Padangkita.com - Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) M. Sayuti Datuak Rajo Panghulu mengatakan, dalam adat Minangkabau tidak ada aturan atau kewajiban adat menjalankan balimau ke sungai atau tempat terbuka. "Sebaiknya, di rumah saja, karena bisa memulainya dengan niat dan pelaksanaan yang khusuk," ujarnya Jumat 26 Mei 2017.
Ia menilai, balimau bukan saja semacam tradisi dari perspektif adat, tapi juga ada unsur agama. Sebab, balimau mesti diawali dengan niat, yakni "Sengaja aku mandi balimau untuk menyucikan diri memasuki bulan suci Ramadan karena Allah Lillahitaallah".
Menurut Sayuti ada tujuh ragam limau di Minangkabau, yakni limau sandi, limau puruik, limau kambiang, lima kapeh, limau kunci, limau padang, dan limau nipis. Masing-masing limau punya makna tersendiri.
Limau puruik, dengan permukaan kulit bergelombang (karuik-karuik/ kerut-kerut), dianggap sebagai media untuk menyelesaikan sengkarut persoalan. Limau kambiang dianggap simbol sifat kebinatangan. Artinya jika limau tersebut digunakan, maka segala sifat kebinatangan yang ada bisa hilang.
Kemudian, kata dia, limau kunci dianggap sebagai pembuka kunci untuk surga, dan kunci untuk menutup pintu neraka.
Guru Besar Ilmu Tasawuf Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Duski Samad, menyatakan balimau merupakan produk budaya dalam bentuk kreativitas manusia menyucikan diri. Tidak ada aturan dalam agama tentang balimau tersebut.
“Tidak ada akar agamanya, seperti halnya penyebutan bulan suci Ramadan. Tidak lebih dari penafsiran-penafsiran dari nilai-nilai agama,” tukas Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang,
Menurutnya, balimau atau mandi dengan memakai berbagai kembang dan limau (jeruk) serta pewangi yang disiramkan ke rambut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan puasa. “Tradisi balimau ini tidak ada dalam hadis apa pun,” ujarnya. (Yose)