Belakangan ini citra perempuan semakin buruk di mata publik. Perkaranya tidak lagi sekadar kasus menghidupkan sen kanan lalu belok ke kiri, tetapi juga berkaitan dengan emosi yang diumbar tak terkendali. Kasus perempuan memaki (mempercarutkan) Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, yang sempat viral beberapa hari lalu, menambah panjang deretan contoh citra buruk akhlak perempuan.
Emi, seorang ibu yang sudah bertahun-tahun berdagang di trotoar Pantai Padang. Satu sore, tepatnya tanggal 5 Agustus 2020 lalu, Pak Wali sedang bersepeda menyisiri pantai yang sudah disulap menjadi ikon kebanggaan kota. Lalu matanya terserobok dengan tenda milik Emi. Spontan Wali Kota yang juga tengah bersiap-siap maju sebagai calon Gebernur Sumatra Barat tersebut menegur Emi. Namun bukannya takut, teguran itu malah dijawab dengan caci maki, sebagai bentuk penolakan. Begitu pitam wajahnya mengejan kemarahan. Segala jenis kata makian berhamburan. Seolah meluncur di luar kontrol kesadarannya.
Dengan cepat rekaman peristiwa tragis di Pantai Padang itu menyebar dan viral. Bermacam komentar netizen. Carut marut untuk Emi pun tak terhindari. Yang salah tetap mulut perempuan itu. Dan umumnya warga net memuji kesabaran dan sikap Mahyeldi yang tenang dan tidak membalas caci maki Emi dan juga anaknya.
Tak berapa lama setelahnya, beredar pula berita dan video pernyataan maaf dari si ibu pedagang. Lalu hadir sosok politisi PPP Maidestal Hari Mahesa menfasilitasi permintaan maaf tersebut. Peristiwa ini menjadi sebuah ironi yang menunjukkan gejala ‘abnormal’ dalam masyarakat. Ini menurut hemat saya bukan hanya perkara Emi atau perkara kaum perempuan, tetapi ini penyakit (patologis) sosial yang perlu diwaspadai dan dipahami semua pihak.
Sebelumnya tentu sudah banyak citra negatif yang dilekatkan terhadap perempuan, karena ulah mereka. Kasus sengketa antara Ketua Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) Amnasmen dengan Rita Sumarni di perbatasan kota pada tanggal 13 Mei lalu juga dipenuhi kata-kata carut marut. Rita yang bertugas sebagai pengawal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghadang Ketua KPU Sumbar yang akan memasuki Kota Padang dari arah Solok.
Tidak hanya menghalangi, Rita kemudian juga memaki-maki Amnasmen. Peristiwa itu juga sempat viral dan berujung pula dengan permintaan maaf, tidak hanya oleh Rita tetapi juga maaf dari Wali Kota Padang yang menugaskan perempuan itu di perbatasan. Setelahnya, ada lagi peristiwa yang dialami Habibullah Fuadi. Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang ini dikejar dan ‘dipercarutkan’ ibu-ibu pula karena tidak memberi penjelasan soal nasib pendidikan anak-anak mereka, terkait peraturan baru soal zonasi.
Perempuan yang suka memaki, perempuan penggosip, perempuan yang suka menghidupkan sen kiri lalu belok ke kanan, perempuan pembohong, perempuan penjual anak, perempuan berselingkuh, perempuan penuntut cerai dan panjang lagi kalau disebut.
Kasus-kasuh buruk perempuan yang muncul di media massa dan menuai viral ini menurut hemat saya tidak lagi perkara biasa. Tidak bisa dipahami sebagai citra buruk perempuan, lalu melekat-lah stigma bahwa perempuan itu memang begitu. Perlu dilakukan telaahan mendalam untuk mencari jawabannya, kenapa perempuan begitu?
Memahami Perempuan
Memahami memiliki pengertian yang beragam. Tidak hanya sebatas menerima keadaan yang tampak, apa adanya, lalu melekatkan stigma, tetapi juga harus menggali sampai ke akar permasalahan.
