Padang, Padangkita.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak Gubernur Sumbar mendengarkan keluh kesah korban perampasan lahan. Harapannya, Gubernur dan jajaran hadir untuk memulihkan hak atas tanah masyarakat yang masif terjadi di Sumatra Barat (Sumbar).
Selama tahun 2021, LBH mencatat telah terjadi pelanggaran hak hidup dan perampasan tanah di Sumbar terhadap 4.563 orang dan 1.521 keluarga di 3 kabupaten, yakni Kabupaten Agam, Kabupaten Solok Selatan, dan Kabupaten Pasaman Barat. Luas lahan yang berkonflik mencapai 5.966 hektare.
Dalam keterangan tertulis LBH dalam momen peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diterima Padangkita.com, data tersebut di ambil dari 6 titik konflik masyarakat dengan perusahan perkebunan sawit. Konflik tersebut adalah antara masyarakat Kapa, Pasaman Barat dengan PT. Permata Hijau Pasaman.
Kemudian, masyarakat Bidar Alam dengan PT. Ranah Andalas Plantation, masyarakat Sungai Aua dengan PT. Karya Agung Megah Utama, masyarakat Kinali dengan PT. Perkebunan Nusantara VI Pasaman Barat, masyarakat Aia Gadang dengan PT. Anam Koto Pasaman Barat, dan masyarakat Koto Gadang Jaya dengan PT. Lintas Inter Nusa Pasaman Barat.
“Latar belakang konflik yang terjadi di 6 titik ini, memiliki kemiripin. Permulaan konflik perkebunan ini berasal dari tidak berjalannya prinsip FPIC (free, Prior, Inform, Consent) atau persetujuan awal kepada masyarakat dan masyarakat adat,” ungkap LBH dalam keterangannya.
Selain itu, di Nagari Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin, PT. Ranah Andalas Plantation (RAP) ingkar terhadap perjanjian yang disepakati ke masyarakat dengan metode pembagian hasil 40%-60%.
Sedangkan di Nagari Aia Gadang, Kabupaten Pasaman Barat pemicu konflik karena tidak adanya direalisasikan Plasma dari PT. Anam Koto kepada masyarakat sekitar. Berbeda dengan hal-nya yang terjadi di Nagari Sungai Jariang, Kabupaten Agam, dulu disaat melakukan pembangunan kebun pihak perusahaan diduga pembekingan militer untuk merepsresi pemilik tanah.
“Berdasarkan informasi yang kami terima, proses pembangunan kebun sawit di Sumatra Barat dipenuhi dengan cerita penindasan dan represi oleh aparat. Masyarakat terus diintimidasi, ditangkap, ditahan dan dikriminalisasi hingga dipaksa kalah untuk memperjuangkan hak atas tanahnya. Lalu pemerintah menerbitkan IUP (Izin Usaha Perkebunan), dan HGU (Hak Guna Usaha) dengan segala penindasan yang terjadi hingga konflik berkepanjangan terjadi bertahun-tahun.”
Pandemi dan Konflik Perkebunan
Sementara itu, serangan pandemi covid-19 yang terjadi dari bulan Maret 2020 lalu, mengakibatkan penurunan mobilitas masyarakat yang berbanding lurus dengan tingginya angka konflik perkebunan. Konflik ini mengakibatkan adanya usaha-usaha untuk membungkam masyarakat dengan cara-cara kriminalisasi.
“Di mana kami mencatat terdapat 3 daerah telah terjadi kriminalisasi kepada 7 orang (3 orang dipidana, dan 4 orang masih proses sidang) dan masih ada 2 laporan polisi yang masih berjalan,” ungkap LBH dalam keterangannya.
Hal ini berbanding terbalik dengan penegakan hukum kepada perusahaan yang sampai saat ini tidak ada ditindak lanjuti. Padahal ada beberapa laporan masyarakat dan di PT. RAP yang tidak memiliki izin tapi masih tetap beroperasi.
Selain itu, adanya dugaan pembekingan terjadi, di PT. RAP adanya beberapa personil Polri diturunkan disana dan bahkan saat ini masyarakat KAPA diduga terancam represi aparat pasca masyarakat melakukan reclaiming haknya dan bertanam di tanah reclaiming-nya.
Situasi ini didasari kesulitan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang mendorong masyarakat berjuang sendirian untuk memulihkan haknya tanpa support dari pemerintahan.
Di tengah ketidakpastian ekonomi pada hari ini, ditambah dengan rentannya masyarakat dikriminalisasi akibat konflik ini, LBH Padang mendesak Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat untuk menyelesaikan konflik tanah antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit di Sumbar.
Kemudian, membentuk tim penyelesaian konflik tingkat provinsi dan melakukan review izin perusahaan perkebunan sawit di Sumbar. Selanjutnya, memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan dan mendorong penegakan hukum kepada perusahaan yang melanggar hukum. [*/pkt]