Padang, Padangkita.com – Di tengah bayang-bayang resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19, atmosfer politik di Sumatra Barat (Sumbar) tetap panas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Diprediksi akan ada empat atau lima pasangan yang bakal bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan Sumbar untuk lima tahun ke depan.
Jika dihitung-hitung, untuk maju pada Pilkada tingkat provinsi atau Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, butuh uang yang tidak sedikit. Sehemat-hematnya pasangan calon, atau sepandai-pandainya pasangan calon, biaya Pilkada yang harus dikeluarkan tetap akan mencapai puluhan miliar.
Bahkan, Peneliti dan Pengajar Hukum Tata Negara, Nurul Fajri malah memperkirakan, satu pasangan calon dapat menghabiskan dana lebih dari Rp100 miliar. Biaya ini, kata Fajri, terdiri dari biaya APK atau alat peraga kampanye, pencitraan di media-media, hingga membayar lembaga survei dan tim pemenangan.
Lalu, berikutnya honor untuk saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara), biaya operasional pertemuan-pertemuan pasangan calon yang turun ke lapangan, dan biaya-biaya lainnya.
“Bahkan, jauh sebelum Pilkada saja, ada pasangan calon yang telah mulai mengeluarkan biaya. Misalnya untuk survei, memasang baliho, lalu pencitraan di media-media dan melakukan pertemuan. Ada juga yang membuat ‘event’ lomba untuk mengangkat popularitas,” ujar Fajri ketika berbincang dengan Padangkita.com, Rabu (5/8/2020).
Makanya, lanjut Fajri, tidak heran ada lembaga-lembaga profesional yang khusus membantu pemenangan calon menawarkan harga-harga yang fantastis. “Untuk Pilgub, paket hemat tawaran lembaga-lembaga seperti itu Rp300 miliar hingga Rp500 miliar. Apalagi jika calon punya permintaan-permintaan khusus,” ujar Fajri.
Biaya yang akan dikeluarkan pasangan calon bisa membengkak jelang hari “H” Pilkada. Pada masa kampanye, kata Fajri, pasangan calon dan timnya pasti akan makin menggencarkan pertemuan dengan masyarakat. Dalam sehari, calon bisa bertemu kelompok masyarakat lebih dari lima kali.
“Nah hitung saja, jika sehari lima pertemuan. Biaya operasional makan dan bensin sekitar Rp2,5 juta. Ini belum termasuk biaya calon yang harus mengganti biaya transpor warga yang hadir dalam pertemuan. Makin sering makin banyak,” ulas Fajri.
Lalu yang tidak bisa dihindari adalah honor saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Minimal, biasanya Rp100 ribu pe TPS. Itu, kalau saksi yang ditunjuk hanya satu orang. Jika mau kerja saksi maksimal, maka honor itu harus ditambah lagi.
Baca juga: Fakhrizal-Genius Resmi Ajukan Sengketa, Begini Tanggapan KPU dan Bawaslu Sumbar
“Tinggal dikalikan saja. Sebelumnya jumlah TPS di Sumbar 16.500 TPS. Setelah ditambah karena menyesuaikan dengan protokol kesehatan Covid-19 menjadi 17.700 TPS. Anggap, satu TPS satu saksi, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp2 miliar,” tutur jebolan S2 Unand ini.
Kecuali biaya-biaya yang bisa dihitung, yang tidak kalah besarnya adalah biaya yang mesti dikeluarkan untuk mendapatkan rekomendasi partai. Biaya yang diibaratkan kentut ini—bau bahkan bunyinya ada tetapi wujudnya tak kelihatan—bisa mencapai puluhan miliar.
“Semua partai memang membantah tidak ada ‘mahar’. Namun, akhirnya kan diketahui juga. Walau sulit dibuktikan, semua orang tetap meyakini biaya untuk dapat rekomendasi partai ini tidak sedikit,” kata Fajri.
