Padangkita.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam tindakan intimidasi, kekerasan, dan pengekangan kebebasan berekspresi yang belakangan kerap dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI).
Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono mengatakan aksi mendatangi rumah pengguna media sosial yang dituduh menulis status bernada miring pada Imam Besar FPI Rizieq Shihab serta memaksa mereka meminta maaf di bawah ancaman pidana adalah tindakan teror yang tak boleh dibiarkan.
“Aksi main hakim sendiri yang dilakukan FPI mengancam jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang diatur Pasal 28 (E) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945,” katanya melalui siaran pers, Senin (29/5/2017).
Pasal itu berbunyi, ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.’
Selain itu, intimidasi dan teror atas pengguna media sosial bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol).
Beleid itu mewajibkan Negara untuk menjamin hak sipil dan hak politik setiap warga negaranya.
AJI memantau pemberitaan media dan menemukan korban intimidasi FPI sudah berjatuhan dalam dua pekan terakhir.
Indrie Sorayya, 38, misalnya, seorang perempuan pengusaha di Tangerang, Banten, didatangi puluhan anggota FPI pada Ahad 21 Mei 2017. Mereka memprotes status Facebook Indrie yang dinilai melecehkan Rizieq Shihab.
Intimidasi serupa juga dialami Fiera Lovita, 40, seorang dokter perempuan di Solok, Sumatera Barat.
Penelusuran yang dilakukan SAFEnet, jejaring pendukung kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, menemukan setidaknya ada 48 individu di seluruh Indonesia yang kini terancam diburu, diteror dan dibungkam dengan pola-pola kekerasan semacam ini.
Atas tindakan tersebut, AJI Indonesia menyatakan, pertama, mengecam keras tindakan FPI mengarahkan, atau setidaknya, membiarkan, anggotanya memburu warga negara yang menggunakan haknya untuk berekspresi di media sosial.
Keberatan atas pendapat seseorang seharusnya dihadapi dengan pendapat tandingan sehingga muncul diskursus yang sehat dan beradab di ruang publik, termasuk di media sosial.
Kedua, mendesak negara dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia untuk melindungi hak berekspresi warga negara, di ranah manapun termasuk media digital.
Ketiga, mengecam tindakan polisi membiarkan intimidasi dan teror atas kebebasan berekspresi, bahkan memfasilitasi ancaman pidana dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas status media sosial warga.
Tindakan Polri semacam itu tidak bisa dibenarkan dan justru melanggengkan ketakutan di benak publik untuk mengungkapkan pikirannya secara bebas dan terbuka.
Keempat, mengimbau semua pihak untuk ikut aktif menjaga kebebasan sipil dan politik yang sudah dinikmati sejak era reformasi Mei 1998 silam.
Dukungan bisa disampaikan dengan bersolidaritas pada korban di media sosial maupun turun tangan menekan pemerintah untuk konsisten menjaga hak sipil dan politik warga. Jangan biarkan siapapun merampas kebebasan dan hak-hak kita.