Sarilamak, Padangkita.com – Bencana alam datang silih berganti melanda Sumatra Barat (Sumbar) sejak dua bulan terakhir. Mulai dari banjir dan longsor, hingga banjir lahar dingin Gunung Marapi dan galodo. Bencana ekologis yang terjadi diperburuk oleh perubahan iklim yang terus mengancam kehidupan manusia dan lingkungan hidup.
Kabupaten Limapuluh Kota yang juga sering dilanda bencana alam, menyadari betul bahwa harus ada upaya yang berkelanjutan sebagai langkah mitigasi. Salah satu caranya, menata ulang pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup, khususnya kawasan hutan yang memiliki peranan dalam penanggulangan perubahan iklim.
Mendukung upaya tersebut, Pemkab Limapuluh Kota menjalin kerja sama dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim ini.
Kerja sama diawali dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh kedua pihak, di Kantor Bupati Limapuluh Kota, Kamis (6/6/2024). Ini akan memperkuat kolaborasi Pemkab Limapuluh Kota dan Warsi dalam pemberdayaan masyarakat mengelola sumber daya alam (SDA) berkelanjutan.
Kemudian, selama 5 tahun ke depan kegiatan kerja sama akan meliputi perlindungan dengan pengelolaan SDA Program Kampung Iklim (Proklim), pengembangan potensi nagari, pemberdayaan masyarakat nagari, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, dan bidang-bidang lainnya. Secara lebih detail, nota kesepahamam akan ditindaklanjuti lagi dengan perjanjian kerja sama.
Baca juga: Deteksi Aktivitas di Hutan Nagari, KKI Warsi Pasang Alat Guardian Berbasis “Artificial Intelligence”
Dalam kesempatan tersebut juga diluncurkan Program Pohon Asuh di Nagari Simpang Kapuak, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota, yang ditandai dengan diasuhnya pohon di Hutan Nagari Simpang Kapuak oleh Bupati Limapuluh Kota.
Pohon Asuh sendiri merupakan program penggalangan dana publik untuk penjagaan tegakkan pohon di hutan. Di Simpang Kapuak telah dilakukan survei sebanyak 150 pohon, 25 di antaranya telah diasuh.
Pengelolaan Hutan Cegah Perubahan Iklim
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Adi Junedi menyampaikan, salah satu instrumen untuk mencegah perubahan iklim, yakni dengan melakukan pengelolaan hutan lestari.
“Sebab, pemicu perubahan iklim itu terjadi karena deforestasi dan kerusakan hutan yang berkontribusi tingginya emisi,” kata Adi Junaidi.
Sektor kehutanan, lanjut dia, memiliki peranan penting dalam pengendalian dampak perubahan iklim. Kabupaten Limapuluh Kota memiliki kawasan hutan 172.552 hektare, atau sekitar 51 persen dari wilayah administrasi.
Menurut Adi Junaidi, perlindungan, pemulihan dan pengelolaan hutan berkelanjutan sangat penting untuk mengurangi pemanasan global. Kawasan hutan di Kabupaten Limapuluh Kota, kata dia, dapat dijadikan potensi daerah untuk pengendalian perubahan iklim.
“Saat ini inisiatif masyarakat dalam mengelola hutan telah didukung melalui 38 izin kelola perhutanan sosial yang tersebar di 37 nagari di Kabupaten Limapuluh Kota,” ungkap Adi Junedi.
Melalui program perhutanan sosial, kawasan hutan dapat dikelola secara legal oleh masyarakat. Sehingga aktor yang terlibat dalam pengendalian perubahan iklim tidak hanya pada pemerintah, namun juga dapat melibatkan masyarakat lewat aksi pengelolaan hutan berkelanjutan.
Sementara itu, penanganan perubahan iklim sebetulnya telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Limapuluh Kota 2021-2026, salah satunya melalui pengembangan ekonomi hijau.