Memahami juga berbeda dengan mengetahui. Memahami menuntut totalitas kemampuan seseorang dalam menjangkau kepribadian pihak lain, sementara mengetahui adalah wilayah permukaan dari paham. Orang bisa saja tahu atau mengetahui banyak hal, tapi apakah orang bisa (dan punya waktu) untuk memahami satu hal dengan sungguh-sungguh? Memahami, melintasi jarak dan waktu, dia membutuhkan ‘rasa’ dan ‘keterlibatan’, sementara mengetahui cukup dijawab dengan data-data.
Untuk bisa paham satu keadaan atau peristiwa atau yang dalam konteks sosiologis dinamakan realitas sosial maka perlu membongkar berbagai diskursus pengetahuan, mulai dari filsafat, teologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu komunikasi sampai pada ilmu sastra. Sama halnya dengan filosof sekelas Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas sampai Derrida, mereka menghabiskan umur hanya untuk belajar mengetahui dan kemudian sampai pada memahami. Itu dari sisi pengetahuan barat.
Dari sisi pengetahuan timur, sebutlah siapa nama ahli dalam Islam, mulai dari Nabi SAW, para sahabat, empat imam mazhab, Al- Khindi, Al-Farabi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al Ghazali dan seterusnya mereka juga bukan para pencari pengetahuan semata, karena bagaimana mutiara hikmah akan keluar sebagai buah pikir tanpa ada satu kata: Paham.
Nah, kalau hari ini kita melihat sebuah peristiwa, dalam kasus ini peristiwa-peristiwa menyangkut sikap negatif kaum perempuan, terbaca di media massa lalu viral. Ataupun peristiwa yang mungkin terlihat oleh kita sepintas lalu, bijaksanakah kemudian kita dengan bersegera menjatuhkan hukuman (sigma) atas sekelompok kaum. Hemat saya ini berbahaya dan bahkan tidak akan memberikan manfaat kebaikan apapun. Tidak akan berguna bagi si pengambil kesimpulan maupun bagi si ‘seseorang’ atau peristiwa yang disimpulkan. Lebih sederhananya, tidak akan menyelesaikan permasalahan.
Lalu bagaimana mestinya langkah untuk memahami (dalam tulisan ini) perempuan? Diperlukan perangkat keilmuan dan metode yang bisa digunakan agar kita sampai pada pemahaman mendalam dan kemudian membebaskan kaum ibu kita ini dari dakwaan dan citra buruk, tentu saja tanpa perlu memaksakan sebuah pembenaran.
Kenapa Perempuan Memaki
Derrida (1930-2004) memperkenalkan salah satu cara memahami lewat konsep differance. Konsep ini mengajarkan kita para penafsir realitas untuk tidak tergesa, bahkan kalau perlu, berhenti sama sekali menarik kesimpulan atau memberi makna terhadap satu peristiwa yang sifatnya biner, misalnya yang menyangkut perempuan/laki-laki, kaya/miskin, jauh/dekat, beriman/kafir dan seterusnya. Makna terus mengalami dekonstruksi dalam posisinya sendiri, menangguhkan pemaknaan akan memunculkan kemungkinan makna-makna lain dan membuka pikiran akan pemahaman lebih luas.
Dalam konteks lain, memahami juga berkaitan dengan bahasa. Dia adalah proses menangkap maksud atau makna kata-kata yang diucapkan oleh pembicara. Namun perlu juga diketahui bahwa manusia sering kali tidak berpikir tentang hal yang sama walaupun mengatakan hal yang sama. Misalnya kata: Makanlah.
Kata ‘makanlah’ bisa kita terjemahkan sebagai silakan makan sekaligus umpatan dan ketidak relaan serta sumpah serapah.
Atau mengucapkan kata: Saya tidak apa-apa.
Benarkan si pengucap tidak sedang ada masalah? Ataukah dia hanya ingin menyembunyikan masalah? Atau sebenarnya mengharapkan bantuan? Dalam hal ini, bagaimana kita bisa memahami apa yang terucap dan apa yang dimaksudkan oleh si pengucap. Dan sekaligus bagaimana kita kemudian bisa menghindari kesalahpahaman?
Jelas diperlukan upaya untuk menelisik lebih dalam makna peristiwa, bukan saja sebatas pada kata yang terdengar tetapi juga memahami simbol-simbol yang muncul.
