuk respons takut di antaranya membuat masyarakat melakukan pembelian barang secara panik, membeli kebutuhan pokok secara berlebihan hingga menyebabkan beberapa toko dan mini market kehabisan stok.

Respons takut berlebihan juga tampak ketika didirikan bilik penyemprotan disinfektan yang kemudian dilarang penggunaannya oleh WHO.

Respons ketakutan akan virus Corona tidak hanya pada manusia saja, tetapi juga pada hewan. Sebuah video viral di media sosial menunjukkan ayam berlarian setelah peternak menyerukan virus Corona. Ayam-ayam tersebut kemudian masuk ke dalam kandang.

Memasuki era “new normal”, seiring dengan imbauan pemerintah untuk “berdamai” dengan virus, ketakutan tersebut kemudian berubah menjadi kejengkelan dan kekecewaan. Bagaimana tidak jengkel, wabah Corona telah meluluhlantakkan perekonomian, penurunan daya beli, banyak orang mengalami pengurangan pemasukan hingga kehilangan pekerjaan.

Banyak rencana dan ancang-ancang yang kemudian gagal karena pandemi. Orang-orang mengeluh, di pasar, di kantor, di media sosial, orang mengeluhkan hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh virus Corona.

Ndeh, dek korona ko ndak ado bajua bali." (Duh, semenjak ada Corona tidak ada jual beli). Dari pedagang barang muda hingga toko-toko besar di mal mengaduh.

Dek corona ndak bisa baralek." "Karena corona, tidak bisa berpesta," kata masyarakat menyambut imbauan Pemerintah Kota Padang untuk tidak mengadakan acara baralek menghindari penyebaran virus Corona.

Juga banyak aduh dan gaduh lainnya yang disebabkan oleh virus Corona. Berangkat dari kata kalera, mungkin suatu hari nanti kata korona menggantikan kata kalera.

Ondeh paja tu sabana kalera parangainyo” menjadi “Ondeh paja tu sabana corona parangainyo."

Kalera ang mah" menjadi "Corona ang mah."

Akankah ingatan kolektif masyarakat kita mencatat kata Corona sebagai umpatan nantinya? Tentu kita sepakat bahwa tanya ini tidak perlu dijawab sekarang. Tugas kita hari ini ialah menjaga diri agar tidak tertular virus Corona dengan menerapkan 3M, yaitu mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. (*)


Sonia
Wartawan Padangkita.com

 

 

 

Baca Juga

Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
Negeri Ini (Selalu) Butuh (Suara) Kita
Negeri Ini (Selalu) Butuh (Suara) Kita
Calon Wali Kota Padang
Calon Wali Kota Padang