“Penanganan perubahan iklim sudah dilaksanakan, tetapi belum tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih intensif dan kreatif untuk pencapaiannya,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Limapuluh Kota Herman Azmar.
Ia mengajak semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama melakukan upaya antisipasi terhadap perubahan iklim.
Masyarakat Mengelola Perhutanan Sosial
Dalam acara penandatanganan nota kesepahaman Pemkab Limpuluh Kota dan KKI Warsi, juga diadakan Workshop tentang inisiatif masyarakat dalam rangka perlindungan dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dalam workshop terungkap bahwa adanya persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, telah menjadi penyemangat bagi masyarakat untuk mengelola hutan dengan lestari.
Melalui perhutanan sosial dapat dilakukan berupa penguatan kelembagaan, pengelolaan hutan yang meliputi penataan areal, dan pemanfaatan hutan dalam bentuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Kemudian jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan melalui agroforestri, rehabilitasi hutan dan perlindungan serta pengamanan hutan, pengembangan usaha, monitoring dan evaluasi pengelolaan hutan.
Program Pohon Asuh di Nagari Simpang Kapuak merupakan salah satu contoh pengelolaan perhutanan sosial yang dilakukan masyarakat untuk meraih manfaat ekonomi sekaligus juga penjagaan ekologi.
Ada pula pengayaan tanaman secara agroforestri di Jorong Hulu Aia Nagari Harau, pembibitan dan budi daya durian lokal unggul di Nagari Halaban. Selain itu juga pengembangan produk turunan dari daun gambir menjadi minuman serbuk daun gambir.
Dalam dialog yang dihadiri perwakilan masyarakat dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPH) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm), juga diungkapan sejumlah kendala yang dialami masyarakat.
Menanggai inisiatif masyarakat dalam mengelola perhutanan sosial, sejumlah dinas Pemkab Limapuluh Kota menyampaikan komiten dukungan.
Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, misailnya, berjanji akan memberikan dukungan dan fasilitasi untuk pengurusan izin BPOM produk teh gambir. Sementara itu, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan juga berjanji akan memberikan dukungan pupuk.
“Selama ini yang bisa dibantu adalah kelompok tani. Namun kini ada pembaruan, bahwa lembaga pengelola hutan pun dapat mengajukan dukungan pupuk,” kata Witra Porserpwandi, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Limapuluh Kota.
Di samping itu, ada pula masyarakat di Nagari Ampalu yang mengelola hutan, nemaun belum punya legalitas. Sejauh ini, masyarakat setempat masih berupaya mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat untuk mengajukan legalitas hutan adat.
“Sampai sekarang, masih belum mendapat titik terang yang jelas untuk mendapatkan pengakuan masyarakat hukum adat. Kami berharap dimaklumi bahwa niat baik ini merupakan satu hal yang positif untuk masyarakat dan kawasan hutan Nagari Ampalu,” kata Datuak Rajo Pangulu, tokoh adat Nagari Ampalu.
Diketahui di Nagari Ampalu lebih kurang 600 orang menggantungkan hidup di kawasan hutan Nagari Ampalu. Meski sudah mengelola lahan secara turun temurun, tetap menimbulkan rasa waswas bagi masyarakat ketika mengetahui lahan yang mereka kelola masih merupakan kawasan hutan.
Baca juga: Warsi: Luas Tutupan Hutan di Sumbar Baik, tetapi Masih Terbelit Persoalan PSDA
“DLHPP bersama dengan KKI Warsi sudah melakukan proses dan harapannya di akhir tahun ini dimasukkan untuk dibahas. Mudah-mudahan dapat menjadi solusi untuk masyarakat Nagari Ampalu,” kata Susy Herlinda, Kabid Perencanaan, Pengkajian dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Perumahan Rakyat dan Permukiman (DLHPP) Limapuluh Kota.
[*/pkt]
*) BACA informasi pilihan lainnya dari Padangkita di Google News