Dilthey (1833-1911), filosof Jerman ini juga menawarkan cara ke arah pemahaman kita terhadap fenomena sosial berkaitan dengan prilaku kaum perempuan di atas. Dia memperkenalkan sebuah istilah dalam penelitian, yang disebutnya ‘fakta mental’, sebuah upaya memahami (verstehen) dari sisi dalam. Artinya, untuk memahami makna suatu peristiwa seorang peneliti tidak bisa hanya melihat ‘sisi luar’ dengan memberi jarak terhadap objek yang diteliti tetapi harus mampu menelisik bagian dalam dunia mental orang lain. Caranya dengan memasuki dunia (psikologi) mental objek penelitian, berpartisipasi, interaksi dan komunikasi langsung sampai kemudian terungkap apa yang disebut oleh Dilthey sebagai makna (sinn). Makna inilah yang kemudian menggerakkan prilaku seseorang dan melahirkan produk-produk kultural berupa gaya hidup, hukum serta adat istiadat bahkan termasuk kebiasaan memaki. Produk kulturan seperti ini jelas bukan sebuah realitas objektif namun realitas yang diobjektifkan sebagai hasil dari sebuah konstruksi pemikiran dari fase pengalaman hidup seseorang. Pengalaman berdialog dengan yang lain dalam keberlainan bila dikembangkan akan memberikan pencerahan pengetahuan yang juga bisa dikategorikan sebagai pemahaman baru.
Bicara soal fakta mental, Habermes --seorang filsul Jerman terkemuka-- menyatakan bahwa ada situasi-situasi yang harus diwaspadai yaitu situasi normal dan abnormal. Situasi normal terjadi bila apa yang berlaku bisa dicerna oleh akal sehat ‘bersama’ oleh pihak-pihak baik pihak penafsir maupun pihak yang menafsirkan. Sementara situasi abnormal justru sebaliknya, dimana pihak penafsir menghadapi situasi dimana bahasa maupun prilaku yang ditunjukkan tidak dimengerti, bukan saja oleh penafsir tetapi juga oleh yang ditafsirkan. Dalam hal ini, komunikasi telah terdistrorsi (mungkin) secara sistematis. Marx, seperti dikutip Hardiman (2015:220) menyebut kondisi ini sebagai kesadaran palsu yang lahir akibat indokrinasi atau keadaan sosial tertentu.
Kembali pada kasus perempuan dan carut-marut serta kata makian yang mereka lontarkan, bisakah kita mendalami kasus ini sebagai bagian dari gangguan kesadaran (kesadaran palsu) atau hasil dari indokrinasi yang mereka alami dan berlangsung secara sitematis? Dalam keadaan seperti ini, tidakkah kemudian yang harus dilakukan adalah meninjau ulang kajian soal norma, ideologi, dokrin yang bertebaran dalam masyarakat ketimbang menjatuhkan tudingan dan stigma pada perempuan? Sistem sosial seperti apa yang sedang kita jalani. Bagaimana perempuan telah mengambil tempat atau ditempatkan dalam sistem sosial yang sedang berlangsung? Dalam masyarakat seperti apa kita hidup? Ideologi seperti apa yang tengah bekerja dan mendokrin kita? Menjawab pertanyaan ini agaknya baik dilakukan sebagai bentuk evaluasi terhadap peristiwa buruk dan berulang yang terjadi, ketimbang menghakimi, mengsigmatisasi atau menghujat para perempuan. Kerja memahami bukan sebatas menerima segala yang ada (buruk dan baik) lebih jauh memahami juga untuk membebaskan. Dalam hal ini tentu artinya juga membebaskan perempuan dari pemaknaan berupa tudingan dan citra buruk.
Tulisan ini tentu saja tidak akan menjanjikan sebuah penyelesaian masalah secara sempurna. Setidaknya tulisan ini dibuat untuk berbagi sikap bagaimana menghadapi dunia dan peristiwa yang terjadi di dalamnya dengan pandangan terbuka dan dengan pemaknaan yang lebih beragam. (*)
Ka’bati
Penulis adalah peneliti di Ruang Kerja Budaya (RKB)