"Trash Talking": Ejekan di Game Online

"Trash Talking": Ejekan di Game Online

Yayuk Lestari, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand). [Foto: Dok. Pribadi]

GAME online telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anak-anak. Kalau dulu, anak-anak banyak bermain di luar dengan berbagai macam aktivistas fisik, kini anak-anak banyak menghabiskan waktunya dengan bermain game online. Melalui game, mereka menemukan cara baru untuk bersosialisasi, berkompetisi, dan menikmati hiburan.

Namun, di balik keseruan yang ditawarkan seringkali kita mendengar umpatan kasar, ejekan, atau hinaan yang dilemparkan di antara pemain selama permainan. Bagi orang dewasa, trash talking mungkin dianggap sebagai bagian dari persaingan yang seru. Tetapi bagi anak-anak yang masih dalam proses tumbuh kembang, perilaku ini bisa berdampak jauh lebih besar daripada sekadar kata-kata di layar.

Bayangkan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang baru saja mulai bermain game online favoritnya. Ia terhubung dengan pemain dari seluruh dunia, siap untuk berkompetisi dan belajar. Di tengah permainan, ia melakukan kesalahan kecil—hal yang wajar bagi pemula. Tiba-tiba, ia diserang dengan kata-kata kasar dari pemain lain, dihina karena kurang "hebat" atau tidak becus dalam bermain. "Bodoh," "payah," dan bahkan hinaan yang lebih parah bertebaran di layar, menyerangnya tanpa ampun. Sang anak yang tadinya merasa antusias, kini merasa bingung, takut, dan terpojok.

Trash talking seperti ini, yang awalnya dianggap sebagai bumbu kompetisi, kini menjadi ancaman nyata bagi kesejahteraan emosional anak-anak. Dalam konteks game online, ejekan atau hinaan ini bisa bersifat sangat personal dan menargetkan kelemahan pemain, membuat mereka merasa tertekan atau terintimidasi. Dan, ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam dunia yang selalu aktif dan terkoneksi, anak-anak bisa menghadapi trash talking ini setiap kali mereka masuk ke game, membangun perasaan takut dan tidak nyaman.

Dalam perspektif Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura, perilaku anak-anak dalam game online, termasuk trash talking, dapat dijelaskan sebagai hasil dari pengamatan dan peniruan. Anak-anak adalah individu yang terus-menerus belajar melalui lingkungan sosial di sekitar mereka, baik itu di dunia nyata maupun dalam dunia virtual seperti game online. Mereka tidak hanya bermain game untuk bersenang-senang, tetapi juga menyerap pola perilaku dan norma-norma yang mereka temui di sana.

Bandura berpendapat bahwa manusia, terutama anak-anak, cenderung belajar melalui proses observasi—mengamati perilaku orang lain dan menirunya jika mereka melihat perilaku tersebut memiliki konsekuensi tertentu, baik itu penghargaan maupun hukuman.

Bermain game online, anak-anak seringkali berinteraksi dengan orang dewasa asing. Perilaku kasar seperti trash talking dari pemain lain, baik anggota team atau team lawan kerap kali dilontarkan, hal ini dilakukan pemain untuk menyalurkan rasa frustrasinya bisa juga bentuk ejekan, atau bahkan untuk mengintimidasi tim lawan.

Perilaku seperti itu bisa jadi akan diimitasi oleh anak-anak yang melihatnya sebagai strategi yang "wajar" dalam dunia game. Mereka akan belajar bahwa berbicara dengan cara merendahkan lawan atau berusaha membuat lawan merasa kecil adalah perilaku yang diterima dan bahkan didukung dalam komunitas game tersebut.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah anak-anak ini mulai meniru perilaku tersebut. Mereka mungkin mulai menggunakan kata-kata kasar atau hinaan kepada lawan mereka sendiri, berharap bahwa itu akan memberikan efek yang sama seperti yang mereka saksikan pada pemain lain.

Tanpa menyadari dampak jangka panjangnya, anak-anak bisa memandang trash talking sebagai norma dalam berinteraksi saat bermain. Hal ini juga bisa diperparah dengan minimnya kontrol dan pengawasan dari orang dewasa, sehingga perilaku ini tidak hanya terjadi berulang-ulang tetapi juga semakin mengakar sebagai bagian dari rutinitas bermain mereka.

