Lesung kincir air mungkin hanya salah satu tekonologi tradisional ramah masih masih bertahan dari serbuan teknologi modern.
DI TENGAH ancaman krisis energi akibat ketergantungan terhadap listrik, minyak, dan gas, Indonesia memiliki sejumlah teknologi tradisional yang sangat ramah lingkungan, seperti lesung kincir air di Padang Sumatera Barat.
Walau jumlahnya semakin berkurang akibat serbuan mesin, namun alat pengolah tepung ini tetap bertahan dan menjadi sandaran hidup para pekerjanya.
Di Pasar Ambacang Kecamatan Kuranji Kota Padang, puluhan tahun lalu suara hentakan lesung dari bersahutan terdengar. Namun kini hanya terdengar sayup – sayup dari tiga lesung yang masih bertahan.
Meski produksinya semakin berkurang, namun lesung milik Rasyidah ini tetap bertahan melayani permintaan para pelanggan dan menjadi sandaran hidup pekerjanya.
Lesung atau lasuang milik Mulup ini sudah berusia lebih satu abad. Dulunya sempat dimanfaatkan warga sekitar untuk menumbuk padi. Namun kini hanya untuk membuat tepung beras.
Berbeda dengan teknologi modern yang membutuhkan listrik, minyak atau gas, lesung sangat ramah lingkungan karena hanya menggunakan air sebagai penggerak kincir.
Putaran kincir menggerakkan balok-balok kayu atau alu yang kemudian menumbuk beras hingga menjadi tepung. Pertemuan alu dengan lesung inilah penghasul suara yang berirama.
Berjarak seratus meter, hentakan lesung kembali terdengar. Meski produksinya semakin berkurang, namun lesung milik Rasyidah ini tetap bertahan melayani permintaan para pelanggan dan menjadi sandaran hidup pekerjanya. Upah tiga puluh ribu perkarung di bagi dua dengan pekerja.
Igus, pekerja lesung, mengaku dalam sehari ia bisa memperoleh pesanan tiga karung beras untuk ditumbuk menjadi tepung dengan upah Rp 30 ribu per karung. Namun menurutnya pesanan itu tidak datang tiap hari.
Meski menjadi teknologi ramah lingkungan, namun tiga lesung kincir air yang tersisa di daerah kampung Durian Tarung ini rentan punah karena mulai tidak teraturnya aliran air ke pemukiman.
Rasyidah Syam, pemilik lesung menyebut penggunaan lesung sudah ada dan berkembang sebelum masa kemerdekaan. Namun setelah banyaknya mesin penggiling padi (huller), lesung mulai ditinggal.
“Lesung ini dulu berkembang sebelum zaman bergolak (penjajahan-red), setelah itu mulai bermunculan huller. Sejak huller ada kincir semakin berkurang, kemudian pengaruh irigasi kurang sehingga kincir kurang jalan. Di sini hanya tinggal tiga, kalau kincir ini usianya sudah sangat tua. Sebelum saya ada, sudah ada juga.” Ujarnya.
Lesung kincir air mungkin hanya salah satu tekonologi tradisional ramah masih masih bertahan dari serbuan teknologi modern. Butuh partisipasi pemerintah agar warisan nenek moyang ini bisa menjadi alternatif dari krisis energi akibat ketergantungan terhadap listrik, minyak dan gas.