Label bank riba, bank haram, tidak lagi punya pengaruh besar untuk menarik nasabah. Masyarakat yang awalnya jadi nasabah bank syariah, atau coba-coba jadi nasabah, diam-diam kembali ke bank konvensional. Bank syariah sepi peminat.
Kalaupun nasabah yang menyimpan uang masih banyak, tapi penyaluran kreditnya kalah bersaing dengan bank konvensional. Logika sederhananya, jika bank syariah ini anti-riba, maka logikanya, mereka akan diminati para pengusaha untuk meminjam modal usaha.
Namun faktanya tidak demikian. Sebagian besar dana di bank syariah mengendap disimpan di Bank Indonesia untuk mendapatkan bunga. Tidak tersalurkan ke dunia usaha. Itu jadi masalah baru, karena akhirnya bank syariah jadi beban Bank Pusat.
Kenapa masyarakat tetap memilih bank konvensional? Tipiskah keimanan dan Islamnya? Bukan. Kembali memilih bank Konvensional karena ternyata bank yang diberi label syariah itu “lebih kejam”, “lebih sadis” dari bank konvensional.
Lalu apakah sistem keuangan Islam yang salah? Ternyata juga bukan. Bank syariah di Qatar, Uni Arab Emirates, Saudi, tetap berdiri megah dan terus membesar. Terus diminati pemodal-pemodal dunia tanpa melihat mereka Islam atau bukan.
Yang bermasalah itu hanya di Indonesia. Bukan masalah di nasabahnya, tapi ada di pengelolaannya. Ada di sistemnya. Ada di orang-orang yang mengelolanya.
Kita tentu berharap suatu saat nanti, di Indonesia ini hadir bank syariah yang betul-betul sesuai syariat Islam. Kita tentu berharap Bank Nagari Syariah itu hadir menjadi lembaga keuangan Islam yang akan jadi contoh sistem keuangan Islam di Indonesia.
Tidak hanya sekadar memberi label syariah. Memberi label tapi dalam praktiknya tidak sesuai syariat, justru hanya akan memberikan citra tidak baik kepada Islam. Islam tak pernah salah, yang salah adalah pengamalan oleh orang yang menjalankannya. [*]
Penulis: Dr. H. Muhammad Rahmad, S.Ag, MM, MITM (Praktisi usaha dan pemerhati Bank Syariah)