Nah, bagaimana kalau calon maju lewat jalur independen? Justru, lanjut Fajri, biayanya bakal lebih mahal. Sebab, sejak awal pasangan independen malah lebih dulu mengeluarkan biaya.
“Tinggal dihitung saja, satu KTP berapa? Misalnya, untuk Pilkada Sumbar butuh 300 ribu lebih KTP. Lalu KTP yang harus disetor ke KPU untuk diverifikasi dua kali lipat, 600 ribu KTP. Dikali Rp10 ribu saja, itu jumlahnya sudah Rp6 miliar,” ujar Fajri.
Pendapatan Gubernur/Wakil Gubernur Sumbar
Dengan biaya puluhan miliar hingga lebih dari Rp100 miliar, berapa pendapatan gubernur/wakil gubernur Sumbar?
Saat ini, pendapatan Gubernur/Wakil Gubernur masih mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) No. 68/2001 tentang Perubahan atas Keppres No. 168/2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu.
Dalam Keppres itu disebutkan gubernur berhak menerima gaji Rp3 juta dan tunjangan jabatan Rp5,4 juta, yang jika ditotal sebesar Rp8,4 juta setiap bulan.
Walau gaji gubernur kecil, tetapi gubernur juga berhak mendapatkan biaya penunjang operasional atau BPO yang diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Besarannya bervariasi, tergantung jumlah PAD tiap-tiap daerah sebagaimana yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam PP tersebut, jumlah BPO Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi PAD.
Pertama, daerah dengan PAD hingga Rp 15 miliar, paling rendah Rp150 juta dan paling tinggi sebesar 1,75%; Kedua, di atas Rp 15 miliar s/d Rp50 miliar, paling rendah Rp262,5 juta dan paling tinggi sebesar 1%; Ketiga, di atas Rp 50 miliar s/d Rp 100 miliar, paling rendah Rp500 juta dan paling tinggi sebesar 0,75 %.
Berikutnya, keempat, daerah dengan PAD di atas Rp100 miliar s/d Rp250 miliar, paling rendah Rp750 juta dan paling tinggi sebesar 0,40 %; Kelima, di atas Rp250 miliar s/d Rp 500 miliar, paling rendah Rp 1 miliar dan paling tinggi sebesar 0,25 %; Keenam, di atas Rp500 miliar, paling rendah Rp1,25 miliar dan paling tinggi sebesar 0,15%.
Dari klasifikasi menurut PP tersebut, maka Sumbar masuk kelompok daerah yang keenam, yakni daerah dengan PAD di atas Rp500 miliar. Sebab, PAD Sumbar tahun 2019 telah mencapai Rp2,3 triliun lebih. Jika angka ini dipakai, maka BPO Gubernur Sumbar 0,15% dikali Rp2,3 triliun. Jumlahnya Rp345 miliar setahun, yang jika dibagi per bulan sekitar Rp28,75 miliar per bulan.
Penggunaan BPO ini juga telah diatur dalam PP tersebut, yakni untuk biaya rumah tangga, biaya pembelian inventaris rumah jabatan, biaya pemeliharaan rumah jabatan, biaya pemeliharaan kendaraan dinas, biaya pemeliharaan kesehatan, biaya perjalanan dinas, biaya pakaian dinas, dan untuk koordinasi.
“Nilai itu sebetulnya tetap sangat tidak seimbang dengan besarnya biaya yang dikeluarkan calon ketika maju pada Pilkada. Artinya, kalau dihitung biaya Pilkada dengan yang diterima ketika duduk sebagai gubernur, ya rugi,” kata Fajri.
Jika yang terpilih saja masih rugi, apalagi bagi yang kalah. Rugi besar. Lalu, kenapa banyak orang ingin sekali jadi gubernur, sampai rela berhenti dari pekerjaan sebelumnya?
Menjawab pertanyaan demikian Fajri balik bertanya, “Sekarang, coba dibalik pertanyaannya, siapa yang tidak mau jadi gubernur?” [ori/pkt]