Payakumbuh, Padangkita.com - Tradisi “pacu itiak” atau pacu itik di Kota Payakumbuh, kini masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Masyarakat Kota Payakumbuh, terutama yang tinggal di Nagari Aua Kuniang, Kecamatan Payakumbuh Selatan, dan Nagari Aia Tabik, Kecamatan Payakumbuh Timur, patut berbangga hati. Sebab, permainan tradisional “pacu itiak” yang mereka warisi dari generasi ke generasi, kini sudah ditetapkan Kemendikbud sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Walau saat ini pacu itiak di Payakumbuh sedang "lesu darah", bahkan sedang "mati suri" akibat adanya pandemi Covid-19. Namun, masuknya pacu itiak dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang ditetapkan Kemendikbud sejak 9 Oktober 2020, membuat Pemko Payakumbuh ikut bergembira.
Bahkan, pejabat dan staf Disparpora Payakumbuh, ramai-ramai mengirim kabar lewat media sosial, tentang tradisi “pacu itiak” yang berhasil menjadi warisan budaya Indonesia. Sekaligus diakui secara nasional milik masyarakat Payakumbuh.
Kabar ini pun, membuat istri Wali Kota Payakumbuh, Henyy Yusnita Riza, ikut senang dan menyampaikan rasa syukurnya. "Alhamdulillah," tulis dosen non-aktif ITB itu di grup WhatsApp Pendidikan Payakumbuh, pekan lalu.
“Pacu Itiak” Pernah "Mati Suri"
“Pacu itiak” adalah permainan yang memperlombakan kemampuan itik terbang lurus di atas udara dan mendarat pada tempat ditentukan. Permainan tradisional ini, hanya terdapat di Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat.
Namun, tidak semua nagari atau kampung di Payakumbuh dan Limapuluh Kota yang penduduknya punya tradisi “pacu itiak”. Berdasarkan penelusuran Padangkita.com, hanya ada empat nagari-nagari yang masyarakatnya mewarisi tradisi “pacu itiak”.
Keempat nagari itu adalah Nagari Aua Kuniang dan Nagari Aia Tabik di Kota Payakumbuh. Kemudian, Nagari Sikabu-kabu Tanjuang Haro Padang-Panjang dan Nagari Sungaikamuyang di Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota.
Berdasarkan data yang dirilis Bidang Kebudayaan Disparpora Payakumbuh pada Oktober 2020, “pacu itiak” sudah menjadi permainan tradisi masyarakat sejak 1926 silam. Namun, Majalah Mimbar Parlementaria yang diterbitkan DPRD Payakumbuh dalam salah satu edisinya menyebutkan, permainan “pacu itiak” pernah "mati suri" di Payakumbuh.
Tradisi “pacu itiak” yang sempat "mati suri" di Payakumbuh, baru dihidupkan kembali sejak 1980-an silam. Pelopornya kala itu adalah seorang Camat bernama Amasri BA yang dijuluki warga "Camat Itik" karena perhatiannya yang luar biasa terhadap permainan tradisi ini.
“Pacu Itiak” Mirip Grandrix Formula 1
Menurut Ketua Persatuan Olahraga Terbang Itik (Porti) Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota, Yendri Bodra Datuak Parmato Alam, penyelenggaraan “pacu itiak” tak ubahnya bagaikan balapan mobil Grandprix Formula 1. Di mana, setiap musim pacu itik datang, gelanggang atau sirkuit yang digunakan oleh pemilik itik pacuan, pasti selalu berpindah-pindah.
Misalnya, begini. Bila minggu ini, pemilik itik pacuan bermain di gelanggang Tunggua Kubang, Nagari Auakuniang. Maka, minggu berikutnya, mereka akan pindah ke gelanggang yang terdapat di kawasan Bodi, Nagari Aietabik. Atau bisa jadi pindah ke Nagari Sikabu-kabu Tanjuang Haro Padangpanjang yang punya sirkuit paling banyak.
Setelah itu, mereka akan pindah lagi ke Rageh, Nagari Sungai Kamuyang atau kembali ke Nagari Aiatabik, dengan menjajal sirkuit di Padang Cubadak Sicincin, Bodi, dan Padang Alai. Begitu seterusnya. Sampai 11 gelanggang atau sirkuit “pacu itiak” yang tergabung dalam raindbond mendapat jatah menjadi tuan rumah.