Lebih jauh, Teori Pembelajaran Sosial menjelaskan bahwa selain meniru perilaku yang mereka amati, anak-anak juga belajar dari konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. Dalam lingkungan game online yang sering kali tidak memiliki aturan sosial yang jelas atau sanksi langsung terhadap perilaku kasar, anak-anak yang melakukan trash talking tidak selalu melihat konsekuensi negatif dari tindakan mereka. Sebaliknya, mereka mungkin mendapatkan "penghargaan" sosial, seperti tawa dari pemain lain atau bahkan kemenangan dalam permainan, yang menguatkan perilaku tersebut. Ini mengirim pesan yang kuat kepada anak-anak bahwa trash talking adalah perilaku yang efektif dan dapat diterima untuk mencapai tujuan mereka.

Akibatnya, perilaku ini tidak terbatas pada game online saja. Anak-anak yang terbiasa menggunakan trash talking sebagai strategi untuk menghadapi lawan di dunia virtual bisa mulai membawa perilaku ini ke dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti di sekolah atau di lingkungan sosial lainnya. Mereka mungkin mulai berbicara kasar kepada teman-teman mereka di dunia nyata, menganggap bahwa hal tersebut adalah cara yang sah untuk bersaing atau menunjukkan kekuatan. Dalam hal ini, game online telah menjadi ruang belajar yang tidak sehat di mana anak-anak mengambil pelajaran yang salah tentang cara berkomunikasi dan berinteraksi.

Teori Pembelajaran Sosial menjelaskan bahwa apa yang diamati anak-anak secara konsisten di lingkungan mereka akan membentuk perilaku mereka. Dalam konteks trash talking, eksposur yang terus-menerus terhadap perilaku verbal yang agresif akan membentuk pola pikir bahwa perilaku tersebut adalah normal.

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa lingkungan tempat anak-anak berinteraksi, termasuk game online, memainkan peran besar dalam membentuk cara mereka berkomunikasi dan bersosialisasi. Pengawasan, edukasi, dan intervensi yang tepat dari orang tua dan komunitas bisa membantu memutus siklus pembelajaran sosial negatif ini sebelum menjadi kebiasaan yang merugikan dalam jangka panjang.

Trash talking yang terus menerus dilakukan bisa menjadi cyberbullying. Trash talking yang awalnya mungkin dimaksudkan sebagai olok-olok ringan bisa dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih serius dan menyakitkan. Saat hinaan menjadi berulang dan personal, hal itu bisa dengan mudah memasuki wilayah cyberbullying. Anak-anak yang menjadi korban sering kali merasa tidak berdaya, terutama ketika mereka terus-menerus diintimidasi oleh pemain lain. Dampak dari cyberbullying membuat korban sering merasa terisolasi, bingung, dan tidak tahu kepada siapa harus meminta bantuan.

Trash talking dalam game online bukan sekadar ejekan ringan, tetapi dapat berujung pada perilaku yang lebih serius seperti cyberbullying, yang berdampak buruk pada kesejahteraan anak-anak. Teori Pembelajaran Sosial menunjukkan bahwa anak-anak belajar dari apa yang mereka amati, termasuk perilaku negatif yang mereka saksikan dalam dunia virtual.

Baca juga: Ikuti Tantangan Game Online, Remaja 14 Tahun Ini Nekat Tembak Mati Orang Tuanya

Karenanya orang tua, komunitas, dan pengembang game harus mengambil langkah dalam mengawasi dan mengedukasi anak-anak agar game online tetap menjadi tempat yang sehat dan menyenangkan. Dengan pengawasan yang tepat, kita bisa mencegah dampak jangka panjang dari trash talking pada perkembangan anak-anak.

[*]

Penulis: Yayuk Lestari, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand)

Baca Juga

"Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme
"Body Positivity": Dari Gerakan Sosial Menuju Komodifikasi Kapitalisme
Isu Komunis, Trauma Sejarah dan Masa Depan Bangsa
Isu Komunis, Trauma Sejarah dan Masa Depan Bangsa
Bersahabat dengan Gempa dan Mitigasi 'Separasi'
Bersahabat dengan Gempa dan Mitigasi 'Separasi'
Kontestasi Tak Imbang?
Kontestasi Tak Imbang?
Pariwisata dan Krisis Iklim: Dampak Kawasan Wisata Alam Terhadap Lingkungan
Pariwisata dan Krisis Iklim: Dampak Kawasan Wisata Alam Terhadap Lingkungan
Disdikpora Pariaman Sosialisasi Percepatan 'Go Digital' di Semua Sekolah, Ini Tujuannya
Disdikpora Pariaman Sosialisasi Percepatan 'Go Digital' di Semua Sekolah, Ini Tujuannya