Jakarta, Padangkita.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyebut tengah menyoroti sikap DPR RI dan Pemerintah khususnya Menkumham Yasonna Laoly usai rapat kerja pada 1 April 2020 lalu.
Pasalnya, dua 'pucuk kendali' negara itu tetap membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di tengah kondisi pandemi corona yang melanda Indonesia dalam rapat tersebut.
"AJI dan IJTI menyoroti rencana pembahasan RKUHP yang berbarengan dengan penanganan wabah virus corona atau COVID-19 yang melanda berbagai daerah di Indonesia," kata Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Padangkita.com, Kamis (9/4/2020).
Dia menyebutkan, berdasarkan kajian AJI dan IJTI, setidaknya ada sepuluh pasal dalam draft RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019 yang dapat mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya.
Masing-masing dari pasal tersebut adalah Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, dan Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong.
Selanjutnya, Pasal 263 tentang berita tidak pasti, Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.
Juga Pasal 440 tentang pencemaran nama baik, Pasal 444 tentang pencemaran orang mati. Setelah mendapat protes luas, draft itu mengalami sedikit perubahan pada pasal 281.
"Melihat draft RUU KUHP tersebut, DPR dan Pemerintah tidak hanya mengabaikan masukan masyarakat sipil dengan mempertahankan pasal-pasal yang selama ini banyak dikritik," kata Abdul.
Selain itu, keduanya juga menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.
Dengan demikian, pada hari ini Kamis (9/4/2020) di Jakarta, AJI dan IJTI menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pembahasan RUU KUHP di tengah wabah COVID-19. Termasuk menunda RUU-RUU lainnya yang bermasalah seperti RUU Cipta Lapangan Kerja.
Dengan banyaknya pembatasan di tengah pandemi saat ini akan menyulitkan masyarakat sipil, termasuk komunitas pers, ikut memberikan masukan secara maksimal dalam pembahasan RUU tersebut.
Kedua, mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkan surat presiden baru yang dapat menjadi dasar kelanjutkan pembahasan RUU KUHP.
Ketiga, Meminta pemerintah dan DPR fokus pada penanganan COVID-19 yang telah menelan korban jiwa dan berdampak besar pada perekonomian nasional.
Membahas RUU yang bermasalah di tengah pandemi COVID-19 hanya akan membuat energi bangsa ini terpecah dan melemahkan penanganan yang dapat memicu dampak lebih luas di masyarakat.
Sebelumnya, Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam rapat kerja Rabu, 4 April 2020.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sempat mengatakan bahwa pimpinan Komisi III DPR meminta waktu satu pekan untuk mengesahkan RUU KUHP.
Namun Ketua Komisi III DPR Herman Herry kemudian meluruskan pernyataan Aziz dan menyatakan bahwa Komisi III hanya meminta persetujuan pimpinan DPR untuk memulai pembahasan RUU KUHP pada awal April 2020 tersebut.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta DPR menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan surat presiden yang baru.
Yasonna khawatir RUU KUHP yang akan disahkan akan bermasalah pada masa mendatang jika tidak ada surat presiden.
RUU KUHP merupakan satu dari sejumlah RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapatkan protes besar dari mahasiswa dan masyarakat sipil, September tahun lalu.
Protes tersebut memicu protes luas masyarakat, di Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia, dan menyebabkan setikdanya 5 mahasiswa meninggal. [*/mfz]