Selain adil, “pacu itiak” yang digelar dari satu sirkuit ke sirkuit lain, membuat silaturahmi masyarakatnya menjadi lebih kuat. Para pemilik itik pacuan yang berdasarkan data Porti berjumlah 400-an orang, saling 'bersaing' mempersiapkan itik-itik yang jago terbang.
Menurut T Datuk Bandaro, sesepuh Porti di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, dalam setiap “pacu itiak”, ada empat nomor yang dipertandingkan. Jarak pacuan setiap nomor berbeda-beda. Mulai dari nomor 800 meter, 1.000 meter, 1.200 meter, sampai dengan 1.600 meter atau disebut sebagai pacuan boko (bebas).
Untuk nomor 800 meter dan 1.000 meter, setiap itik yang dilempar joki ataupun pemiliknya ke atas udara, setelah terbang lurus di atas ketinggian 10 hingga 20 meter, harus mendarat di bawah garis finish yang sudah ditentukan. Pecandu “pacu itiak” menyebut garis ini sebagai "garis mati".
"Kalau itik yang ikut berpacu, mendaratnya lewat dari garis mati, maka itik tersebut gugur. Untuk bisa mendarat tepat di bawah garis mati, tentu dibutuhkan latihan yang berulang-ulang bagi itik pacuan tersebut," kata Datuk Bandaro.
Sedangkan untuk “pacu itiak” dengan nomor pertandingan 1.200 meter dan 1.600 meter, itik yang ikut bertanding, mendaratnya tidak harus di "garis mati". Itik boleh mendarat di atas atau pun di bawah garis yang sudah ditentukan. Tapi dengan catatan, itik tersebut tetap harus terbang lurus.
Dari empat nomor yang dipertandingkan, itik yang berpacu padu nomor 1.200 meter dan 1.600 meter atau biasa disebut jalan panjang, punya harga jauh lebih mahal. Mencapai Rp2 juta per ekornya. Harga itu dinilai cukup setimpal bagi pemilik itik.
Apalagi menciptakan itik pacuan bukan perkara mudah. Pemiliknya harus disiplin. Pandai menjaga kebersihan dan pola makan. "Makanan itik pacu, biasanya padi pakai telur atau padi pakai sikuai," kata Basril Abbas dan Dodi Sastra.
“Pacu Itiak” Kaya Filosofi
Dalam majalah ini disebutkan, sisi lain yang menarik dari tradisi “pacu itiak” di Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota adalah kearifan para pemilik itik pacuan. Menurut Yendri Bodra Dt Parmato Alam, hampir seluruh pemilik itik pacuan, mengerti dengan ciri-ciri itik yang jago terbang atau itik yang bisa dipertandingkan.
Biasanya, itik jago terbang itu punya gigi berjumlah ganjil. Kalau tidak 5, bisa 7 atau 9 buah. Kemudian, itik jago terbang punya warna kaki yang sama dengan warna paruhnya. Selain itu, bisa pula dilihat dari sisiak muko (sirip di kaki depan itik).
"Kalau sisiak muko itik pecah, biasanya itik tersebut pandai terbang. Prediksi ini jarang meleset," kata Parmato Alam yang pernah menjabat Ketua DPRD Payakumbuh, dan kini tercatat sebagai Ketua Badan Kehormatan DPRD Payakumbuh.
Selain dapat dilihat dari gigi dan siripnya, itik yang jago terbang, punya tanda pada sayap dareh-nya (dua sayap kecil di atas kedua sayap besar). "Kedua sayap dareh itik pacuan, harus lurus dan menghadap ke atas langit. "Kalau sayap dareh-nya yang satu ke bawah dan satu lagi ke atas, dijamin itik itu tidak jujur. Jika lomba sering membelok,” kata Parmato Alam.
Dia meyakini, “pacu itiak” tidak sekadar hiburan yang asyik ditonton. Tapi merupakan tradisi kaya filosofi. Dari sayap itik pacuan, tersimpan nilai kejujuran. Dari penontonnya, terpancar kesederhanaan. Dari peternak itik, terkandung disiplin, ketekunan, dan kebersihan. Sehingga, tak ada itik pacu kena flu burung.
Dengan filosofi yang terkandung di dalamnya, tidak heran, bila “pacu itiak” kini masuk dalam daftar warisan budaya tak benda Indonesia yang diterbitkan Kemendikbud. Porti Payakumbuh dan Limapuluh Kota juga bersyukur atas hal ini. [pkt]