Apresiasi dan Kritik untuk Teater Langkah Selepas “Malin Kundang”

Padangkita.com – Hari keempat Festival Nasional Nasional Wisran Hadi (FNWH) atau pada Kamis (26/4/2018) diisi pementasan “Malin Kundang”.

Karya ini dibawakan oleh Teater Langkah Universitas Andalas (Unand), dengan disutradarai oleh Ade Fitri (mahasiswa).

Seperti malam-malam sebelumnya, lingkungan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand) ramai oleh para penikmat teater dari berbagai kampus dan kota di Indonesia. Ratusan penonton malam itu memadati pelataran Parkiran Belakang Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand.

Teater Langkah membawakan “Malin Kundang” dengan menggabungkan konsep teater modern dengan randai. Didukung dengan artistik panggung penuh warna, memanfaatkan cahaya lampu sorot dan kain beragam warna yang menggantung di seisi panggung.

Suasana malam berkabut mengiringi sejumlah pemain berdialog dan bergerak di atas panggung menjalankan cerita, bergerak di dalam dan di selingkar kain-kain. Kurang-lebih satu jam pementasan tersebut berjalan, sebelum akhirnya selesai dan disusul dengan diskusi pementasan.

Diskusi diawali dengan pemaparan konsep oleh sang sutradara, Ade. Sayangnya, Ade tidak menjelaskan tentang pilihan penggabungan teater dan randai di atas. Ade hanya menjelaskan tentang pemakaian kain berwarna-warni di dalam panggung. Selebihnya, diskusi lebih banyak mengarah kepada isu yang diangkat melalui pementasan.

“Kain itu simbol. Biru itu kenangan para tokoh, kuning itu kebimbangan Ibu, putih itu netral, merah adalah kemarahan Malin, dan hitam adalah duka. Selain itu, kain juga berfungsi untuk menandai dimensi yang berbeda-beda,” jelas Ade di hadapan penonton.

Dari sisi isu, menurut Ade, naskah Malin Kundang karya Wisran Hadi, selain mencoba menepis citra Malin Kundang yang melegenda, juga mengusung isu perempuan dalam kultul matrilini. Tidak itu saja, naskah Malin Kundang bahkan memperlihatkan tema oedipus complex.

“Biasanya, yang menggadaikan harta itu mamak. Nah di sini menjadi persoalan karena yang melakukannya tokoh Ibu. Lalu, juga ada tema oedipus complex di sini. Si Anak lelaki, selalu merindukan ibunya, karena itu ia begitu menginginkan anak perempuan. Sementara si Ibu, dalam melihat anak lelakinya, sebenarnya ia sedang mengingat sosok sang suami,” jelas Ade.

Mengisi diskusi, salah seorang penonton, Rizki, melontarkan pandangan. Menurutnya, penampilan tadi cukup baik. Namun, catatnya, ada kelemahan dari sisi penataan dialog.

“Baiknya diaalog-dialog lebih ditata lagi, agar penonton bisa lebih merasakan jalan cerita yang dibawakan. Tadi itu saya rasa kurang maksimal, lebih-lebih di bagian terakhir,” ungkap Rizki yang merupakan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang ini.

Senada dengan Rizki, Hernawan (budayawan), menuturkan bahwa permainan aktor di bagian akhir tersebut memang merusak pementasan. Namun, Hernawan menyampaikan apresiasi yang besar, karena menurutnya pementasan tersebut cukup identik dengan Wisran Hadi.

“Di bagian akhir itu, benar kata saudara tadi (Rizki-red). Tapi di luar itu, saya puas. Dari awal sampai pertengahan itu, bagus sekali. Saya malam ini benar-benar merasa menonton Wisran Hadi. Bagus!” seru Hernawan.

Dari sisi yang lain, Arya, yang merupakan anggota Teater Benih (Surabaya) turut menanggapi. Baginya, konsep pementasan yang baru saja dipertontonkan tersebut perlu dikaji lagi, agar didapat konsep yang tepat. Pasalnya, naskah Wisran Hadi terkenal bagus, tapi sulit untuk dimainkan.

“Biar lebih maksimal, sutradara kajiannya harus oke. Soalnya, ada naskah yang cocok dipentaskan dengan suatu konsep tertentu, dan ada pula yang tidak,” tutur lelaki yang mengaku telah menulis skripsi tentang Wisran Hadi ini.

Pementasan “Malin Kundang” merupakan pementasan  ke-4 dalam agenda FNWH. Agenda yang akan dilakukan seminggu penuh ini masih menyisakan beberapa pementasan yang akan ditampilkan setiap malamnya.

Malam ini, Kamis, 27 April 2018, akan ada dua pementasan yang juga membawakan naskah Wisran Hadi. Agenda akan dimulai pukul 20.00 WIB dengan pementasan Teater Batra (Riau) membawakan naskah “Nurani”. Selanjutnya akan disusul pementasan dari tetater Tirai (Medan) dengan judul naskah “Makam Dipertuan”.

Dua pementasan tersebut akan dilangsungkan di panggung bundar Medan Nan Bilinduang FIB Unand. [ril]

Tags:

Baca Juga

"Mandi Angin" dan Orasi Puti Reno di Penutup FNWH 2018
"Mandi Angin" dan Orasi Puti Reno di Penutup FNWH 2018
Kisah Anak Kurang Mampu di Bungus Lulus ITB yang Dibantu Andre Rosiade Rp30 Juta
Kisah Anak Kurang Mampu di Bungus Lulus ITB yang Dibantu Andre Rosiade Rp30 Juta
Mimpi Menjadi Kenyataan: Janda Tiga Anak di Batu Gadang Terima Rumah Baru dari UPZ Baznas Semen Padang
Mimpi Menjadi Kenyataan: Janda Tiga Anak di Batu Gadang Terima Rumah Baru dari UPZ Baznas Semen Padang
Syafirman di warung makanan (cafe) yang dikelilingi cabai rawit di Pantai Pauh, Pariaman. [Foto: Diskominfo Pariaman]
Kisah Sukses Syafirman, Usaha Warung dan Bertanam Cabai Rawit di Pantai Pauh Pariaman
Peranan Masjid Tuo Ampang Gadang ketika Perang Padri yang Dipimpin Tuanku Imam Bonjol
Peranan Masjid Tuo Ampang Gadang ketika Perang Padri yang Dipimpin Tuanku Imam Bonjol
Kisah 3 Mahasiswa UNP Riset Mitigasi Tsunami Memanfaatkan Kearifan Lokal Mentawai
Kisah 3 Mahasiswa UNP Riset Mitigasi Tsunami Memanfaatkan Kearifan Lokal Mentawai